34 - Break The Rules

8 2 0
                                    

Perbatasan Tribert dan Rocves terjadi baku tembak sejak satu jam lalu. Di mana sebuah mobil dilarang melewati perbatasan atas permintaan pemimpin mereka. Di dalam mobil tersebut terdapat dua pria paruh baya yang berjuang untuk bertahan hidup. Mereka dikejar, hingga sampai ke tempat ini.

"Cepat hubungi Zaren atau siapa pun itu!"

Ya, dua pria itu adalah Nofga dan Yofga yang hendak mengambil sample darah milik Nauga, yang disimpan oleh Siera di Rumah Sehat Rocves, tetapi ternyata jalan mereka tak semulus yang dibayangkan.

Mobil itu sudah tidak bisa melaju karena bannya ditembaki oleh orang-orang yang bersembunyi di balik pepohonan rindang, sehingga tidak ada yang menyadarinya.

"Apa yang kalian inginkan?!" teriak Nofga sambil menjulurkan pistol yang siap untuk ditembak kapan saja.

Para pria bertubuh besar itu ke luar dari persembunyiannya, bersama dengan seseorang yang usianya tak jauh mereka. Yofga terbelalak ketika mengetahui siapa orang tersebut.

"Aldo Lewis?!" sebut Yofga.

"Bagaimana kabar kalian? Sepertinya, hari ini akan menjadi pertemuan terakhir kita, bukan? Aku jadi tidak sabar!"

Yofga dan Nofga hanya bisa menatap gadis itu getir.

"Ini karena anak-anak kalian ikut campur dengan urusanku!" sambung Aldo.

"Kenapa kamu tidak jera juga, Aldo?! Aku hanya ingin mengungkap kebenaran, apa kalian tidak malu?"

Tanpa berpikir panjang, akhrinya baku tembak itu kembali terjadi. Mobil yang digunakan Nofga sudah tak bisa berfungsi dengan baik karena terkena peluru yang tiada henti.

Argh!

Tiba-tiba seseorang menjerit kesakitan, ternyata Yofga terkena anak panah di kaki kirinya. Nofga berusaha untuk menyelamatkan adiknya itu dengan membawanya ke dalam mobil. Setelah itu, pria paruh baya itu pun berjuang sendiri untuk menghadapi anak buah Aldo itu.

Dor!

Peluru itu menancap tepat di kaki kanan Nofga, hingga membuat pria itu berteriak kesakitan. Sebagai gantinya, pria itu menembaki anak buah Aldo yang tersisa denga brutal, bahkan Aldo sendiri sudah pergi sejak beberapa menit lalu.

Setelah para penembak itu berhasil dikalahkan dan Aldo pergi entah ke mana, Nofga langsung menyalakan sinyal peringatan pada Violy, Gelca, dan Zaren. Nofga hanya bisa berharap bahwa ketiganya akan datang tepat waktu, sebelum ia dan adiknya itu kehilangan nyawa.

...

Ketika Violy, Gelca, dan Zaren sedang berkumpul untuk pembahasan hasil tes DNA antara Sean, Emerald, dan Nauga, tiba-tiba ponsel gadis itu berdering dengan kencang. Bukan hanya Gelca, Zaren pun mendapatkan notifikasi yang sama. Setelah beberapa menit, akhirnya suara itu hilang dan diganti dengan sebuah petunjuk yang mengarah ke suatu tempat.

"Tunggu, bukankah ini terhubung dari ponsel Paman Nofga? Apa yang terjadi padanya?" tanya Gelca khawatir.

Violy dan Zaren mengangguk cepat

"Sepertinya mereka sedang dalam bahaya!" ujar Liany.

Ketiganya langsung beranjak dari tempat mereka. Terlebih dulu mereka menuju kamar masing-masing untuk mengambil peralatan dan perlengkapan. Setelah beberapa menit, mereka ke luar dari kamar dengan segala persiapan yang sudah matang. Namun, ketika hendak pergi, Violy malah bertemu dengan Geyan, Devga, dan Siera. Ketiganya langsung mengerutkan dahi dan melayangkan tatapan penuh tanya.

"Kalian ingin pergi ke mana? Kenapa kamu begitu banyak membawa senjata api, Violy?" tanya Geyan saat melihat pistol yang dibawa gadis itu.

Violy menatap ketiganya bergantian, kemudian menghela napas berat. "Ayahku dalam bahaya, jadi aku akan menemuinya sekarang!"

"Aku akan meminta beberapa anggota untuk ikut denganmu!" seru Geyan.

Violy langsung melambaikan tangan dan menggeleng cepat. "Aku tidak ingin ada yang terluka karena harus membantu keluargaku, Geyan. Terima kasih atas kebaikanmu, mari kita bertemu kembali nanti.

Violy dan Gelca langsung beranjak pergi, tanpa menunggu tanggapan dari Geyan. Sedangkan Zaren sudah berada di lantai dasar sejak tadi, sebelum Geyan datang.

"Kamu lihat, 'kan, Geyan. Dia selalu merasa mampu menghadapi apa pun, padahal nyawanya bisa melayang kapan pun," tutur Devga.

"Bagaimana pun juga, dia adalah gadis pemberani yang pernah kutemui selama ini!"

...

Begitu sampai di lokasi kejadian, ketiganya merasa histeris kala melihat apa yang terjadi pada ayah mereka. Nofga masih setengah sadar dengan peluru yang menancap di kakinya, sedangkan Yofga terkulai lemah di dalam mobil. Zaren langsung membawa sang ayah ke mobilnya, kemudian Violy dan Gelca mengendarai mobil yang dibawa Nofga tadi.

Setelah beberapa jam, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Air mata Gelca tak henti berlinang karena kondisi sang ayah yang mengkhawatirkan. Para perawat membawa dua kasur untuk Yofga dan Nofga, bahkan keduanya langsung dibawa ke ruang operasi. Sedangkan Violy, Zaren, dan Gelca menunggu di depan ruangan tersebut.

"Tenanglah, Gelca," ucap Violy sambil mengusap pundak sepupunya tersebut.

"Bagaimana bisa seseorang menggunakan panah di zaman maju seperti ini?!" omel Gelca.

Violy mengerutkan dahi mendengarnya karena ketika Gelca sedang mengurus sang ayah, gadis itu sibuk membantu Yofga memindahkan ayah mereka ke mobil yang dibawa Zaren. "Anak panah?"

Gelca yang mendengar itu pun langsung mengangguk.

Seketika Violy merasa murka dan kesal, ia tahu siapa yang menggunakan anak panah dengan selama melawan mereka. Tiba-tiba gadis itu beranjak dari tempat duduknya, lalu pergi begitu saja.

"Violy, apa yang ingin kamu lakukan?!

Teriakan Gelca dan Zaren tak berarti baginya karena saat ini yang terpenting adalah menemui atau berbicara dengan pemuda yang telah memiliki perjanjian dengannya.

...

-Markas Penembak Bayaran-

Akhirnya Violy sampai di sana menggunakan mobil milik sang ayah yang dibawanya tadi. Gadis itu menepikan mobilnya di jalan setapak yang tak jauh dari pemakaman, kemudian ia berjalan kaki menuju markas penembak bayaran itu. Sesampainya di sana, Violy meminta pria yang berjaga di halaman untuk menghubugi Emerald. Setelah beberapa kali berdering, akhirnya pemuda itu mengeluarkan ponselnya dari saku.

"Hallo."

"Apa ini yang kamu katakan perjanjian Emerald! Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak menyakiti keluargaku, tapi kenapa ayah dan Paman Yofga diserang saat akan melewati perbatasan Tribert dengan Rocves?!"

"Dengar, Violy, aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Aldo tidak bisa dihubungi, sehingga aku tidak tahu dia di mana!"

"Berhentilah berkelit! Jika hal ini masih terjadi, maka aku tidak akan menepati janjiku pula!"

Violy lansgung mengakhiri pembicaraan dan mengembalikan ponsel tadi pada sang pemilik. Setelah itu, ia meninggalkan tempat tersebut. Gadis itu tak langsung pulang, ia lebih dulu mengunjungi teman-temannya yang gugur.

Makam pertama yang dikunjungi Violy adalah Catly, gadis itu mengatakan banyak hal sambil mengusap nisan tersebut. "Aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana, Cat. Tolong bantu aku!"

Tanpa terasa air mata gadis itu menetes, lalu tertunduk lemas. Setelah beberapa menit di depan makam Catly, gadis itu menuju makam lain untuk sekadar menyapa, terutama makam Ibraka, Zano, Valdo, dan Klen yang masih basah. Sakit hatinya setiap kali menyaksikan pemakaman dari anggota yang gugur.

"Apakah pengkhianatan harus dibalas dengan pengkhianatan?!"

***
To Be Continue
>>>

Jangan lupa tinggalkan jejak dan ikuti sampai akhir, Readers!

MALIGNITY : Encounter The Evil (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang