SEKUMPUL burung gereja melintas diatas kepala Ody. Membelah langit semu yang warnanya bahkan belum terlihat sama sekali. Seolah mereka akan menjemput sang mentari untuk menjalankan tugasnya.
Untuk kedua kalinya, Ody telah keluar dari gelungan selimut hangatnya sebelum matahari berterik diatas kepala. Meski suasana masih sepi nyaris tanpa orang lain, Ody kini sedikit lebih berani melangkah dengan pasti. Pun dinginnya embun tidak menusuk keterlaluan. Ody bisa melangkah pelan-pelan dan menikmati gemeriak tanaman yang tumbuh di wilayah tempat tinggalnya.
Hamparan hijau subur itu nampak gemerlap dengan tetesan embun yang menari di ujung daun. Memantulkan cahaya pagi dengan indahnya. Semilir angin membawa aroma segar tanah yang lembab, menciptakan harmoni yang menghanyutkan seakan tengah berbisik pada alam untuk segera memulai yaum indahnya.
Untuk kali ini, dingin yang memulai persahabatan membuat Ody tidak setergesa kemarin. Gaun birunya memayungi langkah dengan lembut. Sesekali pun tangannya ringan menyentuh dan memecah tetesan air yang tercipta oleh kabut pagi.
Perkataan letnan kemarin pagi itu ia resapi lamat-lamat, tentang berkeliaran di pagi hari dapat mengundang bahaya. Mungkin letnan itu benar, dan, Ody tidak menyesal telah menyimpan perkataannya rapi didalam memori. Sebab kelembutan pagi yang hening dan sejuk ini adalah bagaimana Ody memanjakan netranya lewat kesederhanaan.
Sementara itu disisi lain, matanya yang mengedar agak riap itu menjadi tersadar ketika langkah kaki halus itu mulai terdengar. Ulu hatinya yang sempat turun kini kembali bangkit untuk tersenyum kecil.
Secerca sinar matahari yang tertutup angkasa, mengusap paras ayunya dengan elok, menyoroti bordir pada gaun yang menyerupai langit biru jernih, membuatnya terlihat bak sedang memijak diatas kelopak bunga teratai suci.
Dunia berhenti sejenak. Namun segera langkahnya yang melintas menyadarkan Cortes yang terjatuh dalam diam.
Pelan saja ia memacu kuda miliknya. Membuat suara tapalnya berketuk-ketuk kecil, mengikuti langkah Ody meski masih menyisakan jarak besar diantara mereka.
Dalam langkah yang sama-sama ringan, mendadak Ody merasakan suatu kehadiran tengah mengekorinya. Suara lembut kaki kuda yang menyapa itu, membuat Ody tanpa sadar melambatkan gerak kakinya. Meresapi kehadiran yang terasa hangat pun ajaib di waktu yang bersamaan.
"Suster,"
Panggilannya mengetuk tepukan di pundak Ody tanpa sentuhan, hingga perempuan itu menoleh kearah belakang dan mendapati seekor kuda yang mengantarkan tuannya tengah melangkah mendekat kearahnya.
Sama sekali tak asing dengan keberadaan sang empunya kuda, "Letnan.," dengan sopan Ody menundukkan kepala pun matanya memejam perlahan.
"Kau kembali mengunjungi rumah sakit sepagi ini?" Cortes memulai percakapan, masih berada diatas kudanya.
Seiring dengan matahari yang mulai meninggi di ufuk timur, menerangi paras sang letnan dengan wajahnya yang terangkat sedang. Pun kuda coklat yang ia tunggangi nampak baik hati. Bulunya mengkilap bak mahkota tersembunyi pun sorot matanya lembut dan tenang, selayaknya bagaimana sang letnan kini tengah memandang Ody seksama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Letter From The Sea to The Shore
Historische RomaneDitengah peperangan Ody hanya memiliki satu mimpi sederhana ; hidup bahagia dengan seorang putri kecil kelak. Namun dunia penuh reruntuhan ini membuat Cortes harus menumpahkan darah di medan perang. Hingga Ody tak lagi mendapat balasan suratnya dan...