Arson sedang berada di belakang sekolah, dengan rokok di antara sela jarinya, dia membolos seperti biasa.
Senyum tipis tersungging di setiap hisapannya pada rokok itu, teringat kejadian semalam yang masih melekat di pikiran. Dia ingat semua tingkah menggemaskan yang Devon lakukan karena terlalu senang dengan mainan barunya.
Namun, pada hisapan selanjutnya, ketika asap dihembuskan keluar dari mulut, senyum di wajahnya perlahan memudar. Arson ingat apa yang Devon ceritakan tentang orang-orang di kelasnya yang sering melakukan hal jahat pada cowok kecil itu.
Jenna, satu orang yang sudah Arson tandai sejak pertama nama itu keluar dari mulut Devon. Arson merasa harus memberi sedikit peringatan kecil pada gadis itu.
Arson beranjak, membuang rokoknya yang sudah berubah pendek dan menginjaknya di tanah. Dia melangkah pergi menuju kelas IPS 3 tempat Devon belajar. Arson berdiri di dekat jendela yang menghadap ke koridor, memperhatikan Devon yang duduk di baris paling belakang, sedang fokus memperhatikan guru yang sedang menjelaskan di depan sana.
Mata bulat itu semakin membesar pertanda dia tertarik dengan pembahasan yang gurunya jelaskan, sesekali juga dia mengangguk, dan mulut yang ikut membulat lucu. Tanpa sadar Arson terkekeh kecil melihat kelakuan Devon.
Arson larut dalam kegiatannya memandangi Devon yang sedang menyimak gurunya dengan baik, sampai bel istirahat berbunyi.
Semua murid satu persatu berhambur keluar, kecuali Devon yang hanya menelungkupkan kepalanya pada lipatan tangan di atas meja.
"Arson!" pekik suara melengking yang Arson hapal dengan sangat siapa pemiliknya. "Kamu ngapain ih disini? Nungguin aku?" tanyanya seperti menggoda Arson.
Arson mengangguk membenarkan apa yang Jenna katakan, karena memang Jenna juga menjadi salah satu alasan Arson pergi kesini. "Gua perlu ngomong sama lo" katanya.
"Ih udah aku duga kamu emang mau ketemu sama aku. Tadi aku liat loh kamu ngeliatin aku terus pas aku lagi belajar" Jenna tersenyum malu-malu. Tangannya meraih tangan Arson untuk dia genggam. "Ayo, kamu mau ngomong dimana?" tanyanya.
Arson merengut risih ketika tangannya di genggam dengan sangat erat. Dia segera menepis genggaman itu dengan satu sentakan kasar yang sedikit membuat Jenna limbung kesamping. "Ngomong disini aja" kata Arson.
Jenna mengerutkan alisnya. "Gak mau di kantin aja sekalian kita istirahat bareng? Aku kangen loh makan siang berdua bareng kamu kaya waktu kita masih SMP"
"Disini aja!" Arson mempertegas ucapannya.
"Ish, emangnya kamu mau ngomong apa sih?"
"Jangan ganggu Devon lagi!" kata Arson memberikan peringatan.
Ekspresi terkejut tergambar jelas di wajah Jenna. Matanya membulat, tapi langsung mengerutkan alis setelahnya. "Maksud kamu apa sih? Emangnya kapan aku ganggu cowok pick me itu?"
Arson menggeram tertahan ketika mendengar Jenna yang masih melontarkan perkataan sampah tentang Devon. "Jaga omongan lo! Devon bukan cowok pick me" sentak Arson dengan suaranya yang berat.
"Aku kan cuman ngomong fakta. Kamu yang gak tau kalo Devon itu emang pick me. Dikit-dikit ngeluh sakit, kesenggol dikit aja kesakitan, emang sukanya caper doang dia tuh, maunya jadi pusat perhatian. Sikapnya yang sok polos, gak cocok banget sama mukanya yang kadang banyak luka itu. Katanya dia anggota geng tawuran, kan? Gak tau deh itu bener apa enggak, tapi kalo dia emang beneran pergi tawuran, pasti dia jadi yang pertama kebacok-"
"Gua bilang, jaga omongan lo, Jenna!" kata Arson penuh penekanan di setiap katanya, menghentikan ocehan Jenna. Tubuhnya sedikit mendekat dengan gadis itu, mengacungkan jari telunjuknya tepat menunjuk wajah Jenna. "Fakta? Tau apa lo soal Devon sampe berani banget bilang yang lo omongin itu fakta? Apa yang lo liat belum tentu itu faktanya. Dan tadi lo bilang Devon maunya jadi pusat perhatian doang?" Arson mendengus. "Devon yang cari perhatian, atau lo aja yang sebenernya takut kalah saing? Lo takut kalo Devon bisa ngegeser posisi lo jadi pusat perhatian, kan? Lo pikir gua gak tau kalo yang gila popularitas itu lo, Jenna"
Jenna terdiam kaku. Dia memundurkan tubuhnya beberapa langkah kebelakang. Tersinggung dengan apa yang Arson katakan barusan.
Ini sisi Arson yang jarang dia tunjukan. Jenna dan Arson itu berteman sejak kecil, jadi beberapa dari sifat mereka bisa dikatakan hampir sama. Di beberapa kesempatan mungkin Arson bisa dibilang cukup lembut, tapi di kesempatan lainnya mulut Arson bahkan bisa lebih parah dari pada hanya sekedar mengeluarkan kata-kata kasar. Mulut Arson itu berbahaya dan Jenna jelas mengetahui hal itu.
"A-Arson...? Kamu kenapa ngomongnya kaya gitu? Kenapa kamu malah belain Devon?"
"Salah lo karena udah nyebar fitnah sampe ngebuat Devon kesusahan. Mulut sampah lo itu udah ngerugiin orang lain, jadi berenti ngomong hal yang gak bener tentang Devon!"
Jenna kesal, dia berdiri tegak menatap Arson dengan tatapan emosi. "Gak bener apanya?" Jenna menjerit. Membuat mereka berdua jadi pusat perhatian karena diperhatikan oleh semua orang yang ada di koridor ini. "Semua yang gua omongin itu bener! Devon emang pick me. Dia selalu nanya-nanya terus ke guru cuman biar dapet apresiasi sebagai murid yang paling aktif di kelas. Kadang cara ngomongnya juga dibuat-buat biar keliatan kaya anak polos, supaya semua orang nganggep dia gemesin. Emangnya aku gak tau kalo dia cuman anak jalanan rebel yang sukanya cari ribut sana-sini? Dia bertingkah begitu cuman buat nutupin kelakuan bajingannya di luar sana kan? Dia tuh anak gak bener, harusnya dia udah dari lama di keluarin dari sekolah ini"
Tangan Arson sudah mengepal kencang di sisi tubuhnya, dia menghela napas untuk menahan emosi. Harusnya dia tau kalau hal seperti ini pasti akan terjadi sebab sifat Jenna yang memang pada dasarnya tidak mau kalah. "Gua gak tau apa yang ngebuat lo jadi sebenci itu sama Devon sampe bisa ngomong kaya gini, tapi gua kasih lo peringatan buat jangan pernah ganggu Devon lagi! Sampe gua denger ada omongan gak bener soal Devon, lo yang bakal pertama gua cari! Oh, sama bilang juga ke antek-antek di kelas lo, buat gak macem-macem lagi ke Devon!"
Jenna berdiri angkuh dengan tangannya yang terlipat di depan dada. Matanya memicing sinis pada Arson. "Kenapa? Kenapa kamu sampe segininya ngebelain cowok lebay itu, Arson? Kamu bahkan gak pernah ngebela aku segininya? Apa yang kamu liat dari dia? Karena dia anak yang polos? Kamu percaya dia anak polos?" Jenna mengajukan pertanyaan beruntun.
"Gua ngeliat apa yang gak bisa lo liat" Arson berbalik dan mengulas senyum tipis. Sangat tipis sampai nyaris tidak terlihat. "Inget baik-baik apa yang gua bilang!"
"Kalo aku gak mau denger apa yang kamu bilang, emangnya kamu bisa apa? Inget ya Arson, orangtua kamu percaya sama aku, gimana kalo sampe aku bilang ke mereka kalo kamu disini jadi anak nakal gak bener? Kamu bakal langsung di suruh balik ke Singapur dan pindah tinggal disana. Kamu gak mau kan kalo sampe itu terjadi?"
Arson mendengus. "Lo pikir lo bisa ngancem gua? Lakuin sesuka lo, Jenna, gua gak perduli"
Arson meninggalkan Jenna. Gadis itu mendesis kesal dengan tangan yang diremat sangat kuat sambil matanya menatap terus punggung Arson yang perlahan menjauh.
"Kamu berani ngomong kaya gitu sama aku Arson? Liat aja, kamu bakal tau balesan apa yang kamu bakal dapet dari omongan kamu itu!" Dari jendela koridor, Jenna melihat Devon yang sedang tertidur di tempat duduknya. "Gara-gara bergaul sama lo, Arson jadi kasar ke gua, Devon. Liat aja, apa yang bakal gua lakuin ke lo, dasar anak manja! Gua bakal bikin hari-hari lo di sekolah ini jadi gak tenang," geram Jenna dengan penuh emosi.
_____________________
Siapa yang bisa nebak Devon bakal diapain sama Jenna di chap selanjutnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...