2 | Tapadh leibh

147 25 4
                                    

HARI masih begitu muda untuk menyambut mentari sang pelita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HARI masih begitu muda untuk menyambut mentari sang pelita. Kabut tebal berkumpul rapat di udara. Buliran embun bahkan menetes bagaikan hujan diatas rerumputan.

Mungkin ada satu hal yang ingin Ody sampaikan pada letnan bersuara bariton itu jika mereka bertemu lagi. Berkatnya, sumbu api di pucuk surai Ody seolah berkobar dan terbakar. Dan bangun saat matahari telah meninggi diatas pusat surai tak akan terulang.

Menakjubkan untuk menyadari bahwa putri kedua orang tuanya akan bangun sebelum matahari terbit. Walaupun pada dasarnya garis seorang saudara perempuan kedua adalah pribadi yang ambisius, namun, bagi Ody itu tak sepenuhnya benar.

Jika waktu yang ada dapat digunakan untuk bersantai ria, maka, ia akan memilih itu seumur hidup daripada menjadi perempuan gila ambisi.

Tapi, tidak. Kemarin adalah kali terakhir ia akan berpikir demikian. Perkataan pedas letnan suara bariton itu menyadarkan hakikatnya sebagai seorang putri kedua perempuan.

Perempuan yang gila dan penuh ambisi.

Di hamparan besar yang jarak pandangnya begitu tipis ini, suasana masih begitu sepi sekali. Dapat disimpulkan dua kemungkinan untuk situasi ini. Semua orang belum tersadar dari dunia mimpi yang memabukkan, atau, semua orang tak memiliki nyali untuk keluar rumah.

Mengingat negeri sedang tak baik-baik saja, mungkin kemungkinan kedua adalah alasan yang mutlak. Pesisir kota yang jauh dari pusat tatanan, memiliki budaya yang apik. Bangun di pagi buta mungkin hanya segelintir kecil kuku kelingking. Akan tetapi, itu semua tak akan berjalan mulus mulai saat ini.

Semua telah berubah.

Sepanjang perjalanan, kaki yang mengayun menyapu daun kering itu membuat suara renyah. Tak pernah ada satu orangpun yang menjelaskan bahwa pagi hari akan semenusuk ini. Dingin merambati sampai ke sela jemari. Membuat Ody mau tak mau harus memeluk kedua tangan dibawah ketiak.

"Aku harus mengatakan tapadh leibh, begitu?" gumamnya kecil. Langkah kakinya mulai memijak besar sebab gaun kremnya tidak menutupi seluruh kulit.

"Aneh." katanya lagi. "Kenapa berterimakasih karena dipermalukan didepan para tentara? Dia jelas-jelas mengikis kesempatan para pemuda itu jatuh cinta padaku"

Pikiran tentang kejadian kemarin sore merayapi Ody resap-resap. Entah bagian mana yang terkesan untuknya. Tentang letnan itu yang membuat Ody bangun pagi, atau, tentang mulut pedasnya yang berbicara asal. Rancu. Tapi Ody masih memikirkannya dengan seksama.

Tidak lagi sanggup dengan dingin yang menusuk lewat celah yang tak sempat tertutupi, Ody putuskan untuk mengangkat gaunnya dan berlari kecil. Membelah kabut tebal itu hingga kebulan asap dari napasnya nampak terbang kearah belakang.

Begitu cepat ia melupakan perkara di benaknya. Untuk saat ini, berlari ke rumah sakit dan menghangatkan telapak tangan adalah yang utama. Berterimakasih atau membuang muka ketus nanti adalah spontan yang akan muncul secara natural.

Love Letter From The Sea to The ShoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang