27; Kenyataan

3.3K 275 268
                                    

“Jaff ... kayaknya aku hamil, kita harus gimana?” Dari sekian banyak momen yang udah jadi bagian dari pengalaman hidupnya, teruntuk yang satu ini jelas nggak pernah masuk ke perkiraan Jaffan bakal dialami. Kalimat yang keluar dari mulut pacarnya di sambungan sana membekukan dia seketika. Jangankan untuk merespon, otaknya pun menolak bekerja.

“Jaffan, kita harus gimana?” Hega terus mengulang pertanyaan yang sama. Nampaknya dia mulai nangis lagi, suaranya lebih parau dan lirih ketimbang tadi. Gemini itu sekarang posisi jauh dari rumah, sendirian, lagi KKN, dan kabar ini juga pasti tiba-tiba banget dia terima. Jaffan harusnya paham setakut apa Hega, tapi sekadar ucap satu kata pun dia nggak bisa. Lidahnya kelu. “Jaffan, please ... please aku mohon, tolong ke sini, jangan diem aja ... temenin aku, aku nggak mau sendirian.”

Di tempatnya berdiri terpaku, Jaffan basahi tenggorokan dengan telan saliva. Tangan kirinya mengepal erat, kedua mata terpejam, mendadak yang dia ingat justru sang Mama. Iya, memang dia udah saksikan gimana Radi berhasil menjalani kehamilannya serta melahirkan si kembar dengan selamat, tapi itu nggak menghilangkan penuh keraguan serta ketakutan yang Jaffan punya dari traumanya dulu nemenin Mama di masa-masa sakit.

Selama ini dia berani macem-macem sama Hega karena mereka berdua yakin konsekuensinya nggak akan sebesar itu. Di kemungkinan terburuk paling ya ketauan sama orang tua kalau mereka sering berhubungan sebelum menikah, tapi nggak pernah satu kali pun Jaffan berpikir hari kayak gini bakal datang.

“Kamu dengerin nggak, sih? Kenapa kamu diem aja? Menurutmu ini nggak penting?” Jaffan ngebiarin Hega menunggu jawaban terlalu lama, anak itu mulai marah. “Kalau kamu kepikiran jadi bangsat sekarang, sampai mati aku nggak bakal maafin kamu.” Tuturan si gemini dingin meski masih bisa kedengeran suara seraknya.

Jaffan buka mulut, tapi urung. Dia memilih jalan yang paling berisiko; memutus panggilan pacarnya sepihak tanpa beri kepastian apa-apa. Lengan Jaffan yang semula pegang ponsel ke telinga langsung jatuh ke sisi badan, tatapannya kosong. Sesak di dada nggak terhindarkan, tungkainya diseret menepi dan dia berakhir jongkok bersandar dinding rumah sakit. Di sebalik tembok ini ada tawa sukacita dari sahabatnya yang menyambut malaikat-malaikat kecil pelengkap keluarganya, tapi di luar sini, dia berantakan.

Pemuda dua puluh tahun ini jambak rambutnya sendiri, menatap nanar ponsel di tangan yang nggak berhenti menyala karena panggilan serta pesan masuk dari pacarnya. Jaffan nggak tau harus gimana. Meski harusnya nenangin Hega, dia tetap aja masih syok.

Ting!

Notifikasi terakhir adalah pesan suara, nggak panjang, tapi jantung Jaffan serasa dicabut keluar waktu dengernya.

“Ternyata percuma aku hubungi kamu ... mungkin kalau anak ini mati, kamu baru akan sadar.”

Manik Jaffan melotot, dia nggak pikir dua kali untuk memulai panggilan ke nomor sang pacar, tapi sayangnya Hega udah di puncak emosi—nomornya diblokir.

Jaffan gelagapan berdiri, dia lari turun ke parkiran rumah sakit tanpa repot-repot pamit dulu sama Radi serta suaminya. Di otaknya kini penuh pikiran tentang Hega, dan tentang gimana responnya yang salah banget sampai sang pacar bisa bikin kesimpulan kayak gini.

Sebesar rasa takutnya kehilangan Hega, Jaffan nggak keberatan untuk jadi ayah buat anak-anak yang lahir dari sang jauza. Kalau aja situasinya bukan kayak gini ... andai aja mereka berdua ada di posisi Jaka sama Radi, pasti sekarang Jaffan bakal peluk Hega erat-erat dan berucap terima kasih banyak-banyak.

“Aku minta maaf ... jangan berbuat hal bodoh, Bear, please.” Tungkai jenjangnya dibawa lari dengan langkah lebar-lebar. Nggak peduli lagi di rumah sakit dan dia ditegur sepanjang koridor, Jaffan cuma berdoa dia nggak terlambat nyusul Hega.

[4] Stubborn Love | ft. NaHyuck (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang