[27] Di bawah naungan langit malam.

4.1K 438 114
                                    

**

Kelamnya malam menyelimuti seluruh penjuru langit. hanya cahaya bulan lah satu-satunya penerang di sana. biasanya, di jam-jam segini, para tetangga di komplek tempat mansion Prawira berdiri, sudah masuk ke dalam rumah untuk bersiap tidur. namun, kali ini, di tengah heningnya malam, Wira, Jihan, Yesa, Kara, dan terakhir, Afka, berkumpul di teras mansion.

mereka duduk di kursi kecil yang terletak pada taman mini samping mansion. di sana, bulatnya bulan terlihat jelas. Afka tak bosan memandangi indahnya. ia jadi tidak menyesal menerima ajakan halus Jihan untuk berkumpul mengobrol disini.

Afka sedikit tidak bebas memang. bagaimana tidak, Kara terus menempeli nya sejak tadi. meminta maaf berkali-kali sampai Afka di buat takut sendiri, jikalau Wira akan muak mendengarnya. Afka mengelus surai Kara pelan, anak itu tengah berbaring di bahunya. Afka tidak terlihat canggung, justru senyum manis terpatri di bibirnya seolah ia tidak punya yang namanya rasa benci.

Yesa diam-diam menatap keduanya dengan tatapan gemas. entah karena melihat Kara yang menjadi manja tiba-tiba atau melihat senyum Afka yang mengembang seraya mau terus meladeni si bungsu. bahkan kini, dengan entengnya tangan mungil Afka mengelus surai halus Kara teratur.

"Adek, Kok mendadak manja sama kakak?" tanya Jihan usil. Kara tersenyum malu-malu. ia lantas mengambil telapak tangan Afka, guna menutupi mukanya yang sudah memerah.

Afka terkekeh, menjadi sosok Kakak tidak buruk juga ternyata. Afka buru-buru menjauhkan telapak tangannya, takut napas Kara akan sesak. mendadak, gadis kecil itu mendongak. memandang Afka sendu. lantas, Afka membalas tatapannya dengan sorot bingung.

"Kenapa, Adek?"

"itu bibir Kakak warna ungu. gara-gara Kara.. maaf, ya?" Kara meminta maaf sekali lagi, Afka menggeleng tegas.

"Jangan bilang maaf terus, Adek. kakak gakpapa, itu tugas kakak lindungin adek. udah, ya? hm?"

"Tapi, Felisya emang jahat! nanti hukum dia, ayah! sama pacarnya juga! Kara gakmau mereka sekolah di sekolah yang sama kaya Kara sama Kakak lagi!" keluh bungsunya kesal. Wira mengangguk, ia duduk di samping Jihan. sesekali, tangannya mengusapi pinggang sang istri. wanita itu nampaknya masih tidak percaya ia bisa mengucap terimakasih pada Afka tadi.

"Pasti, sayang. Ayah pastiin, besok anak itu sama pacarnya udah pergi dari sekolah." Wira dengan entengnya berujar.

"Beneran?"

"iya, cantik. Adek masuk, ya. bobo. udah malam. sana ke atas sama Bunda," Wira memberi kode kepada istrinya untuk segera bangkit. Jihan yang paham pun bangun dari duduknya, menghampiri Kara dan menggandeng lembut putrinya masuk ke dalam. menyisakan ketiga insan yang kini tengah terlarut dalam pikirannya masing-masing.

"A-Afka masuk dulu, yah—

"kamu tetep disini. ada yang mau saya omongin," tatap tajam Wira mengalahkan permintaannya. Afka memilih mengalah. ia duduk lagi, berusaha menghindar dari tatap serius Yesa dan Wira.

"Gue minta maaf. sekaligus, Makasih. karena lo, adek gue gak harus dapet luka yang lebih parah. maaf banget pipi lo lebam, Ka." Yesa memulai pembicaraan. Afka masih saja diam, ia sangat-sangat bingung dan ragu harus menjawab apa. salah sedikit, mungkin nyawanya bisa habis langsung disini. ah, tidak. itu berlebihan, Afkalio.

"iya. A-aku gakpapa, kok. besok juga sembuh." Afka menahan getar suaranya. ada rasa aneh dari tubuhnya saat berhadapan dengan Wira maupun Yesa. namun, sekarang, Afka malah terpaksa menghadapi keduanya secara bersamaan.

"Gue tau gue ngerasa gak pantes buat ngomong gini, Ka. Tapi, gue minta maaf. atas semuanya."

"Yesa ke dalem duluan, ya, yah." Yesa melenggang pergi begitu saja setelah semua yang ingin ia keluarkan berhasil mengudara. Afka mematung. ucapan Yesa seolah membuat ribuan bunga tumbuh di perutnya. tak pernah Afka sangka kalimat itu keluar kuga dari mulut sang kakak.

Wira menatap si tengah dengan tatapan tak terbaca. perlahan, Wira bangkit. ia mendudukkan diri kembali di samping Afka. bekas tempat Kara duduk. pria itu menunduk, sama seperti Afka. keduanya menghindari tatapan masing-masing. sampai akhirnya, Wira mendongak. mengagumi bulan sejenak sebelum hendak berbicara.

"Ka?"

Afka menoleh, menatap pinggir mata ayahnya. Wira menghela napas ringan sebelum melanjutkan ucapannya. ia belum siap, tapi, kalau tidak sekarang, kapan lagi?

"Saya, Minta maaf."

satu detik..

lima detik..

sepuluh detik.

terlewati dengan hanya suara serangga yang mengisi obrolan mereka. Afka terpaku, matanya terkunci hanya pada rerumputan di bawah. Afka belum menyadari air matanya mulai turun satu demi satu tetes membentuk aliran sungai kecil.

"A-ah. lupain. sana masuk—

grep!

Afka.. memeluk ayahnya dari samping. tanpa penolakan. hanya deru angin yang mengiringi. Afka terisak keras. tangisannya pecah tidak tertahan. Afka tidak mau menahannya. terlihat rapuh lebih baik daripada terus berpura-pura utuh. Afka lelah, benar-benar lelah.

Wira membelalakkan mata mendapat serangan tiba-tiba dari si tengah. tapi, lama-kelamaan, rasa nyamannya muncul. Tangan Wira balas berbalik memeluk tubuh kecil Afka. yang bisa ia rasakan sendiri tengah bergetar. Wira tidak tahu kenapa. hanya saja, rasanya sakit. melihat tangis kencang Afka pecah hanya karena dirinya meminta maaf.

"A-Ayah.. hiks Jangan bercanda.. Afka— Afka ga suka ayah bercanda kaya gini.."

lirihan Afka di telinganya membuat hati Wira berdesir aneh. Wira menggigit bibirnya sendiri kala air mata mulai terkumpul membentuk dinding kristal di pelupuk matanya. Wira mendongak, berusaha mati-matian agar tidak menangis.

"Saya gak bercanda, Ka. saya udah maafin kamu seperti yang kamu mau. dan saya, juga ingin minta maaf." getaran nada dari ucapan sang ayah menyadarkan Afka, bahwa yang di rasakannya saat ini bukanlah sekedar bunga tidur. bukan pula khayalan belaka. ini.. nyata.

pelukan itu hangat. Afka berjanji, tidak akan pernah melupakannya sampai kapanpun. di bawah naungan langit malam hari ini, Afka baru mengenal apa itu arti bahagia dalam enam belas tahunnya dia hidup di bumi.

**

890 words.
18.02
n. dah jangan nangis! simpen air matanya buat pas konflik!! 😑
chapter ini spesial dibuat untuk moment Wira—Afka. tapi, jangan baper semudah itu para ridersqu😘
Yaudah gakpapa yang udah terlanjur baper, sok wae lanjutin dulu bapernya.
bye! Afka pamit untuk beberapa hari ke depan!
💟 sorry for typo(s)

Home For Afka [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang