[23] "Tangan lo bukan kanvas, Ka."

5.1K 429 51
                                    

**

"Adek minta maaf.."

Afka terdiam canggung, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Afka menggeleng dengan senyum manis, matanya seperti membentuk bulan sabit yang indah. Kara ikut tersenyum karenanya.

"Kakak gak kenapa-napa. kenapa adek minta maaf? harusnya kakak yang bilang gitu. maaf, ya.. gara-gara kakak, adek harus di rawat disini."

Kara menggeleng keras, membantah ucapan kakaknya. ia kemudian menyuruh Wira beralih duduk ke sofa. lalu membiarkan Afka duduk di kursi samping ranjangnya. gadis itu ingin berbincang dengan sang kakak.

"kakak gak papa, kan, beneran? Kara khawatir. Kara minta kakak kesini tadi malam, tapi, kata Bunda kakaknya lagi istirahat," ujar Kara polos. Afka tertawa pelan mendengarnya.

"Kakak gakpapa. lupain masalah kemarin, ya?" Kara mengangguk lucu.

"Kara mau makan. tapi, suapin sama kakak."

Mereka berdua kemudian sibuk bercanda tawa. dengan Afka yang sesekali menyuapi Kara bubur, yang di berikan oleh pihak rumah sakit untuk sarapan. tak mempedulikan keadaan Wira yang diam di sofa seperti patung. begini ternyata rasanya di abaikan. tau begitu, Wira tidak akan menjauhkan Kara dari Afka kemarin-kemarin jika ujung-ujungnya mereka akan menjadi dekat lagi.

**

Kupu-kupu. Afka suka kupu-kupu. melihat puluhan warna dari sayap hewan itu beterbangan di udara membuatnya tenang. menciptakan rasa bahagia tersendiri di hatinya. bibir Afka tanpa sadar mengukir senyum, ia terus memperhatikan hewan kesayangannya itu tengah terbang ke sana kemari di udara.

Afka ada di Taman sekarang. tadi, ia di jemput oleh Revan dan Julian di rumah sakit pada pukul sebelas siang. Jihan memperbolehkannya, kok. tidak tahu saja Revan dan Julian bolos dari sekolah. mereka malah beralasan ada rapat guru, jadi sekolah pulang cepat. bodohnya, Wira pun percaya. Ia membolehkan Afka pergi karena Julian dan Revan adalah anak dari kolega bisnisnya. Wira tentu harus berpura-pura baik di hadapan kedua anak itu.

"Gemes gue liat muka si Yesa tadi, minta banget di gebukin heran," Julian berujar tengil. ia duduk di samping Afka yang masih sibuk memandangi kumpulan kupu-kupu. Revan ikut duduk di samping Afka juga, pemuda itu membuka tutup botol colanya. meminumnya sekali teguk hingga langsung tandas.

"sok jago, lo." komennya atas ujaran sok Julian. si putra tunggal Bagaskara tersinggung rupanya, ia berdiri, menggulung lengan bajunya, seperti orang ingin berkelahi.

"Anjrit! nyata, kok! orang tadi muka tuh anak songong banget! pake alisnya naik satu lagi! balum aja gue cabutin satu-satu bulu alisnya!" gerutu Julian menggebu-gebu.

"berani lo?" tanya Revan semakin menantang. arah pandangnya ikut fokus mengawasi kupu-kupu di depan sana. Julian mendengus. anak itu meremehkannya?

"sabuk hitam taekwondo gue, bangsat. sembarangan lo!—

"lo suka kupu-kupu..?"

sebelum cerocosan Julian bertambah panjang, Revan memotong perkataannya. Julian terdiam, ia menanti jawaban Afka dengan penasaran. jujur, ia sedikit kepo. pasalnya, sedari awal tiba di taman, Afka terus saja memandangi kupu-kupu.

"iya. emang kenapa?" Tanya Afka cuek. matanya beralih memandang Revan dengan senyum tipis.

"Gakpapa." Revan membalas senyumnya. pemuda itu mengalihkan pandangan, tak mau lama-lama memandangi mata bulat Afka. Julian kembali duduk. ketiganya kini bersempitan duduk di satu bangku yang sama.

"Aku pengen pulang," ujar Afka dengan bibir cemberut. ia memainkan jemarinya sembari menunduk tidak enak.

"Ayo," Julian bangkit, memegang lengan Afka dan sedikit mencengkeramnya, hendak membangunkan anak itu dari duduknya. namun, justru teriakan kesakitan Afka lah yang terdengar.

"akh! Sakit, Jul!"

Julian buru-buru melepaskan tangannya, ia menatap khawatir Afka yang tengah berusaha mengontrol raut wajahnya agar tidak terlihat seperti orang yang tengah menahan sakit. Afka meringis kuat, ia mengibas-ibaskan tangannya seolah tengah mengusir rasa ngilu yang kini bersarang di lengannya.

"Kenapa?" Revan ikut bangkit, ia menarik paksa jemari Afka untuk di periksa. detik berikutnya, raut Revan mendadak berubah sendu. sejenak, pemuda itu terdiam. bersamaan dengan Julian yang juga masih mencoba mencerna segala yang dilihatnya.

"I-ini kena cakar kucing," Afka mencoba menjelaskan masalah darah di lengan baju panjangnya. segera ia menutupi darah itu. menyembunyikan kedua tangannya ke belakang tubuhnya sendiri. Afka menunduk, meremat jemarinya karena merasa lukanya mengeluarkan darah yang cukup banyak. dan Afka tak bisa berbohong, rasanya sakit.

"kita gak bodoh, Afka." tekan Julian datar. tak ada lagi nada bersahabat, Afka hanya bisa merasakan keduanya kini penuh amarah.

"ayo obatin," Revan menarik jemarinya, menjauhi taman. pemuda itu tetap membantu Afka naik ke motornya meski emosi menguasai tubuhnya. Julian nampak meninggalkan mereka yang masih memakai helm, Afka tahu Julian lebih marah saat ini. karena Julian memang tipe anak yang tidak bisa menyembunyikan perasaannya pada seseorang.

"Pegangan. kalau tangannya sakit banget bilang," peringat Revan tajam. Afka menjawab 'iya' dengan suara pelan sekali. setelahnya, Revan langsung menjalankan motornya pesat, entah Afka akan di bawa kemana, yang jelas sekarang, Afka hanya takut jika keduanya kembali seperti dulu.

Afka meremat kencang jaket bagian belakang sang sahabat. ia menenggelamkan mukanya pada pundak Revan. sesekali bibirnya mengeluarkan ringisan pelan karena rasa sakit di lengannya. Afka diam saja, sampai motor Revan berhenti di sebuah warung sederhana yang nampak sepi. Afka turun, tanpa kata, jemarinya di geret lagi menuju ke dalam untuk duduk. Afka lagi-lagi hanya menurut.

"Sejak kapan gini?" tanya Julian langsung. pemuda itu memang sampai duluan. ia duduk tepat di depan Afka. berbatas kan meja, tapi, Afka masih bisa merasakan kemarahan dari tatapan datar Julian.

Revan tampak menghampiri mbok Inem, si pemilik warung. menanyakan apakah ada betadine dan kain kasa. sekaligus juga meminta satu gelas air hangat. Revan kembali dengan tangan yang penuh akan barang-barang tadi, menaruhnya di meja. raut wajahnya masih saja datar dan menakutkan. Afka kan jadi ciut sendiri.

"gue tanya, sejak kapan gini, Afka." Julian bertanya serius. Sedangkan Revan menaikkan lengan baju Afka. menghela napas melihat banyaknya sayatan cukup dalam di lengan bagian dalam si mungil. Afka menggigit bibirnya takut-takut.

"dari dulu udah sering.. tapi, ini luka kemarin. aku gak sempet bersihin.." Afka berujar sambil masih saja menunduk. membiarkan lukanya Revan lap pelan menggunakan air hangat. mata Afka mulai berair, kenapa sekarang terasa sakit? padahal tadi malam, saat Afka sibuk menyayat sebanyak-banyaknya pada lengannya, ia seperti mati rasa.

"perih..." lirih Afka pelan. tangannya meremas tangan Julian kuat. Suka rela Julian menyediakan tangannya untuk menjadi pelampiasan rasa sakit Afka karena khawatir anak itu justru melukai dirinya sendiri lagi untuk menahan rasa sakit. tadi saja, Afka meremat kuat tangannya sendiri hingga lecet di beberapa bagian.

"Lo punya kita, Ka. kalau tahu kaya gini, gue gak akan pernah nyuruh lo buat keep luka lo sendiri. mau gak mau, abis ini, lo harus bilang ke gue semuanya. ini udah parah, Afka," ujar Revan panjang lebar sambil masih memakaikan tangan Afka dengan betadine. kemudian membalutnya dengan kain kasa baru yang kering.

"Denger," Revan menangkup pipi Afka, mengarahkan agar bocah itu mau menatapnya.

"Tangan lo bukan kanvas, Ka."

"jangan di lukis pake silet terus-terusan. gak boleh. bahaya. mending lo pukulin gue sama Julian daripada nyayat lengan lo sendiri kaya gini."

**

12.02
1112 words.
n. Help, semangatin aku dong :(
oiya, Afka sudah 1k vote🙈 terimakasih, yaaaaaaaaaa!
i love u sooooooooooo much readerskuu🥳🥳
maaf kalau alur Afka menurut kalian gak nyambung, jelek, atau apalah. maklum, yang nulis anak SMP :)
sekali lagi, terimakasih!
💟 sorry for typo(s)

Home For Afka [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang