Chapter 18
"Feb, ini udah malem. Yuk, kita pulang," ajak Aidan dengan nada lembut, mencoba mengajak Febby yang masih terduduk di tempatnya.
"Nggak Ai. Aku disini aja," sahut Febby dengan suara yang penuh beban pikiran.
"Feb, ini udah malem, ayo pulang," ajak Aidan lagi, mencoba memahami situasi yang sedang dialami Febby.
"Aku bilang aku masih pengen disini Ai," sahut Febby, suaranya rendah, mencerminkan keinginannya untuk menyendiri dan merenung.
"Ayo, Feb. Gue gak bisa ninggalin gitu aja lo disini sendirian," ujar Aidan dengan kepedulian yang tulus.
"Gue udah maafin yang tadi kok. Itu cuman kelepasan aja bukan?" tanya Aidan dengan harapan bisa meyakinkan Febby. "Sekarang ayo kita pulang. Bunda lo juga pasti udah nungguin lo dirumah," sambungnya dengan penuh kebaikan hati.
"Tinggalin aku sendiri disini Ai. Aku gapapa kok pulang sendiri, lagian jam segini masih ada taxi kok disekitaran sini," sahut Febby, mencoba memberikan alasan untuk sendirian.
"Jadi plis, tinggalin aku sendiri," sambungnya dengan suara yang penuh permohonan.
"Nggak Feb. Gue gabakalan ninggalin lo disini sendirian," ujar Aidan seraya mencoba menarik tangan Febby.
"Lepas Ai. Aku bilang lepas!" seru Febby tegas, melepaskan genggaman tangan Aidan.
"Ini permintaan terakhir aku. Tolong Ai. Tolong pergi dari sini. Aku gak mau liat kamu sementara," sambungnya dengan nada penuh emosi.
"Feb,"
"Aidan, aku mohon," ucap Febby dengan mata berkaca-kaca, memohon agar Aidan memahami keinginannya untuk sendirian.
****
Aidan terdiam, seketika dunianya terasa runtuh. Matanya menatap hampa, tidak bisa mempercayai kabar yang baru saja disampaikan oleh Linda. Adeera, yang sebelumnya tengah asyik dengan album foto, merasa terpukul mendengar berita tersebut.
"Febby meninggal?" ucap Aidan dengan suara lirih, seolah mencoba memastikan kebenaran yang sulit dipercaya. Linda hanya bisa mengangguk sedih, membiarkan kesedihan mengisi ruangan.
Aidan berusaha memproses berita itu. Hatinya terasa hancur, dan kenangan bersama Febby muncul di benaknya. Ia merasa bersalah, seharusnya kemarin ia tidak meninggalkan Febby begitu saja kemarin.
Linda mencoba memberikan dukungan dengan meraih tangan Aidan. "Aku nggak tahu harus bilang apa, Aidan. Tapi aku di sini buat kamu," ucapnya dengan lembut.
Aidan hanya bisa mengangguk, masih terpaku dalam kehampaan. Mereka berdua, bersama Adeera, menghadapi momen yang tak terduga ini, merenung pada kehilangan yang baru saja mereka terima.
****
Mereka berada di pemakaman Febby, suasana sekitar dipenuhi kesedihan. Semua orang mengenakan baju hitam, menciptakan pemandangan yang kelam. Siti-ibu Febby, terus menangis tersedu-sedu sambil memegang erat padung anaknya yang bertuliskan Febby Ayu Ningsih binti Abraham.
Rian, salah satu teman dekat Febby, terlihat hancur. Wajahnya penuh dengan kesedihan, dan tangisannya meski pelan, tetapi terasa menyakitkan. Pria itu tidak sempat menyatakan perasaannya pada Febby, dan kini rasa penyesalan menyelimutinya seperti kabut kelabu.
Aidan, yang merasa bertanggung jawab atas kepergian Febby, melihat penderitaan yang dialami Rian. Hatinya terasa hancur, dan air mata tak tertahankan mulai mengalir. Ia menyesali keputusannya meninggalkan Febby sendirian di taman malam itu. Mungkin, jika waktu bisa diulang, ia tak akan pernah meninggalkan temannya tersebut. Linda, melihat keadaan Aidan, mencoba menenangkan dengan menggenggam erat tangannya, memberikan dukungan dalam kepedihan yang mereka alami bersama.
****
Satu minggu kemudian, suasana kelas yang awalnya dihiasi gelak tawa dan keceriaan, kini berubah menjadi hampa dan sepi. Setiap langkah di koridor sekolah terasa berat, mengingat kursi Febby yang kini kosong.
Aidan, yang dulu sering menjadi sasaran kejahilan Febby, kini merasakan kekosongan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Tiap sudut kelas menyimpan kenangan tentang canda tawa mereka, tentang curahan hati yang pernah didengarnya dari Febby, dan tentang momen-momen bersama yang takkan terlupakan.
Rian, yang dulu sering menjadi teman setia Febby, kini terdiam, meratapi kehilangan sahabatnya. Ruang kelas terasa sepi tanpa keceriaan gadis itu, kini menjadi kenangan yang penuh makna.
Begitu banyak kenangan yang mewarnai kelas itu. Mereka saling pandang, saling merenungi, dan merasakan betapa berharga setiap momen yang telah mereka lewati bersama Febby. Kini, kelas itu bukan hanya sebuah ruangan belajar, melainkan tempat di mana kenangan indah bersama Febby akan selalu terpatri dalam hati mereka.
****
"Temen-temen, katanya hari ini ada murid baru, loh," ujar Ashel penuh semangat kepada kedua temannya.
"Oiya, cowo atau cewe?" tanya Amanda dengan rasa ingin tahu.
"Rumornya sih cowo murid barunya teh," jawab Ashel memberikan informasi tambahan.
Lonceng masuk berbunyi, seorang guru paruh baya pun sudah datang ke kelas dengan seorang murid baru membuntutinya.
"Halo anak-anak, kita kedatangan murir baru. Disilahkan perkenalan ya, nak," pinta Bu Dewi, seorang guru mata pelajaran fisika.
Linda merasa terkejut saat melihat murid baru itu.
"Perkenalkan aku Erlangga Prakasa, sering dipanggil Ega. Pindah ke Bandung dari Jakarta karena urusan keluarga. Semoga kita bisa berteman baik," sambut Erlangga.
Erlangga menoleh kearah Linda lalu tersenyum lembut pada gadis itu.
"Lin, barusan dia senyum kearah kamu loh," sampai Ashel heboh sendiri.
"Cie, kayaknya dia naksir sama kamu deh, Lin," tambah Ashel.
"Ih, mana ada Shel. Aku kan udah punya Aidan," tolak Linda.
"Iya, nih, kamu ada-ada aja, Shel," tambah Amanda.
"Kalau begitu, kamu duduk didepan Linda ya. Karena bangkunya kosong," sampaikan Bu Dewi, pria itu mengangguk lalu berjalan kearah bangkunya.
Erlangga Prakasa, dengan rambut hitamnya yang sedikit bergelombang, tersenyum ramah kepada Linda.
Sementara itu, Ashel dan Amanda memandang situasi dengan heran.
"Hai, Lin. Apa kabar?" tanya Erlangga seraya memberikan senyuman hangat pada Linda.
"Hai, Ega. Aku baik. Selamat datang di Bandung ya," sahut Linda.
"Kalian udah saling kenal?" tanya Ashel penasaran.
Linda tertawa pelan. "Dia temen sekolahku di jakarta,"
****
#Pensi #eventpensi #pensivol6 #teorikatapublishing
Komen ❤️ sebanyak-bayaknya heuheuu...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary 1990 [TERBIT]
Short Story[Event PENSI Vol 6] Tahun 1990, sebuah kisah cinta merekah indah di dalam ingatan. Senyum, tatapan, dan momen-momen manis membangun lukisan indah. Meski berubah seiring waktu, kenangan itu tetap menghiasi hati, menjadi bagian abadi dari kisah cinta...