**
Afka meraih tasnya, menggendongnya ke bahu. ia melangkah keluar kelas, dengan terburu berlari ke gerbang. Afka hanya ingin pulang ke makam bundanya sekarang. ia sedang tidak mau bertemu Wira. saat melihat wajah sang ayah, entah kenapa rasa sakit itu seolah kembali.
Afka tidak melihat mobil sang ayah di parkiran, juga dua saudara tirinya yang entah dimana sekarang. Afka tidak perduli. kaki kecilnya terus berlari menyusuri beceknya jalanan menuju TPU, tidak sabar ingin bertemu dan bercerita kepada Bundanya. memang, harus kemana lagi Afka mengadu selepas ini selain kepada makam bundanya?
Afka menormalkan langkahnya saat memasuki area pemakaman. ia mendekati makam Bundanya. berjongkok di sana dan tersenyum lebar. Afka mengelus nisan Sang Bunda lembut. membayangkan tengah mengelus surai Alena di dunia nyata. meski pahitnya, ia tak akan pernah bisa merasakan itu.
"nda, Afka kangen." suaranya mengalun lirih, Afka menempelkan keningnya dengan kayu bertuliskan nama lengkap Ibunya. Afka memejamkan matanya sejenak. terdiam menikmati sejuknya angin dari langit yang sepertinya hendak menurunkan tetesan air hujan.
"Afka pengen ketemu Bunda—
"Ngapain?"
Matanya langsung terbuka lebar-lebar di karenakan kaget. Afka memandang ke belakang, tepat ke arah Julian yang tengah memandangnya datar. pemuda itu masih menggendong tasnya juga sama seperti dirinya. Afka kembali menatap makam sang bunda, kemudian menggeleng pelan.
"liat sendiri, kan? aku lagi ketemu Bundaku." ujarnya sedikit sinis. Julian terdiam, bukan karena tersinggung atas ucapan Afka, namun, lebih karena melihat Afka dengan mata kepalanya sendiri tengah berbicara kepada 'bundanya' sedari tadi.
Julian memang sudah disini sejak Afka belum datang. ia tengah menjenguk sang adik yang sudah berpulang lebih dulu ke pangkuan-Nya. Tak di sangka-sangka, Julian justru bertemu dengan Afka disini. pertanyaannya tadi juga sebenarnya hanya basa-basi saja. Julian tahu semua tentang keluarga Afka. dari ayahnya yang memang bersahabat dengan Wira.
"gue boleh nemenin?" Julian berjongkok di samping Afka, meski belum mendapat izin.
"terserah."
Senyum di bibir Julian sontak terbit karenanya.
keduanya berdiam-diaman cukup lama. Afka yang terlalu canggung membuka pembicaraan dan Julian yang juga tidak tahu harus bicara apa. sampai, si tengah Prawira itu akhirnya memutuskan untuk bertanya.
"jenguk siapa disini?" tanya Afka penasaran. pandangannya tetap mengarah ke tanah, tangan mungilnya turut serta memainkan tanah basah pemakaman karena bosan dan merasa tidak nyaman.
"adek."
sejenak, Afka menghentikan gerakan tangannya. ia menolehkan kepala memandang Julian yang masih santai tanpa reaksi sedih apapun pada wajahnya. anak itu akhirnya memilih kembali menunduk, berganti memainkan jarinya.
"Ka," Panggil Julian ragu. sesaat setelah berhasil mendapatkan atensi dari orang di sampingnya, Julian menghela napas sejenak guna menghilangkan kegugupannya.
"Maaf."
hening.
Julian tak mendengar balasan apapun. hanya ada helaan napas ringan yang keluar dari belah bibir Afka. tangan anak itu mulai bergerak perlahan, mengusap nisan ibunya dengan penuh kasih sayang. Afka tersenyum sendu.
"kamu sama Revan kenapa, sih? tumben banget kaya gini. kalau mau ngeprank, ini gak lucu. biasanya juga langsung mukulin. gak pake basa-basi kaya gini."
Julian merasa badannya membeku. penuturan itu mungkin terdengar biasa saja, tapi, tak ayal dapat membuat seluruh tubuh Julian bergetar seperti tersengat listrik. ingatannya mendadak berputar, pada hari dimana ia dan kawan-kawannya, serta juga Revan, memukuli Afka, yang saat awal kelas sepuluh masih menjadi si cengeng dan si culun. tanpa tahu seberapa besar luka yang di tanggung bahu anak itu di setiap jalannya.
"gak usah minta maaf. aku aneh dengernya. Aku pulang dulu," Afka hendak bangkit, namun, lebih dulu Julian menarik tangannya. pemuda itu ikut bangkit. dengan tangan masih memegang pergelangan tangan si mungil— ia menatap Afka sendu.
"gak ada pukulan lagi di antara gue, lo, sama Revan. gue berani janji. sekarang cuma ada kita yang temenan."
Afka memandang lekat netra coklat gelap milik Julian, mencoba mencari kebohongan di sana. saat tidak menemukannya sama sekali, Afka melepaskan cekalan si tunggal Bagaskara itu dengan perlahan.
"Aku udah maafin kalian, tapi, kalau untuk temenan.."
"gue paham. yang penting lo mau maafin gue aja gue udah seneng. udah gak usah di pikirin. sekali lagi, maaf, Ka." Julian melepaskan tangannya. ia menepuk bahu Afka sekilas, lalu pergi meninggalkan pemakaman seraya berlari. Afka tersadar dari lamunannya, ia mendongak, melihat ke arah langit yang nampak sudah sangat gelap.
maka dengan segera, Afka keluar dari gerbang pemakaman. ingin pulang. ia masih trauma dengan hujan-hujanan omong-omong.
sore itu, matahari kecil kita telah sadar bahwa ia kehilangan kepercayaan dirinya. sinarnya redup perlahan, seiring dengan orang-orang di sekitarnya memperlakukannya bak sampah.
**
Afka melangkahkan kakinya masuk ke dalam pintu utama mansion Prawira, ia dengan langkah mengendap-endap berusaha tidak menimbulkan suara apalagi keributan. Afka tahu, keadaan keluarganya sedang tidak baik-baik saja semenjak kemarin Wira bertengkar dengan Jihan.
namun, saat menginjak area meja makan, semua pemikiran tentang hal itu menghilang. Afka sedikit tercengang melihat keluarganya tengah berkumpul sembari tertawa-tawa tanpa beban menikmati kue yang bisa Afka terka baru keluar dari pemanggang. Afka meremat kuat tali tasnya, kala tatapan tajam sang ayah terarah padanya.
"ngapain kamu di situ?"
seketika semua ikut melihat ke arahnya. Afka bingung harus apa, jadi, ia hanya berdiri diam merelakan dirinya untuk seperti mendapat pandangan mempermalukan dari keluarganya sendiri. terutama dari Yesa yang kini justru tertawa kecil di balik satu suapan sendok kecil kuenya.
"Eh, Nak, sini sayang. Bunda habis buat kue. Afka makan, ya. sini," Jihan memanggilnya menggunakan nada yang begitu lembut. meski belum bisa sepenuhnya menebus rasa sakit yang kini kembali bersarang di hati Afka. si tengah menggeleng, mengukir senyum indah hingga matanya melengkung ke bawah.
"Afka capek, Nda. mau tidur dulu. Afka ke atas duluan, ya." tanpa mendengar setidaknya satu balasan dulu dari yang lain, Afka melangkah cepat menaiki tangga. berlari menuju kamarnya dan menguncinya dari dalam. Afka merebahkan tubuhnya ke kasur, selepas tadi melepas tas dan sabuknya asal.
Afka mencoba tersenyum, kendati hatinya seperti perih karena sayatan itu mengeluarkan banyak darah, Afka sedang tidak ingin menangis. ia hanya.. tidak tahu harus bagaimana. maka dari itu, Afka meraih figura ibunya, memeluknya erat dengan kedua tangan, dan mulai memejamkan mata.
berharap di mimpinya nanti, ia akan bertemu dengan sosok malaikat tanpa sayapnya.
Afka ingin bersandar pada bahu sang ibu, menceritakan semuanya seperti kemarin ia bicara pada Jihan. Afka ingin, menumpahkan segala kekecewaan yang lagi-lagi harus ia telan secara paksa.
kekecewaan terhadap kehadirannya yang entah kenapa hampir hilang di mata mereka.
**
03.02
1022 words.
n. ini bahagia, kan?
💟 sorry for typo(s)
KAMU SEDANG MEMBACA
Home For Afka [✓]
Fiksi Remaja[SUDAH DIBUKUKAN!] "Ketika laramu tak kunjung menemukan tempat untuk berlabuh, maka beristirahatlah sejenak." -Afkalio Shaqueel Prawira. ** Afka ingin rumah, yang lebih menenangkan dari makam sang Bunda. *** warn! sickstory friendship no romance! [s...