Chapter 25
Aidan dan Linda tiba di tempat tujuan mereka, sebuah rumah yang memberikan aura kedamaian. Saat pintu rumah terbuka perlahan, Mariam, wanita paruh baya penuh kelembutan yang merupakan nenek Aidan, menyambut kepulangan mereka dengan senyum hangat. Namun, senyum itu segera berubah menjadi ekspresi kecemasan saat melihat Aidan yang ditopang oleh Linda. Dengan langkah yang cepat dan penuh keprihatinan, Mariam mendekati mereka, hatinya dipenuhi pertanyaan, dan tangan wanita itu terulur siap membantu menopang cucunya yang tampak kesakitan. Suasana penasaran dan kekhawatiran mewarnai momen ketibaan mereka di rumah Mariam.
Setelah menyentuh tanah halaman rumah, mereka melangkah masuk ke dalam, dibawa oleh kerinduan untuk beristirahat setelah perjalanan yang cukup panjang. Aidan, dengan wajah yang mencerminkan rasa sakit dan ketidaknyamanan, dibantu oleh Linda untuk duduk di ruang tamu yang hangat. Mariam, dengan pandangan cemas dan prihatin, memperhatikan mereka berdua yang sudah dibalut kapas dan plester, tampaknya mengalami kejadian yang tidak diinginkan. Wanita paruh baya itu mengamati dengan kebingungan yang jelas, mencoba menyingkap misteri di balik luka-luka itu, dan bibirnya bergerak ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Kalian kenapa? Jatuh dari motor? Pasti kamu bawa motornya ngebut kan? Lihat, menantu Oma jadi terluka," ujar Mariam seraya memukul lembut tangan Aidan dengan ekspresi campuran antara kekhawatiran dan kecewa.
"Nggak, Oma. Mana mungkin Idan ngebut-ngebut sambil bonceng pacar Idan," sahut Aidan dengan senyum lemah mencoba menghibur neneknya.
"Terus kenapa dong?" tanya Mariam dengan tatapan tajam penuh penasaran.
"Kita tiba-tiba aja diserang, Oma," timpal Linda, wajahnya mencerminkan kebingungan.
"Diserang? Sama siapa? Idan, kamu punya musuh?" tanya Mariam, dengan sorot mata yang semakin tajam.
"Nggak, Oma. Idan gak punya sama sekali. Bahkan Idan gak ikut-ikutan genk motor," sahut Aidan dengan serius, berusaha meyakinkan Mariam bahwa kejadian ini benar-benar mendadak dan tanpa alasan yang jelas.
Mariam tetap melihat mereka dengan pandangan yang penuh kekhawatiran. "Tapi kenapa bisa diserang begitu saja?" tanyanya, mencari penjelasan yang masuk akal.
"Aku nggak tau, Oma. Tiba-tiba aja datang dua orang itu, langsung nendang-nendang motor kita," jelas Linda, wajahnya masih terlihat khawatir.
Mariam mengangguk perlahan, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima.
"Kalian berdua baik-baik saja, kan?" tanyanya sambil meraba perban dan plester yang melapisi luka mereka."Kita baik-baik aja, Oma. Hanya luka ringan aja, kok" sahut Linda, mencoba memberikan kepastian pada Mariam.
Mariam tersenyum lembut, memandang Linda dengan penuh kehangatan. "Baiklah kalau begitu. Kalian harus hati-hati, ya. Jalanan tidak seperti yang dulu aman. Yuk, kita ke ruang makan, kita makan sama-sama," ajak Mariam, menyuarakan kekhawatiran yang masih terselip di dalamnya.
"Deera kemana, Oma?" tanya Linda.
"Deera sudah pulang, tapi dia lagi tidur. Katanya kecapekan," sahut Mariam.
****
"Ini, buat mama kamu," ujar Mariam seraya menyodorkan rantang.
"Makasih ya, Oma. Mama pasti suka," sahut Linda seraya membawa rantang itu.
"Kalian hati-hati ya?" ujar Mariam, khawatir.
"Iya, Oma. Kita bakalan lebih hati-hati lagi," sahut Aidan.
"Kalau begitu, Oma, Lin pamit ya," pamit Linda serata mencium punggung tangan paruh baya itu.
"Iya, hati-hati dijalan,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary 1990 [TERBIT]
Short Story[Event PENSI Vol 6] Tahun 1990, sebuah kisah cinta merekah indah di dalam ingatan. Senyum, tatapan, dan momen-momen manis membangun lukisan indah. Meski berubah seiring waktu, kenangan itu tetap menghiasi hati, menjadi bagian abadi dari kisah cinta...