**
alunan musik di ruangan besar penuh manusia itu tidak berhenti sejak tadi pagi. kini sudah pukul dua belas, tadi, Wira dan Jihan baru saja melaksanakan pernikahan.
Afka nampak sangat tidak nyaman sejak tadi. selain karena para kolega besar ayahnya yang nampak lebih menyukai Yesa dan Kara, juga keluarga besar sang ayah yang berperilaku sama.
mereka terlihat sumringah dan bangga Yesa serta Kara sudah bergabung ke dalam keluarga Prawira. bahkan kini menyandang marga pria itu. di akui pula oleh Wira sebagai sulung dan bungsu Prawira yang baru.
Afka terduduk di salah satu meja khusus keluarga sang ayah. ia terdiam menatap kosong ke arah pelaminan, tempat di mana Wira dan Jihan tengah menyalami rekan-rekan bisnis mereka. sedangkan jauh di seberang mejanya, Afka dapat menyaksikan bagaimana sang nenek tampak sangat senang tengah mengobrol dengan temannya dan Kara. cucu bungsu barunya.
Afka mengusap lengannya yang terasa dingin, lebamnya belum hilang, masih terasa sedikit pegal. tadi pagi, ia harus bangun dini hari hanya untuk bersiap karena ayahnya berkata tidak boleh telat. alhasil Afka bangun terlalu pagi.
"Tahu, gak, sih, Ra? cucu bungsuku ini loh, pernah juara satu lomba.. apa ya sayang?"
"Fisika, Oma. waktu SMP. sama, kemarin juga baru menang lagi. hehe."
"nah, itu! hebat banget emang gadis cantikku ini, sudah cantik, pintar pula kamu sayang.."
samar-samar Afka mendengar Omanya tengah membanggakan Kara. Afka hanya mampu tertunduk. Afka sadar diri. ia bodoh. tidak pernah sekalipun meraih peringkat di kelas, jangankan peringkat, sudah bisa naik kelas saja seharusnya Afka bersyukur.
Afka tahu, kok. itu semua di sebabkan oleh masa lalunya yang begitu buruk. kerap kali mendapat kekerasan fisik dari ayah, kakek, bahkan kakak sepupunya. belum lagi siksaan mereka untuk mentalnya. Afka sadar, dengan itu, ia tidak bisa tumbuh sempurna seperti anak lain.
"Woi!"
deja vu, Afka terlonjak kaget saat Revan menepuk bahunya dan meremasnya erat. seperti yang di lakukan Julian terhadapnya. awalnya Afka kebingungan kenapa teman sekelasnya itu ada di sini, namun, saat menyadari bahwa ayah dari Revan adalah seorang pengusaha sama seperti ayahnya, Afka langsung mengerti.
"kok bisa sih, bapak lo sifatnya beda banget sama lo?" Revan duduk dengan santai di samping Afka, mengambil satu gelas minuman dan menenggaknya perlahan. memandang ke depan, membiarkan Afka ketakutan dan larut dalam pikiran buruknya.
"Bapak lo sempurna, Lo nya idiot." Revan terkekeh, sebuah tawa ejekan sebenarnya. hanya itu, namun, mampu membuat mental Afka kembali jatuh. kepercayaan diri itu selalu hilang saat Afka bahkan belum bisa menunjukkannya di depan orang-orang.
"aku gak idiot." Afka berujar pelan. bahkan terdengar lirih di telinga Revan. kembali tawa sinis pemuda itu mengudara. Afka memalingkan wajahnya ke arah lain. menghindari menatap wajah semua orang-orang di sana karena Afka rasa ia akan menangis lagi.
"iya. lo gak idiot. tapi, gila." Revan menepuk pucuk kepala Afka beberapa kali sebelum bangkit, menghampiri ayahnya untuk segera pulang. meninggalkan Afka di tempatnya tanpa permisi. Afka mengepalkan tangan, rasanya sakit. lebih sakit lagi saat tahu kenyataan bahwa ia tidak akan pernah bisa melawan.
"Afka normal. enggak gila." Gumamnya kecil. suaranya bergetar karena rasa sesak itu. saat seperti ini, Afka sangat merasa membenci dirinya sendiri. sungguh.
"Afka! sini!" Teriakan Jihan mengundang Atensi Afka untuk mendekat, ia maju melangkah ke atas pelaminan. dengan gugup Afka menundukkan kepala di hadapan pasangan suami istri seumuran kakek neneknya itu.
"ini Kakek dan Nenek. orang tua Bunda. ayo kenalan," ajak Jihan sembari menarik tangan Afka untuk bersalaman.
Afka menurut, menyalami dua orang paruh baya itu bergantian. masih dengan kepala tertunduk. Hingga si wanita berkata sinis, dan sang ayah menatapnya tajam, Afka baru terpaksa tidak lagi menundukkan kepala.
"Kamu Afka? kenapa menunduk terus? apa lantai itu lebih menarik daripada wajah kakek nenekmu?" sindir Divya sengit.
Afka menoleh ke arah sang ayah, berharap mendapat pembelaan, Wira justru menatapnya tajam.
"maaf, Nenek.." lirih Afka merasa bersalah.
"sudah lah, mom. omong-omong, iya. dia Afka. Afkalio Shaqueel. dia akan menjadi anak tengah kami." Jihan menengahi. Wira merangkul Afka, menarik pelan tubuh si mungil untuk mendekat ke arahnya. awalnya Afka terkejut, tapi, Wira segera memberi gesture untuk tenang. sementara itu, yang lain sibuk dengan obrolannya masing-masing tentang Pernikahan kedua Jihan dan Wira.
"kamu jangan malu-maluin!" Sentak ayahnya saat mereka membelakangi para tamu, Wira berbisik tajam tepat di samping telinganya. Afka dengan cepat mengangguk kaku. takut. sekelebat memori bagaimana mengerikannya sang ayah saat sedang memukulinya kembali bangkit.
Wira menormalkan ekspresinya, kemudian kembali menghadap depan. melepaskan rangkulannya pada Afka. seolah tidak terjadi apapun, Wira ikut bercengkrama dengan keluarga Jihan setelahnya. bahkan Yesa, Kara, juga Januar Dan Silvia- kakek nenek kandungnya, ikut bergabung di sana. Hanya Afka yang tersisa. terlarut dalam kesendiriannya.
dengan mata berkaca-kaca, Afka turun dari pelaminan. kembali duduk di kursinya tadi. tak apa, lagipula para tamu tidak ada yang perduli. Afka menghapus kasar satu tetes air mata yang turun dengan kurang ajarnya. terdiam meremasi tangannya satu sama lain. menikmati masa di mana kini ia menjadi tidak terlihat.
**
Dengan lelahnya, Afka berjalan perlahan masuk ke dalam rumah. tadi, ia pulang satu mobil dengan Silvia dan Januar. jelas karena mobil Wira hanya mampu di tumpangi empat orang. akan lebih satu jika Afka memaksa ikut. Maka dari itu, dengan penuh terpaksa, Afka ikut dengan Oma dan Opanya itu.
pintu kamarnya terbuka, suasana hangat langsung menyambut Afka. tanpa berganti baju terlebih dahulu, Afka membaringkan dirinya ke atas kasur. memeluk erat gulingnya dan fokus menatap figura sang ibu yang ada di atas nakas.
tangannya mengambil foto sang Bunda, memeluknya erat sambil memejamkan mata.
"Bunda.. hari ini ayah menikah lagi. Afka punya Bunda baru.. tapi, Afka janji, gak ada yang bisa gantiin peran Bunda di hati Afka. Afka sayang Bunda."
**
19.01
922 words.
KAMU SEDANG MEMBACA
Home For Afka [✓]
Novela Juvenil[SUDAH DIBUKUKAN!] "Ketika laramu tak kunjung menemukan tempat untuk berlabuh, maka beristirahatlah sejenak." -Afkalio Shaqueel Prawira. ** Afka ingin rumah, yang lebih menenangkan dari makam sang Bunda. *** warn! sickstory friendship no romance! [s...