[19] sungai dan seluruh lukanya.

4.4K 357 19
                                    

**

Tangan Afka di tarik lembut, Julian menggeret nya dari kelas menuju parkiran. baru saja jam pelajaran berakhir tadi. Afka menurut saja, badannya sudah lumayan enakan. Langkah mereka berdua diikuti oleh Revan yang dengan santai berjalan sembari memasukkan satu tangannya ke saku celana.

"ayo jalan-jalan!" Julian berseru semangat. Afka merengut, ia lelah. ingin rebahan dan tidur sejenak di ranjangnya. Revan merangkul bahu anak itu tiba-tiba dari belakang.

"gas." timpal Revan singkat. dasar manusia es.

Afka menggeleng, ia melepaskan rangkulan Revan pada bahunya pelan. jujur, Afka masih aneh bisa sedekat ini dengan mereka. berbanding sembilan puluh derajat dari masa lalunya yang menjadi bahan bullyan si ketua ekskul taekwondo dan pemuda pendapat gelar most wanted serta berandalan sekolah itu.

"ke makam bunda, lo, deh. gue ke makam adek gue. gimana?" Julian menawarkan. Afka berpikir sebentar. ia ingin mengunjungi Bundanya lagi. tak pernah bosan Afka merasa rindu pada bidadari nya itu.

"oke." Afka menghela napas sebelum menjawab.

"jangan tertekan gitu," rengek Julian pelan. ia menggoyangkan lengan Afka dengan ekspresi manjanya. justru membuat Revan ingin menggeplak keras-keras kepala sang teman.

"jijik, blok. udah, ayo. ntar kesorean ujan." Revan mengambil alih tangan Afka, membantu si mungil naik ke atas motornya. tidak memperdulikan Julian yang mengamuk karena Afka harusnya se-motor dengannya. tetapi dengan kurang ajarnya Revan merebut posisinya.

Mereka akhirnya melajukan motor masing-masing ke tempat tujuan pertama meski mendung sudah menyelimuti langit; makam bundanya Afka.

**

"Ndaa.."

Afka berjongkok, menaruh sekuntum bunga putih yang Afka tidak tahu apa namanya, karena itu Julian dan Revan yang membelikan. mereka tadi mampir sejenak ke toko bunga untuk membeli beberapa kuntum bunga.

"Afka kesini sama temen. tapi, dia mau jenguk adeknya. gak kaya Afka. Afka mau jenguk ibu Afka. hehe." kekehan getir Afka terdengar. dari sebelah, tepatnya Julian dan Revan- yang memilih mengintil Julian ke makam adiknya karena terlalu canggung dengan Afka jika hanya berdua, terdiam memaku.

"ini ada bunga dari temen Afka. mereka baik, nda. tapi, Afkanya susah nerima. Afka takut mereka bakal berubah suatu saat," bibirnya terus berceloteh, sembari tangannya mengelus pelan nisan sang bunda.

"nda, Afka kangen."

"sakit banget liat dia gitu, Jul." Revan memandang nisan Adik Julian dengan tatapan kosong. tangannya meremat bunga yang tadi ia beli. Revan menggigit bibirnya, menahan tangis. terlihat dari matanya yang berkaca-kaca.

"jangan nangis. ah! gue jadi ikutan," Julian menunduk, sibuk mengusapi matanya kasar. bahunya bergetar pelan, Julian menangis. bukan karena adiknya, tapi, karena orang lain. yang kini berubah status sebagai temannya. Bahu sempit Afka terlihat kuat, padahal nyatanya nyaris patah.

"Nda.. Bunda Jihan baik. tapi, gak ada yang ngalahin kebaikannya bunda Alen. malaikatnya Afka, yang ikhlas ngorbanin nyawanya sendiri demi Afka. demi nyawa Afka. Bunda baiiiiik banget. Ehehe cantiknya Afka, bidadari surganya Afka.." anak itu tersenyum lebar, deretan gigi putihnya terpampang jelas. lucu. tapi, kenapa mata Julian dan Revan semakin banjir?

"gue gak bisa, Jul." Revan mengusap kasar air matanya hingga tidak bersisa. lantas, ia bangkit. menuju makam bunda sang teman. diikuti Julian yang masih menahan isakan. anak itu lebih tidak tahu malu dari Revan, jadi ia menghampiri Afka tanpa mengelap air matanya.

"Ka, ayo cabut." Revan menggandeng tangannya. tidak ada tenaga sama sekali. Afka tercengang, meski akhirnya ia menurut. mengikuti jalan Revan dan Julian ke depan pemakaman. tempat di mana motor mereka berdua di parkir kan.

"kalian nangis?!" Afka bertanya kaget. mata kedua sahabatnya nampak sayu dan seperti orang yang habis menangis. Julian menggeleng cepat, tertawa garing untuk menutupi rasa canggungnya.

"kelilipan. udah lah. ayo jalan-jalan dulu. ke sungai deket sini, mau? bagus, kok. sekalian nikmatin angin sama gerimis dikit." Julian memakai helmnya cepat, ia naik ke atas motornya, mengendarai kuda hitamnya itu terburu-buru. bahkan meninggalkan Revan dan Afka di sana.

Afka mengernyit bingung, ia memandang Revan polos, meminta penjelasan.

Revan terkekeh, ia menaiki motornya, lagi-lagi membantu Afka naik. setelahnya, Motor full black milik Revan melaju cepat meninggalkan TPU. menyusul Julian yang sudah setengah jalan untuk sampai ke sungai yang tadi di sebutkan.

Afka turun saat motor Revan berhenti di pinggiran sungai yang bersih dan hening. sangat tenang. Afka baru tahu ada tempat sebagus ini di dekat pemakaman bundanya. mungkin setelah ini, Afka bisa sering-sering bermain kesini saat pulang sekolah.

"ayo, bisa gak turunnya?" tanya Revan jahil. Afka mendengus, ia langsung turun tanpa aba-aba. mata bulatnya terperangah, menyisir ke sekitar area sungai yang begitu cantik.

Julian sudah ada di sana. duduk tepat di tepian sembari termenung entah memikirkan apa. angin menerpa surainya yang kini berkibar bebas. Afka memilih ikut duduk di samping Julian, kemudian lanjut memandangi sungai yang mulai terisi titik-titik air di atasnya akibat gerimis.

Afka sedang tidak mau memikirkan rumah. ia ingin tenang sebentar. biarlah hukuman ayahnya nanti ia tanggung dengan senang hati. asal Afka bahagia hari ini.

"Kamu marah?"

pertanyaan lugu dari bocah mungil di sampingnya membuat Julian tersenyum jenaka. pemuda itu menggeleng pelan, matanya masih fokus memandangi sungai di hadapannya. tanpa melihat ke arah Afka sedikitpun.

"lo kuat, ya, Ka." Revan berujar bangga, Ia langsung duduk di samping Afka mengikuti kegiatan kedua temannya, menonton heningnya dataran air sungai.

"eung?" Afka mengernyitkan alis tidak paham.

"Lo anak hebat, Afka. gue aja insecure. haha." Julian terkekeh ringan.

"Maksud kalian apa?" Afka masih bingung. kenapa setelah dari makam, keduanya menjadi aneh? Afka takut mereka dimasuki oleh makhluk tak kasat mata.

"kita tau tentang hidup lo, Afkalio." Seusai Julian berujar, Afka baru mengerti tentang semuanya.

mereka tahu tentang keluarganya, mereka tahu tentang Bundanya, mereka juga tahu tentang ayahnya. apalagi yang mereka tidak tahu?

oh, lukanya.

perlahan, orang-orang mungkin memang akan sadar keluarga Afka tidak sempurna. semuanya bosa terbongkar kapan saja. namun, untuk lukanya, Afka masih bisa menutupi itu. biarlah sampai membusuk. Afka tidak mau menawarkan orang lain untuk menyembuhkan lukanya. itu merepotkan.

"Kalau kalian tahu, memangnya kalian mau apa?" Tanya Afka sendu. matanya menatap kosong ke depan. membiarkan tetesan air hujan membasahi wajah pucat nya.

"bagi luka lo sama kita, Ka." Julian berujar lembut.

"gue tahu itu gak mudah, Tapi, lo bisa coba. kalau nantinya lo gak nyaman kita tau luka lo, ya jangan terusin. cukup keep sendiri, asal jangan sampe ngerugiin juga."

ujaran Revan membuat Afka diam seribu bahasa. Afka bukannya tidak ingin, ia hanya takut di hakimi. banyak orang yang hidupnya lebih menderita dari Afka di luaran sana, menjadi si paling tersakiti bukanlah solusi yang tepat. tapi, melupakan segala rasa sakitnya juga Afka tidak mampu.

maka, ia hanya menyimpannya sendiri selama ini.

apakah sekarang sudah saatnya Afka untuk berbagi lukanya?

Afka masih ragu. jadi, dengan lirih, ia hanya menjawab tak jelas permintaan Revan.

"makasih. tapi, Aku.. bingung."

di tengah lebatnya gerimis- Afka bimbang. untuk memilih antara memendam, atau mengambil resiko menceritakan segalanya.

**

05.02
1097 words.
n. double up! 🥳
anw, Afka udah pas 20 part dan 550+ vote! terimakasih! 🖤🤗
💟 sorry for typo(s)

Home For Afka [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang