38; Belahan Jiwa (END)

5.2K 303 348
                                    

Bunga tidur. Jaffan bukan salah satu orang yang sering peduli sama mimpinya. Mau indah atau buruk, kecuali memang ada alasan kuat kenapa dia harus khawatir, maka Jaffan bakal langsung lupain dan anggap angin lalu setelah bangun esok harinya. Namun, malam ini sedikit beda. Dalam mimpi yang tiba-tiba datang, dia enggan untuk cepet-cepet buka mata.

“Begini, Mumma?” Suasananya sore hari, di halaman belakang rumah yang kini ditempati tiga orang termasuk dia sendiri. Jaffan berdiri mengamati punggung Hega dan bocah laki-laki yang diyakininya adalah anak pertama mereka. “Iya, betul ... pinter banget.” Dua orang terkasihnya tengah sibuk berkebun, mindahin tanaman dari polibag ke pot lebih besar. Suara tawa mereka mengalun merdu di telinga Jaffan, terutama sang putra yang baru pertama kali ini hadir di mimpinya.

Rasa penasaran menyeruak dalam relung sang leo, dia mau tau wajah putra mereka seperti apa. Meski dia pun paham ini cuma mimpi dan besar kemungkinan nggak akan terulang sama di dunia nyata.

“Tama?” Panggilnya, melangkah dekati ibu dan anak yang dari tadi jongkok menghadap tumpukan pot dan tanah sekam. Pertama Hega yang noleh dengan senyum cantiknya, lantas disusul sosok mungil di sebelah menjawab, “Dalem, Bubba?” Rasa-rasanya hati Jaffan meleleh saat itu juga. Dia bertemu sepasang manik mata gelap yang menatap polos serta senyuman lebar dengan deretan gigi kecil nan rapi mengintip. Anak itu punya hidung mancung dan pipi bulat merona—hampir semua yang melekat di anak itu adalah gambaran masa kecilnya.

“Bubba ayo bantuin, masih banyak yang harus dipindah ke pot!” Ujar Tama, menyadarkan Jaffan untuk kembali jadi tuan di dalam bunga tidurnya sendiri. Pemuda leo itu ketawa kecil, ngangguk dan ikut jongkok di sebelah kanan si kecil sehingga Tama kini diapit ibu serta ayahnya. “Oke, Bubba bisa bantu apa?” Telapak tangannya naik mengusak rambut sang anak.

“Bantu masukin tanah ke potnya aja, Mas. Biar nanti Tama yang pegangin tanamannya.” 

Jaffan noleh, balas tatap Hega yang di mimpi ini pastilah udah berstatus sebagai istrinya. Dia senyum, ngangguk kilas dan mereka melanjutkan agenda berkebun kemudian. “Mumma, cacing!” Pekik si kecil heboh, telunjuknya mengarah ke tumpukan tanah yang barusan dikeluarin dari polibag.

“Tama takut cacing?” Jaffan tanya karena dia saksikan ekspresi geli sang putra. Gestur si kecil yang lalu makin mepet ke tempat ibunya adalah sebuah jawab iya tanpa kata-kata, jadi Jaffan ambil cacing itu terus dilempar. “Udah hilang cacingnya. Nanti kalau nemu lagi, biar Bubba yang buang, oke?”

“Eum, terima kasih, Bubba.” Tama ngangguk kecil, kalau bukan karena tangannya kotor, Jaffan bakal usak pucuk kepala anak itu lagi. Makin bahagia aja rasanya Jaffan tau anaknya sesopan ini sama orang tua. “Sama-sama, Sayang.” Dia masih terus mengekori pergerakan sang putra lewat pandangan, sampai matanya menangkap gelengan kepala Hega.

“Kenapa?” Gemini itu tatap dia kilas, terus senyum. “Nggak. Kamu kan orangnya jijikan, ya, sejak kapan berani pegang cacing?”

“Ya sejak anakku ternyata takut sama cacing.” Kekehan Hega kembali mengudara diiringi anggukan halus. “Makasih, ya?” Padahal singkat dan cuma satu kata, tapi Jaffan merasa semua pujian di dunia masih kalah sama ini. “Udah, yuk? Kita mandi, udah sore.” Ujar sang jauza kemudian, bikin Jaffan noleh atas ke langit yang hampir gelap, cepet banget perasaan.

“Mas?” Panggilan Hega menarik atensinya lagi, tapi kali ini makin terasa nyata. “Mas? Mas Jaffan?” Mimpi indahnya berakhir dengan mendadak, kelopak mata Jaffan bergerak membuka walau berat karena dia masih ngantuk. Ini belum masuk waktu wajar buat bangun, orang jam di nakas masih menunjuk pukul dua dini hari. Mau apa kira-kira Hega sampai bangunin dia sepagi ini?

[4] Stubborn Love | ft. NaHyuck (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang