Siap baca part 2? Kasih emot 🤍 di sini.
Tekan tombol bintang dan berikan komentar terbaik.
Follow instagram authornya di @frasaberliana dan @ceritaberliana untuk info update, halu bareng, dan berkenalan.
"Assholatu khairun minan naum."
"Assholatu khairun minan naum."
"Kepada bapak dan ibu warga Kampung Griyo, ayo, bangun. Sesungguhnya solat lebih baik daripada tidur."
Di dalam kamar dengan cahaya yang meremang, gadis bermukena putih menelungkupkan diri di atas sajadah yang terbentang. Gema suara azan, lantunan ayat suci Al-Qur'an, dan salawat dari masjid PPMI Fathimah Al-Fihriyah yang merangkap sebagai masjid kampung terdengar merdu.
Tujuh hari sudah Keisya tak menjalankan tugasnya membangunkan dan membersamai para mahasantri di waktu tahajud dan subuh. Seluruh tugasnya didelegasikan kepada musyrifah yang lain karena kondisi yang jauh dari kata baik. Dia tetap mengajar kelas keakhwatan dan menyimak hafalan para mahasantri, tetapi beberapa kali dia tampak limbung saat berjalan.
Keisya lebih banyak diam dan mengurung diri di kamar. Linglung adalah kata yang tepat menggambarkan dirinya sekarang. Keisya bahkan sudah tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dia pikirkan. Tentang statusnya sebagai anak angkat atau soal dia yang harus menyiapkan diri akan lamaran Gus Fikra nanti sore.
Terdengarlah suara ketukan pintu usai solat subuh yang dia laksanakan sendirian di kamar. "Nduk? Boleh Umi masuk?"
Keisya mengusap air mata yang menggenang di pelupuk mata. "Nggih, Umi."
Isna membawa nampan berisi secangkir teh manis hangat dan beberapa kue basah tradisional. Carabikang, lemper, dan kue kipo adalah camilan favorit Keisya. Diletakkannya nampan di atas meja belajar putrinya lalu dia duduk di tepi ranjang. Dia perhatikan wajah Keisya yang sendu dan kedua mata yang sembap.
"Kenapa di bawa ke sini, Umi? Aku bisa ambil sendiri di meja makan. Bukannya hari ini jadwalnya Umi ke desa binaan dengan Abah?" tanya Keisya tanpa menatap ke arah Isna.
"Biar Abah saja yang ke desa binaan. Lagipula, hari ini tidak ada jadwal pengajian untuk ibu-ibu," jawab Isna.
Tak pernah lepas dari pandangannya, putri susuannya itu terlihat berusaha menyibukkan diri. Mulai dari melipat sajadah, merapikan buku-buku yang sedikit berserakan di kasurnya, sampai merapikan benda-benda yang sebenarnya sudah rapi dari awal. Isna tahu, ini adalah cara Keisya menghindari dirinya semenjak istilah anak angkat terucap.
"Nduk, sarapan dulu, yuk. Makan lemper dengan Umi."
"Aku mau beres-beres kamar, Mi. Kalau siang suka nggak sempat. Dek Fathimah sebentar lagi sampai, kan? Dia pasti mau menemani Umi sarapan."
KAMU SEDANG MEMBACA
TANAH BAGHDAD
SpiritualeMenikah dengan seseorang yang pernah kamu cintai dalam diam saat hatimu sedang dirundung kecewa? Bukankah itu indah? Begitulah harapan Keisya saat menerima lamaran Fikra, usai kecewa menghadapi kenyataan dia hanyalah anak angkat Umi dan Abah yang sa...