**
Dua minggu liburnya Afka lalui dengan hanya berdiam diri di rumah. fokus menyembuhkan luka pada lengannya dan belajar. meski yang masuk ke otaknya hanya beberapa, tidak masalah. toh, Afka sudah berusaha.
dua minggu itu pula keluarganya pergi. memilih benar-benar meninggalkannya dengan sejumlah uang saku yang Wira berikan dan seribu satu wejangan dari Jihan untuk tidak telat makan, merawat diri, melapor jika ada apa-apa, dan masih banyak lagi.
Afka menyanggupi untuk tinggal di rumah itu sendirian selama empat belas hari bukanlah hal mudah yang langsung di setujui oleh Jihan. wanita itu awalnya masih sedikit bersikeras memperjuangkan Afka agar ikut. namun, pada akhirnya, suara Wira lah yang lebih keras. di tambah, Yesa juga mengompori. Afka sih pihak diam saja. ia tahu, kok, akhirnya tetap akan tidak ikut.
Senin pagi ini, Afka bangun lebih awal dari biasanya. ia langsung mandi seperti biasa- di kamar mandi maid. Dan memakai seragam hari seninnya, Afka tidak memakan apapun untuk sarapan. karena saat ia selesai dan turun ke bawah, tidak ada apa-apa di meja makan. jadi, Afka berangkat tanpa sarapan saja.
Menyusuri jalanan yang masih setengah gelap karena mendung, Afka tersenyum sepanjang perjalanan. menghirup segarnya udara perkotaan yang belum tercemari asap kendaraan sudah termasuk menyenangkan baginya. kebahagiaan Afka memang sesederhana itu. tapi, herannya, tak ada yang mau membahagiakannya. miris.
Sesampainya di sekolah, Afka berlari dari gerbang menuju kelas. kelas barunya meski masih sama- 11 Ips 2. ia tidak sabar ingin tidur lagi. suasana kelas memang lebih tenang di banding ketika di rumah. meski terkadang mendapat bulian, Afka jujur lebih senang berada dalam lingkup sekolahnya di bandingkan rumahnya.
luka dari kedua tempat itu tidak sebanding menurut Afka.
Memejamkan matanya dengan kepala yang terlungkup di atas meja, Afka mulai masuk ke alam mimpi perlahan. biarkan ia memulihkan fisiknya sejenak, meski mentalnya tetap setia akan berantakan sebagai manapun sehatnya Afka.
**
Bel istirahat menggema ke seluruh penjuru sekolahan. Afka menutup bukunya. ia baru bangun saat tadi bel masuk berbunyi, lalu memaksa untuk tetap terjaga dikala pelajaran berlangsung. Afka memasukkan buku bahasa inggrisnya kedalam tas, mengambil uang sakunya dan melangkah keluar kelas, hendak pergi ke kantin. ia lapar.
Afka menundukkan pandangan. ramainya kantin membuat tubuhnya bergetar takut. Afka tidak suka ramai. ia risih. namun, demi perut yang kenyang, Afka paksakan langkah kakinya menuju ke warung Bu Mirna. mengeluarkan uang satuan sepuluh ribu kemudian membeli satu bungkus roti dengan air putih botolan kecil. Afka lupa membawa air dari rumah.
"Makasih, Bu." Afka berujar pelan seraya menyerahkan uangnya. tanpa menunggu balasan dari si pemilik warung, Afka segera menyerobot keluar dari kerumunan. hingga langkahnya oleng dan hampir menabrak seseorang.
"goblok! bakso gua tumpah, anj!" Afka terlonjak saat badannya terasa sedikit panas di area lengan. ia baru sadar terkena tumpahan kuah bakso milik sang kakak kelas kala sudah banyak tatapan mata yang mengarah ke mereka.
Afka dengan gemetar menunduk berkali-kali, meminta maaf. suaranya seperti tercekat di tenggorokan, Afka susah sekali ingin berucap walau hanya satu kata. hatinya sudah tak karuan karena menjadi pusat perhatian di sana.
"Maaf maaf! ganti! lu pikir beli ginian gak pake duit!" bentak Vano- Si anak kelas dua belas. Tangan besar pemuda itu mencengkeram kerah baju Afka erat, membuat Afka berusaha keras mengais napas karena lehernya terasa tercekik.
"le-lepash!" Ia berontak, namun, yang di dapatkan justru raut sinis dari Vano serta senyuman mengejek yang sangat menjengkelkan.
"Lo-
brugh!
"apa-apaan lo kaya gitu sama adkel?"
tubuh Vano yang di tarik ke belakang, serta suara datar yang Afka kira ia kenal mengalihkan perhatiannya. Vano berdecih, ia menatap nyalang si pemuda yang seolah menjadi pahlawan kesiangan bagi si kecil musuh kesayangan Yesa ini.
"Sok banget, lo!" Vano terkekeh sengit.
Revan yang sudah kepalang emosi- sejatinya anak itu memang tempramental, hendak bergerak menonjok si kakak kelas sebelum teriakan Bu Nina membuyarkan semuanya. wali kelas dari kelas 11 Ips 2 itu berlari dengan heboh berteriak untuk mereka berhenti.
tangan Afka dan Revan Bu Nina gandeng, raut wajahnya nampak tak bersahabat. ia menyembunyikan Afka di belakang rubuhnya mengetahui bahwa anak itu ketakutan. sedangkan Revan, masih beradu tatapan tajam dengan Vano.
"Kamu! saya udah muak liat kamu bikin masalah! jangan kira saya gak tahu, ya! sudah, sana! perkara makanan saja sampai bikin heboh! kalau mau minta ganti ke kantor! ke meja saya! sudah sana kalian semua bubar! kamu Vano, kembali ke kelas!" Bu Nina terlihat jelas membela Afka. raut wajah Vano semakin terlihat tidak enak. sebelum pergi, pemuda itu dengan sengaja menyenggol bahu Revan.
"Mau ikut ibu ke Kantor? kita bicara," suaranya melembut. Bu Nina mengusap surai Afka yang berantakan. Anak itu menggeleng sembari menunduk. Bu Nina menghela napasnya. Afka sudah tidak menjadi pusat perhatian, jadi ia tidak perlu terlalu risau anak didiknya itu akan merasa risih.
"Afka gakpapa.. Bu. terimakasih," ujarnya pelan. getar suara Afka masih ada. Bu Nina mengangguk terpaksa.
"ibu tinggal dulu, ya? kalau ada apa-apa bilang saja, nak..." Bu Nina menyelami kelamnya netra Afka. sebagai seorang guru BK, banyak sedikitnya Bu Nina paham ada yang tidak beres dengan Afka.
"iya, ibu. sekali lagi terimakasih."
"sama-sama. ibu permisi dulu kalau begitu."
begitu langkah Bu Nina menjauh, Revan yang sedari tadi hanya diam melihat ke arah Afka menarik temannya mendekat.
"lain kali kalo ada orang kaya gitu di lawan! jangan lemah! udah cukup lo ditindas sama gue sama anak kelas! kenapa, sih, pasrah banget di bully? hah?!"
"udah ngelawan. dianya gakmau lepasin. fisik aku gak sekuat itu." Afka menjawab sedikit kesal. Revan berdecak.
"dasar lemah!"
Afka menghela napas. membiarkan Revan pergi dari kantin entah ingin kemana. teringat akan roti dan air di genggamannya, Afka melangkah keluar kantin dengan cepat. ia ingin ke kelas dan segera memakan rotinya. rasa laparnya bertambah.
di lain sisi, Revan menemui Julian yang tengah merokok di belakang sekolah. mereka berjongkok di area rerumputan sambil memandangi lapangan luas di depan sana.
"Dia gak ngelawan. benci banget gue sama temennya Yesanjing itu." Revan berujar kesal. merampas satu rokok Julian dan menyalakannya menggunakan korek milik Julian juga. yang sontak mengundang decakan dari si putra tunggal Bagaskara itu.
"miskin lo."
"bacot."
"Gue pengen minta maaf ke dia. tapi, gengsi. semenjak kemaren liat dia di tampar bapaknya, ntah kenapa gue kasian." papar Julian lirih. Revan menoleh, menatap sahabatnya dengan tatapan kosong.
"lo pikir gue gak pengen minta maaf juga?"
"kita udah terlalu jauh sama dia, Pan. Susah buat di maapin gitu aja." Revan mengangguk setuju atas ujaran Julian.
"Udahlah, njing. mikirin."
"ye, goblok."
**
31.01
1057 words.
n. minta maaf, gak?
sorry for typo(s).
afka sayang kalian💟.
KAMU SEDANG MEMBACA
Home For Afka [✓]
Fiksi Remaja[SUDAH DIBUKUKAN!] "Ketika laramu tak kunjung menemukan tempat untuk berlabuh, maka beristirahatlah sejenak." -Afkalio Shaqueel Prawira. ** Afka ingin rumah, yang lebih menenangkan dari makam sang Bunda. *** warn! sickstory friendship no romance! [s...