[05] Bumi dan Langit.

4.6K 388 5
                                    

**

Bumi dan langit. seperti Afka dan Yesa Kara. keduanya punya tempat spesial di hati sang ayah dan ibu karena mereka seperti langit. di junjung atas kesempurnaannya, entah itu dari segi fisik maupun dari segi kepintaran. yang jelas, Afka terlalu segan untuk meminta kasih sayang jika begini.

Dirinya bagaikan bumi. yang hanya mampu melihat keindahan langit dan diam menerima injakan para manusia. berkali-kali akan Afka teriakkan, ia bodoh. sekeras apapun mencoba, Afka tak akan berhasil. se-rajin apapun ia, tentu akan kalah dengan segudang prestasi milik Kara. selama apapun ia belajar, otaknya tak akan bisa menyamai Yesa.

simpelnya begitu. perbedaan itu terlihat sekarang. jujur Afka lebih memilih melihat ayahnya yang acuh daripada ayahnya yang kini lebih menyayangi dua saudara tirinya. Afka memandang sendu ke arah Wira yang tengah menyuapi Kara makan di ruang tengah.

pagi-pagi sekali Ayahnya itu sudah bangun dan duduk anteng di meja makan menunggu kedua anaknya. bahkan tanpa di minta, ia melayani si bungsu seperti tuan Putri. Afka yang duduk di hadapan Jihan berusaha bersikap biasa, apalagi saat melihat senyum manis sang ibu tiri merekah setelah Kara mendapatkan elusan di kepala oleh sang ayah.

"adek rajin banget, hm? padahal ayah mau ajak jalan-jalan sama Kakak dan Bunda kalau adek libur. kita ke zoo, ke mall, ke water park, seneng-seneng. adek gak mau libur aja?" Wira bertanya lembut. Kara menggeleng cepat. ia tidak mau libur, menurutnya, berada di sekolah lebih menyenangkan ketimbang bepergian ke tempat wisata.

"Adek mau sekolah.." ujar Kara manja. Wira dan Jihan terkekeh, Yesa ikut tertawa kecil. suasana yang sangat sempurna. andai saja, Afka tidak ada di sana. pasti, mereka tidak mempunyai cacat.

salahnya kenapa harus lahir.

"iya, adek boleh sekolah. Kak, Jagain adeknya, ya. jangan sampe ada yang nakalin.." Wira menjeda ucapannya, beralih menatap datar Afka.

..kamu juga. jagain anak saya," sambungnya tajam.

"iya." Afka berujar lirih. takut.

"udah, ayo lanjutin sarapannya. nanti berangkatnya bareng sama ayah semua." Jihan menengahi, membuat keluarga kecil itu akhirnya makan dengan tenang di meja makan hingga jamnya anak-anak harus berangkat ke sekolah.

**

Ketiga putra Prawira turun dari mobil sang ayah, mereka bergantian menyalimi Wira. pria itu menyambut uluran tangan Yesa dan Kara dengan senyuman. namun, saat Afka mengulurkan tangannya, raut wajah Wira berubah menjadi datar kembali.

"Adek, sini." Kara mendekat saat Wira menyuruhnya.

cup!

"semangat belajarnya, ya." satu kecupan di kening Kara dapatkan, senyuman gadis kecil itu mengembang. ia mengangguk semangat, membuat poninya bergerak imut.

"kakak juga," Lanjut Wira. Yesa hanya mengangguk dengan tersenyum.

"gih sana ke kelas." Yesa dan Kara mengangguk. pemuda yang lebih tua menggandeng lembut lengan sang adik. fyi, Yesa dan Kara bisa berada di SMA yang sama meski berbeda tingkat adalah karena Kara yang mengikuti Akselerasi sehingga bisa loncat kelas.

setelah memastikan kedua anak itu menjauh dari pandangannya, Wira kembali menatap Afka. padangannya mematikan. Afka menunduk, berusaha menghindari mata elang itu. takut traumanya terpicu dan berakhir mengalami panick attack di sekolah. ayahnya nanti akan semakin malu.

Wira mendekat ke arahnya, yang otomatis membuat Afka memundurkan langkah. saat sudah semakin dekat, Afka kaget, Wira mencengkeram pipinya. membuatnya menegang selama menunggu ayahnya selesai bicara.

"Saya peringatkan, jangan pernah merasa sama dengan Yesa dan Kara. mereka spesial, tidak seperti kamu yang kurang. jangan terlalu percaya diri saya akan menerimamu hanya karena Jihan dan anaknya. sekali lagi saya bilang, saya benci kamu, Afka." nada penuh tekanan itu mampu merubuhkan pertahanan terakhir Afka. ya, pada akhirnya, saat Wira melepaskan cengkeramannya dengan keras hingga Afka tersungkur, air matanya kembali berjatuhan.

Afka masih terduduk, bingung harus apa. ia menatap kepergian sang ayah yang sudah jauh keluar keluar gerbang sekolah dengan mobilnya. di sekitar mereka sepi. wajar, tadi ayahnya berhenti di parkiran khusus guru. jadi tidak ada satu orang pun di sana. Tangan mungil itu terangkat, dengan mandiri, ia menghapus air matanya pelan.

menghela napas, Afka mengurut dadanya perlahan, masih dalam posisi duduknya. sesak itu selalu ada. Afka heran, ia tidak pernah terbiasa. hatinya selalu lemah saat Wira berkata kasar, apalagi seperti tadi. wajah bulat itu menunduk, merasakan ia akan menangis lagi, Afka buru-buru bangun.

melangkah secepat mungkin meninggalkan parkiran dan berlari menuju kelasnya. sesampainya di kelas itu, Afka duduk di bangkunya berusaha untuk menenangkan diri. menarik napas dan membuangnya. berulang kali ia melakukan hal itu. beruntung satupun anak kelas tidak ada yang perduli.

"tenang Afka." gumamnya lirih. detak jantungnya masih tak karuan. ia merebahkan kepalanya ke atas meja, menghadap ke jendela. menatap luasnya halaman belakang sekolah yang kosong dan hanya di tumbuhi benyak rumput serta ilalang.

hingga, matanya terpejam secara perlahan.

namun, belum sempat ia menyelami alam mimpinya,

tak!

satu penghapus papan tulis berbahan kayu menghantam kepalanya. Afka meringis, ia tidak bangkit. hanya semakin mengubur dalam kepalanya yang mulai terasa berat. Fariz, si pelaku, lebih tepatnya juga ketua kelas, tertawa keras. hingga kelas itu terasa ramai dengan suara tawa penuh ejekan.

Afka menghela napas, ia menegakkan kepalanya, berusaha fokus meski bumi terasa berputar di pandangannya. ia mengambil penghapus yang tergeletak di lantai, kemudian berjalan ke depan kelas, tepat dimana Fariz tengah berdiri di depan papan tulis.

tangan mungilnya terulur, dengan wajah pucat dan senyum tipis, Afka mampu mendiamkan satu kelas. suasana mendadak hening. tangan Afka terlihat bergetar pelan, juga napasnya yang terdengar berat dan matanya yang menyimpan air mata.

"ini. ka-kalo mau kaya gitu ke aku hati-hati. nanti ke-kena anak lain." getar suaranya menyimpan begitu banyak luka. Fariz perlahan mengambil kembali penghapus itu dari tangan Afka. Si empu melunturkan senyumnya, kemudian tanpa kata berbalik arah, kembali ke bangkunya.

dan bertingkah seperti biasa lagi tanpa menghiraukan seberapa canggungnya kelas sekarang.

**

20.01
920 words.
pengen peluk Afka.

Home For Afka [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang