8. Diam-Diam Perhatian

7.8K 769 21
                                    

“Enak tinggal di sini?”

Aku mengangguk menyahuti pertanyaan Ibu saat kami selesai menurunkan bawaan dari mobil. Aku menggiring masuk ke rumah, karena yang lain juga sudah masuk. Mas Anton bahkan sudah lari ke kamar mandi, karena nggak tahan ingin buang air.

“Ibu harus lihat sendiri kebun di belakang, pasti mupeng,” kataku pamer.

Aku sudah pernah memperlihatkannya lewat foto dan video, juga saat kami video call sebelumnya. Tapi rasanya pasti berbeda kalau lihat sendiri.

Prabu Hanenda sedang sibuk menunjukkan kamar yang bisa digunakan. Untungnya nggak kurang, karena mereka bisa tidur berimpitan. Aku dan Prabu Hanenda, kan, bakal menginap di rumah Bapak untuk tiga hari ke depan. Sedih rasanya, keluargaku datang, tapi aku malah nggak tidur di rumah.

“Suamimu baik sama kamu?”

Aku tahu, Ibu pasti khawatir dengan anak-anaknya. Apalagi aku, yang kayaknya kalau terpisah pun, nggak pernah lama dari Ibu. Di rumah kami dulu, Ibu sangat jarang menyuruhku ini dan itu. Aku tahu, itu bisa jadi bumerang buatku sendiri, karena setelah menikah sekarang, aku rasanya masih sering merepotkan suamiku sendiri.

Iya, sih, berumah tangga itu harusnya tugas dibagi rata, tapi saat tahu kalau suamiku lebih cekatan melakukan pekerjaan rumah tangga, aku jadi malu sendiri. Prabu Hanenda bangun di pagi buta, sedangkan aku baru bangun setelah ia siap pergi ke masjid.

“Baik banget, Bu. Ibu nggak usah khawatir.”

Ibu cuma tersenyum sambil mengusap pipiku. “Ibu mana yang nggak khawatir, anaknya memulai hidup baru yang jauh dari ibunya? Tapi Ibu senang, kamu kelihatannya happy di sini.”

Aku mengangguk. Baru beberapa hari, tapi aku menang happy selama di rumah ini. Nggak aku ceritakan bagaimana kelakuan ibu mertuaku, takut Ibu jadi kepikiran. Aku sudah menikah, sudah dewasa, nggak lagi boleh sedikit-sedikit cerita ke Ibu tentang masalahku. Lagi pula, sudah ada Prabu Hanenda yang siap jadi tamengku.

“Bu, mau makan dulu atau istirahat?” lelaki itu menghampiri dan menunjuk ke dalam.

“Nanti aja, Pra. Ibu tadi makan di jalan. Kalian kalau mau tidur lagi, tidur aja. Ibu mau lihat-lihat rumah kalian, boleh?”

Prabu Hanenda tersenyum, lalu menggeleng kecil. “Ibu kayak lagi di mana. Ibu boleh lihat-lihat rumah anak Ibu sendiri,” katanya.

Aku ikut tersenyum. Merasa terharu dengan kebaikan hati suamiku sendiri. Dia bahkan kelihatannya lebih baik kepada ibuku daripada ibunya sendiri. Bahkan sebelum kami menikah, Prabu Hanenda sangat menghormati Ibu. Dia nggak pernah nggak menyahut saat Ibu memanggilnya, berbeda dengan apa yang aku lihat kemarin, saat ibunya berbicara kepadanya.

Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan kepadanya, terutama tentang orangtuanya. Tapi nanti, kalau dia sudah lebih terbuka dan enak diajak bicara. Mulutnya saja baru tahu cara menciumku tadi.

Duh, kan! Jadi ingat itu.

Aku yakin, kalau kami berada di dalam kamar, dia pasti nggak hanya puas dengan menciumku. Sudah seminggu kami menikah, loh, dan dia bertahan untuk nggak ngapa-ngapain karena ingat omongan ibunya itu. Herannya aku, kenapa dia percaya begitu saja, kan?



***



Mas Anton kegirangan melihat tumpukan durian di belakang rumah. Prabu Hanenda memang sengaja meletakkannya di sana, takut aromanya mengganggu, karena keluargaku baru berkendara jauh. Kakakku itu lebih girang lagi saat melihat kumpulan sayuran dan pohon-pohon buah yang ada di rumah ini. Noraknya sama sepertiku saat baru pertama kali melihatnya.

“Ini, sih, Diana bakalan makmur tinggal di sini, Yah, nggak perlu khawatir sampai meriang kayak kemarin,” komentarnya memicu tawa dari pakde dan budeku.

Katanya, Ayah sempat meriang karena ditinggal olehku. Memikirkan apakah aku betah di sini, diperlakukan dengan baik, dan sebagainya. Ayah itu tipikal orangtua yang keras, tapi diam-diam perhatian pada anak-anaknya.

“Ini baru ambil kemarin, nggak metik. Pada diiket gitu pakai tali, jadi nggak pada jatuh ke tanah,” kataku sambil menyerahkan pisau pada Mas Anton.

Para ibu sedang memasak di dapur, sedangkan Prabu Hanenda pergi ke warung bersama keponakanku. Katanya mau mencari jajan. Kami lupa harus menyiapkan jajanan untuk bocah itu, untung saja anaknya gampang nemplok sama orang, jadi nggak susah diajak oleh suamiku untuk pergi.

Rencananya, kami baru akan ke rumah Bapak malam nanti. Biar aku punya banyak waktu bersama keluargaku dulu, karena malam hari setelah acara selesai, mereka sudah kembali lagi ke Jakarta. Sedih, sih. Tapi mau bagaimana lagi?

“Ini ayamnya mau digoreng, boleh nggak, Dek?” Mbak Kina bertanya sambil membuka kulkas.

Aku mengangguk, lalu mengacungkan jempol. “Masak aja, emang disediain buat dimasak, kok.”

Aku nggak ikutan masak, malah ikutan jongkok di belakang bareng bapak-bapak. Menunggu Mas Anton yang kesusahan buka durian. Nggak kayak Prabu Hanenda yang cekatan. Beberapa mangga yang matang juga sudah dikumpulkan tadi pagi, sayangnya, pepaya yang sejak awal aku datang sudah menguning, belum juga matang. Masih mengkal, paling enaknya dibikin rujak, tapi kami nggak suka rujak pepaya.

“Kalau liburan, mending ke sini aja nggak, sih? Refreshing, ke belakang rumah aja lihat yang ijo-ijo begini udah seger,” komentar Mas Anton setelah bersusah payah membuka durian.

“Ke sini aja kalau mau. Kemarin aku diajakin ngambil duren ini sama Mas Prabu, agak manjat ke kebunnya, sih, tapi asyik,” kataku bersemangat.

“Si Bontot udah nikah aja, ya?”

Aku cengengesan saat Pakde memijat kepalaku dengan sebelah tangannya, hal yang biasa ia lakukan kepadaku. Pakde ini adalah orang yang paling perhatian kepada keluargaku. Iya, sih, dia itu kakaknya Ayah, alias pamanku. Tapi, kan, kadang ada saja yang nggak dekat dengan keluarganya sendiri. Bersyukurnya, Pakde ini nggak begitu. Aku disayang seperti anaknya sendiri. Sampai usiaku segini, kalau lebaran juga masih dikasih uang, kadang juga dibelikan baju atau sepatu. Mungkin karena anak Pakde semuanya laki-laki, jadi saat kelahiranku, dia juga ikut bahagia karena merasa punya anak perempuan juga.

“Pakde mau nikah juga? Nanti aku cariin janda di sini, mau, nggak?” godaku membuat Mas Anton tergelak.

Agak nggak sopan memang, tapi kami memang kadang menggoda Pakde soal nikah lagi. Maklum saja, Pakde itu duda cerai sejak enam tahun yang lalu. Istrinya kepincut daun muda, mentang-mentang saat itu Pakde lagi sakit, istrinya malah main gila sama berondong. Untung anak-anak Pakde sudah pada menikah, jadi nggak ada kasus rebutan hak asuh anak, dan ketiga anaknya membela Pakde. Setelah bercerai, Pakde jadi nggak punya kesibukan berarti.

Oh, ya. Kalau bisa dibilang, aku kenalan dengan Prabu Hanenda itu juga karena Pakde. Lupa dulu alasannya apa, tiba-tiba saja Prabu Hanenda datang ke rumah, karena Pakde nggak ada di rumah saat dia menemuinya. Dari saat itu, Pakde malah menjadikan rumah kami sebagai tempat ketemuan mereka.

“Daripada nyariin istri buat Pakde, mending kasih cucu aja. Itu udah paling bener,” sahut Pakde membuatku mengerucutkan bibir.

“Sabar, kali! Baru juga seminggu nikah. Aku mau nikmatin dulu rasanya jadi istri, ngebetahin dulu tinggal di sini,” kataku sedikit kesal.

Menikah kan nggak melulu soal punya anak. Baru juga menikah, sudah ditodong punya anak. Kesiapan mental buat menikah itu nggak tentu sudah siap buat punya anak. Banyak yang bilang, kalau sudah siap menikah, itu harusnya sudah siap punya anak. Tapi, kan, kasus nikahnya tiap orang itu beda-beda. Kalau nikahnya kayak aku, yang belum kenal-kenal banget, masak langsung ditodong punya anak?

Aku juga mau punya anak, kok, tapi nanti.

Menyadari kalau aku kesal, Pakde terkekeh dan mengelus kepalaku. “Iya, yang penting Adek bahagia di sini. Yang nurut sama suami.”

“Pakde kenal aku dari zaman aku belum lahir, pasti tahu kalau aku bakal baik ke orang, kalau orangnya juga baik ke aku. Kalau aku nggak baik ke orang itu, berarti dia duluan yang nggak baik ke aku.”

Suara berisik keponakanku membuatku menoleh, bocah itu melompat-lompat sambil menunjukkan mangga kepada Mbak Kina.

“Kakak petik sendili di depan!”

Di depan juga ada pohon mangga manalagi yang berbuah. Sudah nggak begitu banyak, katanya sebelum pergi untuk menikah, ada orang yang sudah memborongnya sejak jauh hari. Disisakan yang masih kecil-kecil saja.

“Papa punya duren, Kak!” kata Mas Anton membuat anaknya berlarian.

“Nanti, sarapan dulu!” tolak Mbak Kina.

Rora, keponakanku itu langsung memberengut. Mungkin kesal karena nggak bisa ikut makan durian pagi-pagi kayak bapaknya.

“Tante Di boleh makan, kenapa Lola nggak boleh?” protesnya sambil menunjukku.

Rora itu tahunya cewek boleh begini, nggak boleh begitu. Kalau dikasih tahu, perbandingannya bukan lagi usia, tapi perbendaan jenis kelamin.

“Tante Di udah gede,” sahutku sambil memasukkan sebutir durian ke mulut.
Rora sudah ngambek, hampir menangis.

“Eh, eh ... katanya mau punya adik, masih aja cengeng?” tanya Ibu sambil meraup Rora dalam gendongan.

Rora itu sedang gencar-gencarnya minta adik, itu sebabnya ia dipanggil Kakak oleh kami. Tapi bukan berarti Mbak Kina sedang hamil. Mereka cuma menggunakan cara itu biar Rora nggak cengeng terus. Anak itu sering banget dijahili oleh bapaknya sendiri.

Kalau kata Mbak Kina, Mas Anton gantian menjahili Rora, karena sejak pisah rumah, nggak ada lagi aku yang biasanya dibikin nangis olehnya.

“Duren, Pra,” tawar Pakde pada Prabu Hanenda yang mendekat, lalu berjongkok di sampingku. “Diana nggak nyusahin, kan?”

Lelaki itu cuma tersenyum. Apa lagi dia bisanya?

“Nggak, Pakde,” sahutnya kalem, kali ini sambil mengelus kepalaku.

Tumben kan, ya? Apa ini efek pertemuan bibir pagi tadi? Kalau iya, wah banget!

“Kamu punya suami kalem banget gini, Dek, harusnya cerewetnya dikurangi. Takutnya malah suamimu pusing dengerin kamu ngoceh mulu,” kata Mas Anton menyebalkan.

“Aku aja lagi bingung kalau mau ngajakin dia ngobrol, cuma ham hem ham hem doang. Jangan malah didoain aku jadi ikutan kalem, dong,” sahutku nggak terima.

Mau jadi apa rumah ini kalau diisi orang kalem semua? Bisa-bisa, kalau ada orang yang mengetuk pintu, kami malah kaget.

“Maafin Diana ya, Pra? Anak Ayah emang suka ngawur begini ngomongnya,” kata Ayah yang disambut tawa oleh yang lain.

Aku cuma bisa bersungut-sungut menahan kesal, tapi agak mendingan. Karena di belakang, punggungku diusap-usap oleh Prabu Hanenda untuk menenangkan. Kayaknya, love language milik Prabu Hanenda itu perhatiannya yang diam-diam itu, deh.




***


Orang kayak Prabu Hanenda itu emang ada, kok. Dia bisa ngomong lebih panjang, kalau emang udah dekat sama lawan bicaranya, atau emang udah nyaman gitu.

Semoga kalian nggak bosen kalau cerita ini sering update, ya 🤗

Soalnya lagi kasih challenge ke diri sendiri, bisa nggak, kayak awal-awal pas nulis gitu. Biar semangat nulisnya juga makin membara, nggak cuma cintanya Prabu ke Puspa aja yang membara 🔥🔥🔥

29 Desember 2023.

EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang