**
Tubuh Afka di dudukkan pelan di ranjang UKS. Dengan Revan yang langsung berlutut di hadapannya dan Julian yang sigap mengambil kotak p3k. Afka masih terlihat gelisah, ketakutannya tidak hilang. bukan takut akan bentakan dan kejadian tadi lagi, Afka hanya takut Kara yang baru saja pulang lebih dulu kenapa-napa dan terluka.
Julian yang mengamati sejak tadi menghela napasnya khawatir. segera ia memberikan kotak p3k yang sudah di temukan olehnya pada Revan. membiarkan Revan mulai menyiapkan betadine dan air hangat untuk mengobati luka di sudut bibir Afka. sedangkan dirinya merengkuh tubuh Afka untuk di peluk.
"Kenapa, Ka? Sakit banget? Pulang aja, ya?" Tawar Julian. Tangannya dengan teratur mengelus pelan surai Afka.
"Aku takut Kara kenapa-napa.." lirih Afka sendu. Tangis yang sejak tadi di tahan dan belum pecah akhirnya mengudara. Afka menyembunyikan wajahnya ke bahu Julian. Revan yang hendak mengobati si mungil berdecak karena tidak bisa. Ia memandang Julian tajam.
"Kenapa lo tangisin?!" Julian tidak peduli, ia hanya fokus menenangkan Afka yang masih saja menangis. Revan bangkit, melepaskan pelukan Julian dan Afka. ia perlahan menangkup pipi Afka lembut, mengarahkan mata bulat si mungil agar menatap netra hitam kelamnya. Cara itu memang satu-satunya jalan agar Afka bisa mendapatkan fokusnya kembali. Afka menurut, bibirnya bergetar berusaha tidak lagi mengeluarkan isak tangis.
"Afkalio Shaqueel.. Kara gak akan kenapa-napa. dia punya keluarganya. sekarang, yang harus lo khawatirin itu diri lo sendiri. denger, gue khawatir sama lo, Ka. lo di pukul sama Ardan lebih dari sekali, kan?" Tebakan Revan tentunya tepat sasaran. Afka saja tidak sadar berapa kali ia dipukul tadi. yang di pikirkannya hanya agar Kara tidak mendapat buli-an yang lebih parah. sampai-sampai Afka lupa dengan segala luka di tubuhnya.
"Sakit bibirnya?" Jemari Revan mengelus pelan sudut bibir Afka yang terlihat lebam keunguan serta terdapat sedikit darah kering di sana.
Afka mengangguk pelan. Matanya hanya diam menyorot ke lantai tanpa mau menatap kedua temannya. Julian duduk di sebelah Afka, memegang kapas yang sudah di celupkan ke air hangat. Julian lalu mengusapkan kapas itu ke bibir Afka dengan hati-hati.
"Kalau sakit bilang, Afka, Jangan di teken tangannya," Revan memperingati. Afka yang tadinya meremat tangannya sendiri hingga memerah terpaksa melepaskannya. sesekali Afka hanya mengeluarkan ringisan kesakitan dari bibirnya.
Revan menyodorkan tangannya, seketika raut kebingungan Afka muncul.
"Apa?"
"Sakit, kan? sini pegang tangan gue aja. itu tangan lo udah merah."
**
"Aku mau ke Bunda dulu,"
Revan yang tengah memasang Helmnya tak acuh, ia tetap naik ke motornya dan mengulurkan tangan. meminta Afka untuk ikut naik. Afka berdecak kesal, tetapi tetap mengambil uluran tangan Revan dan naik ke motor sang teman.
"gue temenin sama Julian. sekalian anter lo balik." Revan berujar datar dari balik helmnya. segera kuda hitam milik si tunggal Sanjaya itu melaju pesat, menyisir sepinya jalanan dari SMA Adinata menuju TPU tempat Alena di kebumikan. Motor Julian mengikut di belakang, Pemuda itu memang tengah ngambek karena Afka tidak mau di temani ke pemakaman tadi.
sesampainya di gerbang TPU, Afka turun sendirian. melangkah tidak sabaran menerjang beceknya tanah pemakaman. anak itu tidak peduli, tujuannya hanya satu, Makam Bunda. Afka rindu sekali.
Netranya menyisir ke sekitar, menemukan Revan dan Julian yang masih setia menunggu di depan. tidak mengikutinya masuk. Afka acuh, mungkin mereka memang tidak ingin. Afka berjongkok di samping makam Alena, tersenyum lebar seolah sedang menyapa Bundanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Home For Afka [✓]
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN!] "Ketika laramu tak kunjung menemukan tempat untuk berlabuh, maka beristirahatlah sejenak." -Afkalio Shaqueel Prawira. ** Afka ingin rumah, yang lebih menenangkan dari makam sang Bunda. *** warn! sickstory friendship no romance! [s...