[01] Kesalahan tak termaafkan.

12.3K 528 12
                                    

**

kaki-kaki kecil itu menyusuri pinggir jembatan dengan sedikit berlari. bibir mungil semerah cherry nya menyunggingkan senyum manis. meski gerimis turun membasahi bumi, ia terus berlari, tanpa takut tas bahkan seragam yang besok masih harus di kenakan nya akan basah.

Afka berhenti mendadak, ia menghela napas. kemudian menormalkan langkahnya saat mulai memasuki gerbang TPU. ya, tempat pemakaman umum. di mana sang malaikat tak bersayap di kebumikan lima belas tahun lalu.

Afka berhenti di salah satu makam, berjongkok. mulai mengeluarkan satu kotak susu dari tasnya, kemudian mengubah posisinya menjadi duduk di tanah basah. Afka sama sekali tak menghiraukan hujan, yang ada di pikirannya kini hanya satu- ia ingin bercerita kepada bunda.

mulai dari situ, mengalir lah berbagai cerita dari mulut si tunggal Prawira. menceritakan keseluruhan harinya yang hanya diisi oleh- ejekan teman-temannya tanpa ada satupun yang mau mengajaknya bermain. bahkan hanya sekedar mengajaknya mengobrol pun mereka tidak sudi.

**

hujan semakin besar kala Afka sampai di mansion. rumah besar milik ayahnya yang di tinggali Afka selama ini. meski di bolehkan tidur, Afka tetap tidur di gudang, bukan di kamar. Nenek dan Kakeknya melarangnya untuk tidur di kamarnya. hingga kini kamar bekas dirinya semasa bayi itu berubah menjadi kamar polos yang di peruntukkan khusus untuk tamu.

Afka perlahan masuk, lewat pintu belakang. ia menyusuri dapur, sepi. hanya ada dua maid yang tengah memasak makan malam. karena jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Afka melanjutkan langkah, menuju gudang. begitu sampai, ia langsung mengunci pintunya dari dalam.

walaupun gudang, ruangan ini sudah di modifikasi sedemikian rupa agar terlihat rapih dan nyaman. Afka berhasil menciptakan suasana hangat di dalamnya. Anak itu menggantung tasnya di atas keranjang baju kotor. membiarkan air hujan menetes ke bawah. sama seperti bajunya yang juga tergantung di sebelah tasnya.

kini, Afka sudah berganti baju dengan satu-satunya piyama yang ia miliki. Ia duduk di lantai, mengeluarkan buku pelajarannya serta beberapa alat tulis. mulai sibuk mencoret-coret kertas polos itu hingga tugasnya selesai.

brak!

"KAMU HUJAN-HUJANAN LAGI?!?"

Afka terlonjak, spontan ia menoleh ke ambang pintu. pintunya di dobrak paksa. padahal Afka sudah menguncinya. di situ, ayahnya menatapnya marah, mata tajam itu tampak penuh dengan emosi. Afka menunduk, meremat pulpennya keras. menyalurkan ketakutannya.

"a-yah.."

sret!

plak!

pandangan Afka berembun, wajahnya tertoleh ke samping. setelah sang ayah membangunkannya dari duduknya dan tiba-tiba menamparnya, Afka merasa dunia kini sejenak berhenti. menertawakannya dalam hening. hanya suara hujan, yang seolah ikut menangis bersamanya.

"sudah berapa kali saya bilang, jangan bermain hujan! bodoh! lantai dapur basah gara-gara kamu!" Masih dengan menyentak, Wira menunjuk ke arah dapur. Afka dengan tundukan kepalanya yang semakin dalam mulai terisak kecil. takut. sungguh, Afka setakut itu jika sudah di hadapkan dengan kekerasan.

"ma-maaf.. Afka nanti bereskan.."

Bibirnya Afka gigit kencang, berusaha menormalkan getar suaranya setelah beberapa isakan lepas begitu saja. mata bulatnya masih memandang sendu ke bawah.

plak!

ah, satu lagi. Afka terdiam. hingga tangan besar itu menggeret lengan kurusnya, menghempaskan tubuh Afka ke tembok, membuat si mungil rubuh. meluruhkan tubuhnya dan mulai meringkuk waspada.

Wira membuka ikat pinggangnya. dan semua itupun terjadi lagi. Afka hanya bisa diam. benar-benar diam. menahan sesak di dadanya, juga melindungi kepalanya dengan kedua tangan. sekaligus menutup erat telinganya agar tak mendengar celotehan menyakitkan dari mulut sang ayah.

meski.. Afka masih jelas sekali mendengarnya. kala ayahnya berteriak tentang banyak hal, bahkan tentang ia yang seolah menjadi pembunuh bundanya.

"ALENA SUDAH BERKORBAN DEMI KAMU! AGAR KAMU LAHIR! TAPI NYATANYA KAMU TIDAK BISA SEDIKIT SAJA MEMBUAT SAYA MERASA BANGGA!"

"SAYA MUAK, AFKA! SAYA MUAK!"

"Bisa kamu pergi?"

semua suara itu di barengi dengan bunyi mengerikan cambukan ikat pinggang ayahnya di tubuhnya. tak peduli bagian mana, ayahnya hanya asal cambuk.

"ayah.. u-dah.. hiks udah.. badan Afka sakit.." Tangis lirihnya kembali mengudara. Afka memohon pilu. berharap ayahnya mau melepaskannya sekarang karena ia sudah tidak tahan.

"heh? lepaskan kamu bilang?! KAMU PIKIR KAMU BISA MENGATUR SAYA!?"

dan setelah teriakan itu.. semuanya masih berlanjut. suara-suara mengerikan yang ayahnya ciptakan bercampur dengan tangis lirih Afka. tak ada yang bisa mendengar karena air hujan menyamarkannya.

**

Afka meringkuk di sudut gudang. memegangi lututnya seraya bergumam tidak jelas. otaknya penuh. entah oleh apa, yang jelas, itu berisik. Afka tidak nyaman. bibir bergetar nya tak kunjung henti, tubuhnya juga belum bisa ia buat bangkit berdiri. hanya berdiam disini dan menunggu kantuk menyerangnya.

Ia melihat ke arah buku tugasnya yang kini sudah tergeletak mengenaskan di depannya. buku itu tidak hancur, namun, sampulnya kotor. terdapat jejak kaki sepatu ayahnya di sana. Serta sedikit robekan di ujung. tak apa, yang penting masih bisa di gunakan untuk menulis.

Afka memejamkan matanya, menikmati semilir angin yang masuk lewat jendela kecil yang langsung berbatasan dengan kebun belakang. perlahan, tubuh rapuh itu tergeletak ke samping. memasrahkan diri berbaring di dinginnya lantai saking tidak kuatnya untuk melangkah ke kasur.

Afka pada akhirnya tertidur malam itu. dengan semua memori buruknya yang ia harap tak akan membuatnya melukai dirinya sendiri lagi.

**

15.01
820 words.

Home For Afka [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang