Ditengah peperangan Ody hanya memiliki satu mimpi sederhana ; hidup bahagia dengan seorang putri kecil kelak. Namun dunia penuh reruntuhan ini membuat Cortes harus menumpahkan darah di medan perang. Hingga Ody tak lagi mendapat balasan suratnya dan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SEIRING desir mengayunkan rumput ke ufuk barat, langkah senada yang memijak bentala menemani bayu. Ada kelana lantang bersembunyi dibalik makna. Tentang pijak dalam derai tenang terpacu melewati yaum. Berbanding kilat pada derai ricuh berhenti sewaktu-waktu.
Sesuatu yang begitu hebat terjadi di masa ini. Harapan yang mengambang diatas lautan. Terbit dan tenggelam. Gugur atau tumbang. Berjalan mengikuti arus permainan.
Kabut yang menutupi pirau lentera. Gelap. Mentari meredup tanpa peringatan. Begitupula dengan gema tawa yang dikandaskan. Kelabu mengubah tatanan kota. Mencekam menghentikan pesta. Merampas yang berharga. Menindas yang tak berdaya. Nan memaksa yang tak seharusnya.
Dagu terangkat tinggi begitu awas. Mematahkan ketakutan bak ekor yang membuntuti. Bukan hanya satu tarikan napas yang berharga, ada perihal serius yang lebih dari itu.
Menanti di masa depan, tentang tetes air yang diperjuangkan.
Betis menumpuk di bawah lipatan itu menggambarkan citra formal yang berjuang. Di beberapa kacamata, sosok yang bertaruh nyawa itu terlalu berharga. Risau dan gundah diterbangkan ke awang. Untuk saat ini, tak ada yang lebih krusial dari perjuangan.
Langkah yang menguncang tanah menimbulkan ketukan terukur. Dalam menit yang berlalu perlahan udara tertutup oleh serpihan melambung menutupi jarak pandang.
Pandangan kokoh itu perlahan melunak. Pelan dan pelan. Dagu yang meninggi itu meluruh. Perlahan-lahan. Juga, pundak yang berat oleh tanggung jawab itu melupakan kewajibannya sejenak.
Pejaman mata dan hembusan napas itu mengembalikan kenyataan, bahwa dari banyaknya keringat menetes, masih bersarang kepribadian yang sejatinya.
"Oh, melelahkan. Seperti biasa."
Melupakan senjata berat yang membebaninya di hari yang lantang, duduk bersila dan merebutkan landasan dinding bersandar adalah rutinitas mereka.
Meski tak pernah terpikirkan sebelumnya bahkan untuk sedetik, namun hati nurani itu tak tinggal saja. Tentang harapan hebat di masa ini, mereka yang mewujudkannya. Atau tidak sama sekali.
Entah anugerah atau kutukan, menjadi tentara yang membela negara bukanlah hal semudah membalik telapak tangan. Tanggung jawab besar dituangkan, pun harapan yang mengisi gelas. Menjadikan seluruh keturunan adam harus merelakan hari berharga mereka.
Semua untuk yang mereka cintai. Orangtua, pelita hati dan buah cinta. Mereka yang menjadi alasan.
Hening yang tercipta berubah menjadi ruang udara penuh suara. Hembusan napas dan seloroh mengeluh tipis. Perihal kehidupan baru yang mereka jalani kini sebagai tulang punggung masa depan.
Menarik adalah bagaimana mereka melupakan masa muda untuk mencapai masa depan. Perompak yang terjadi dalam sekejap itu menindas seluruh harapan mereka, bahkan untuk menikmati udara tenang pun terasa sulit.