⚠Peringatan adegan kekerasan dan perundungan
___________________________Devon tertidur dengan meletakan kepala pada lipatan tangannya di atas meja. Devon diam-diam merasakan perutnya yang terasa sedikit sakit karena seingatnya diahanya memakan beberapa bungkus chocopie pemberian Arson tadi malam dan tidak memakan apapun lagi setelah dia pulang ke rumah.
Ini jam istirahat, harusnya Devon pergi ke kantin dan makan jajanan disana seperti kebanyakan teman sekelasnya yang lain, tapi dia lebih memilih tidur untuk mengurangi rasa sakit di perutnya.
Devon larut dalam isi kepalanya sendiri. Kembali merasa senang ketika mengingat mobil mainannya yang dia letakkan di apartemen Arson, dia sangat berterimakasih pada Arson karena mau membelikannya mainan itu.
Tidak seperti apa yang dia pikirkan, Arson itu ternyata sangat baik. Devon ingat beberapa kali Arson membantunya meski dia selalu menolak, membelikan makan atau hanya sekedar memberi es krim. Semua hal kecil yang seharusnya menjadi sesuatu yang sepele, tapi justru berarti sangat besar untuk Devon. Dia senang bisa merasakan hal-hal sederhana seperti ini, sebab sebelumnya tidak ada yang mau melakukan hal seperti itu untuknya. Devon ingat, dia perlu menabung selama beberapa hari hanya untuk membeli sebungkus es krim karena dia tidak bisa meminta pada siapa pun untuk hal kecil yang dia inginkan.
Namun, Arson tiba-tiba datang, memberikan semua yang Devon inginkan dengan mudahnya tanpa harus ada timbal balik. Menurut Devon, Arson itu lebih dari pada sekedar baik hati.
Sejak semalam, ketika Arson membelikannya mainan mobil yang berharga mahal, Devon jadi berpikir dia tidak pantas menerima apa yang Arson beri. Mereka bukan hanya dua orang asing yang tidak sengaja bertemu, melainkan jauh dari pada itu mereka adalah musuh yang sering beradu senjata di tempat tawuran. Devon jelas sangat menyadari perbuatannya yang sering kali membahayakan nyawa banyak orang dan mungkin secara tidak sengaja dia juga pernah membahayakan nyawa Arson dalam suatu tawuran. Namun, seakan tidak mempermasalahkan itu, Arson tetap memberinya sesuatu tanpa pamrih. Devon merasa tidak pantas mendapatnya setelah semua hal jahat yang pernah dia lakukan.
Mendadak indra pendengaran Devon menangkap suara ribut dari dua orang yang sedang berselisih. Terdengar bising suara orang-orang saling bersautan yang sepertinya berasal dari luar kelas. Fokusnya teralihkan untuk sesaat, tapi Devon benar-benar sangat malas bahkan hanya untuk sekedar mengangkat kepalanya.
Devon meringis ketika merasakan perutnya yang sebelumnya hanya mulas ringan, tiba-tiba berubah menjadi rasa sakit yang luar biasa. Seolah-olah ada sesuatu yang menggores-gores lambungnya.
Suara-suara ribut di luar kelas seakan hilang dari perhatiannya, tergantikan oleh sakit yang semakin menyiksa dalam dirinya. Tangannya bergerak mencengkeram erat perutnya, berharap itu cukup untuk membuat rasa sakitnya mereda. Namun, nyatanya, apa yang dia lakukan itu tidak membantu sedikit pun.
Perlahan keringat mengalir dari pelipis, kepalanya mulai berputar pusing. Rasa sakit yang dia rasakan sampai membuat telinganya berdengung. Beberapa orang yang ada di dalam kelas tidak ada yang menyadari bahwa Devon tengah kesakitan, atau bisa dikatakan memang tidak ada seorang pun yang memperdulikan dia disini.
Devon tidak bisa berpikir lagi, kepalanya terlampau kosong dan sakit. Cengkraman tangan pada perutnya mulai terasa perih, tapi rasa sakit di bagian dalam lambungnya tidak juga menghilang, sebaliknya justru semakin terasa nyeri.
Di saat-saat seperti ini, Devon selalu berharap dia bisa kehilangan kesadarannya dan mengakhiri rasa sakit yang dia alami, tapi tidak peduli sesakit apapun yang dia rasakan, Devon tidak pernah pingsan. Seakan keadaan ingin semakin menyiksanya dengan terus membiarkan dia merasakan sakit.
Di tengah usahanya menahan rasa sakit, Devon tersentak ketika dia terguyur oleh cairan dingin yang menyentuh tubuhnya. Bersamaan dengan itu, bau busuk tercium dari air yang sudah membasahinya.
Devon mendongak, matanya menatap bingung pada semua orang yang ada di sekitarnya. Hampir semua orang berkumpul memperhatikannya, tapi tidak ada seorang pun yang mau menolong, beberapa dari mereka justru tertawa dan melempar ejekan terhadap Devon.
Mengabaikan semua orang itu, pandangan Devon kembali menatap perempuan yang berdiri tepat di depannya, dia melihat Jenna dengan tangan memegang botol plastik yang sudah kosong. Dari situ Devon menarik kesimpulan bahwa Jenna adalah orang yang baru saja menyiramnya.
Seluruh tubuh Devon dari ujung kepala total basah dan mengeluarkan bau tidak enak yang membuatnya mual. Meski begitu, Devon tidak melakukan apapun, dia terdiam kaku. Matanya berkedip kebingungan mencerna hal yang tiba-tiba terjadi, melirik kesana-kemari mencari jawaban dari ekspresi setiap orang yang menatap penuh penasaran padanya, tapi kenapa? Apa salahnya? Beberapa menit yang lalu, Devon hanya tidur di tempatnya, tidak melakukan apapun.
Devon terus bertanya-tanya apa alasan Jenna melakukan hal ini, tapi belum sempat mendapat jawabannya, tubuh Devon sudah didorong kuat oleh perempuan itu sampai punggungnya menabrak dinding di belakangnya. Jenna mencekik leher Devon dengan kedua tangan, sampai dia kesulitan bernapas.
"T—tolong lepas..." kata Devon dengan suara terputus.
"Apa yang udah lo bilang ke Arson sampe dia berani ngomong kasar ke gua? Dasar tukang ngadu!" bentak Jenna yang semakin menguatkan cekikannya pada leher korbannya.
Devon menggeleng panik, napasnya semakin tipis karena jalur pernapasan yang tertahan. Dia berontak sekuat tenaga, mencoba melepaskan tangan Jenna dari lehernya, sampai tanpa sengaja kakinya berhasil menendang Jenna dan membuat gadis itu terdorong jatuh ke lantai.
"Devon!" bentak seseorang yang mengagetkan semua orang. Atensi seisi kelas beralih menatap ke sumber suara yang ternyata berasal dari wali kelas mereka. "Kamu laki-laki, tapi berani nendang perempuan sampai dia jatuh seperti itu? Ikut saya ke ruang BK sekarang juga!" titahnya.
Devon menatap terkejut. "E—enggak pak... Ini... ini tadi s—saya..." Suaranya yang bergetar tetap mencoba menjelaskan kejadian sebenarnya. Kepanikan tergambar jelas dari ekspresi dan gelagat Devon.
Namun, yang Devon dapatkan hanya gelengan singkat dari wali kelasnya. "Saya tidak mau mendengar alasan apapun, silahkan kamu jelaskan semuanya di ruang BK!" kata guru itu tidak mau sedikitpun mendengar penjelasan dari Devon.
Baju Devon yang basah seharusnya sudah menjadi bukti kuat, tapi guru itu seperti abai akan hal tersebut dan tidak memberi Devon izin untuk sekedar membersihkan diri di toilet.
Devon tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dari tempatnya berdiri, dia mendapati Jenna yang berdiri di belakang guru itu, sedang tersenyum mengejeknya. Melihat itu, garis bibir Devon melengkung kebawah bersamaan dengan kepalanya yang ikut menunduk.
Dengan langkah terpaksa, Devon berjalan mengikuti guru menuju ruang BK. Ketika berjalan di koridor, tubuhnya yang basah sedikit menggigil menahan rasa dingin akibat terkena tiupan angin.
Devon seharusnya sudah tau bahwa tidak akan ada orang yang mau mendengarkannya. Tidak akan ada orang yang bisa membantunya dalam masalah ini. Ingin sekali Devon berharap, memiliki seseorang yang setidaknya akan terus berada di pihaknya dalam situasi seperti ini. Bolehkah dia berharap begitu? Jujur, Devon merasa takut sekarang, dia tidak siap jika nantinya harus dimarahi di dalam ruang konseling itu.
Tangan Devon mengepal kuat di sisi tubuhnya. Bukan karena emosi, melainkan mencoba untuk meredakan kepanikan, menahan tangannya yang gemetar. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat seiring dengan langkahnya yang semakin dekat dengan ruangan yang mereka tuju. Pikirannya terus menerka-nerka apa yang akan terjadi padanya di dalam ruangan itu, bagaimana dia akan menghadapi semua tuduhan yang pasti akan menyudutkannya.
Devon sudah hampir menangis, tapi dia berhasil menguasai diri. Dia berusaha mengontrol perasaannya sebaik mungkin, sehingga berhasil menahan air matanya agar tidak menetes sampai langkah kakinya masuk ke dalam ruang BK.
__________________
Ada yang tau film jepang yang judulnya Monster gak? Kemaren gua nonton film itu, terus pas ngeliat Yori malah kepikiran sama Devon terus. Jadi kaya ngeliat visualisasi Devon versi lebih muda karena dari sisi manapun Yori ini emang mirip banget sama Devon
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...