[18] Tawa yang di rindukan semesta.

4.4K 391 25
                                    

**

Tangan kurus Afka perlahan membuka pintu kamar mandi maid, tubuhnya sudah berbalutkan seragam hari rabu. ia mengusap surainya yang basah dengan sangat hati-hati, tadi kepalanya terasa pusing. keningnya juga menghangat. Afka tidak mau sakit, itu pasti akan merepotkan, Afka tidak suka.

Kakinya melangkah tidak tentu, Afka merasa badannya melayang saking ringannya ia saat menginjak tanah. namun, sekuat tenaga Afka berusaha berjalan menuju meja makan. di mana keluarganya tengah berkumpul untuk sarapan. Afka duduk di samping Jihan. seperti pagi-pagi biasanya, Kara selalu menyapanya.

"pagi, kakak!"

"Pagi, adek."

Afka mengucapkan terimakasih pada Jihan saat sang Bunda mengambilkannya beberapa sendok nasi hangat dan tumis buncis. tak lupa satu buah ayam goreng yang baru matang. Afka memakannya pelan, ia mulai merasa mual. sejenak, Afka mengehentikan kegiatan makannya.

Wira yang memang sedari tadi memperhatikan mengerutkan alisnya risih. pria itu memandang anaknya sendiri dengan tatapan tidak suka. Afka menyadarinya, tapi, untuk menghindari masalah yang lebih jauh, ya Afka diam saja. hadirnya Afka di dunia ini bukan untuk bersuara.

"Cih. gak bisa menghargai orang, kamu?" Wira akhirnya buka suara. Afka meremat sendoknya. ia jadi ingin bertukar tubuh dengan Wira agar pria itu tahu bagaimana kondisinya sekarang.

"Afka gak suka masakan Bunda, nak? mau bunda buatin sesuatu?" Jihan nampak memandang si tengah khawatir. tak bisa di tampik juga hatinya merasa sedikit perih jikalau benar Afka tidak menyukai masakannya.

"Afka suka, nda. ta-tapi, perut Afka sakit." cicit Afka lirih. Yesa berdecak malas mendengarnya. begitupula dengan Wira yang langsung membanting sendoknya ke atas piring.

"kak! ada Kara! jangan ribut di sini!" Jihan turun tangan. jika tidak, mungkin selanjutnya Wira akan mengamuk dan hal itu bisa saja berakhir buruk. Apalagi Kara ada disini.

Wira menghela napasnya. ia melirik si bungsu yang nampak ketakutan, Kara terus menundukkan kepalanya tidak nyaman. lantas Wira segera menarik tubuh Kara yang tepat di sampingnya untuk ia peluk. pria itu mengelus surai halus Kara— menenangkan putri satu-satunya. semuanya tak luput dari pandangan Afka, yang hanya mampu terdiam menatap kosong ke arah piringnya.

"Ka? hei, Afka gakpapa?" Jihan menyentuh bahunya, Afka sontak menoleh ke arah Bundanya. senyumnya terukir lebar, meski rasanya hambar, Afka tetap berusaha tersenyum meyakinkan, selanjutnya, anggukan ringan Afka berikan.

"A-Afka berangkat duluan, Bun, Ya-Yah.." dengan sedikit gemetar, Afka bangun. menyalimi tangan Jihan. saat hendak menyalimi Wira, ayahnya itu justru diam saja dan terus melanjutkan makannya.

"apa? udah sana berangkat."

"Afka Bunda antar, aja, ya, nak?" tawar Jihan tidak enak hati. Afka menggeleng. begitu tidak mendapat tangan Wira untuk di salami, Afka langsung melenggang pergi meninggalkan rumah. Membuat senyum puas Yesa terbit.

"Kak! Kamu harusnya larang Afka berangkat sendiri—

"Ada Kara. jangan mancing buat berantem, Han."

hanya beberapa kalimat, tetapi, mampu membungkam seluruh wejangan istrinya. Jihan seorang ibu. tak mungkin ia hanya perduli pada salah satu anaknya saja, kan?

**

Afka menyeka air matanya kasar. ia benci. benar-benar benci. ketika tubuhnya drop, mentalnya juga pasti melemah. begini saja Afka menangis. padahal merasakan yang lebih parah dari sekedar omongan pun, Afka sering. tapi yang kali ini berbeda. perkataan ayahnya menyakiti hati Afka dalam sekali. lebih dari perbuatannya yang sekedar membuat luka fisik.

ia mempercepat langkahnya, memasuki gerbang sekolah, Afka buru-buru berlari ke kelas. karena sungguh, anak sepertinya tidak suka menjadi pusat perhatian.

Di kelas sudah ramai. Afka duduk, menyimpan tasnya di belakang bangkunya untuk bersandar. ia menumpukan kepalanya ke meja, kebiasannya setiap hari. Afka lelah sekali, wajahnya mungkin sekarang sudah se-pucat mayat. apalagi sekujur tubuhnya mulai tremor karena lelah berjalan.

"Ka," seseorang menyentuh bahunya.

"Gila! badan lo panas banget, Ka! heh! bangun!"

Orang itu— yang ternyata Julian, memekik saat tidak sengaja kulit tangannya bersentuhan dengan leher Afka. anak itu mendongakkan kepalanya menatap si pelaku yang mengganggu acara hampir tidurnya.

"Ayo ke uks! lo sakit, Afka!" Julian menarik paksa tangan Afka, bocah itu menggeleng keras. bisa mampus ia kalau ayahnya sampai tahu dirinya masuk UKS. Wira pasti mengira ia malas belajar dan pura-pura sakit.

"Aku gakmau! aku mau tidur, pusing. sana!" Afka sedikit mengusir. nadanya yang membentak dan terdengar sinis, mampu menarik atensi satu kelas. bisik-bisik nyinyir mulai terdengar. Afka kembali merebahkan kepalanya ke atas meja. memejamkan mata, hendak masuk ke alam mimpi. sebelum, suara Revan membuyarkan pikirannya.

"Ke Uks. ayo. Riz, izinin kita ke guru jam pertama, ntar gue balik lagi abis nganter ni anak." Revan menarik pelan tangannya untuk bangun, Afka kaget, berusaha melawan, namun, setelah melihat mata tajam Revan, ia tidak berani lagi berkutik. Afka menurut, hanya diam kala kedua tangannya di tarik pelan oleh Revan dan Julian. mata sayunya menatap pasrah ke arah kedua teman tukang paksanya ini.

tunggu, apa? teman?

tubuh Afka di baringkan pada salah satu ranjang yang ada di unit kesehatan siswa SMA Adinata itu. Mata Afka terpejam, pusing menderanya lagi. dengan cekatan, Julian memijat kening Afka perlahan. lagi-lagi, Afka kaget. Kedua manusia ini sebenarnya kenapa? biasanya memberi luka, sekarang malah mengobati.

Afka menahan tangan Julian, menggesernya perlahan. sungguh, Afka hanya ingin tidur. kepalanya seperti akan meledak. Julian berdecak, dengan keras kepalanya, pemuda itu kini beralih duduk di bangku samping ranjang, kemudian lanjut memijit kening berkerut Afka. sedang Revan tengah sibuk mengobrak-abrik laci di sana, mencari minyak angin.

"udah ketemu belum? ah, lama lo! tau gitu gue aja, dulu gue sempet jadi anak pmr, kok. tau gue mah tempat naro minyak angin doang," sombong Julian. tangannya tak henti-henti memijat pelan kening Afka. Revan mendengus, senyumnya mengembang tipis kala menemukan minyak angin di sana.

"berisik, lo. ini gue nemu. punya mulut kok suka banget nyerocos, kaya patrick lo." Revan berujar datar. ia membuka tutup minyak angin itu, mengoleskannya ke tangan sebelum mengaplikasikannya ke atas kening Afka. ia menepis tangan Julian juga yang menurutnya menghalangi pergerakannya.

Mata kucing Julian melotot, ia bangkit, menyenggol pinggang Revan hingga pemuda itu sedikit oleng. kemudian kembali duduk. Afka otomatis terbangun lagi, ia menahan tawanya saat melihat Revan yang hampir saja nyusruk menyenggol lemari obat-obatan. Julian cuek, ia tetap pada tempatnya. melanjutkan mengurut pelan kening Afka.

"kalau mau ketawa jangan di tahan, cil." Julian berujar tanpa menatap wajah Afka. Ia masih fokus mengurut kening si mungil. Afka tersenyum tipis. tawa kecilnya akhirnya mengudara saat Revan membalas menoyor kepala Julian.

pagi itu, Afka sejenak tertawa. melupakan segala lukanya di atas kebahagiaan yang ia ciptakan bersama mereka. Afka bisa berekspresi lagi.

**

05.02
1055 words.
n. tawanya Afka itu, indah :D
itu afkanya happy yaaa~
hehehe, terimakasih yang sudah vote dan komen🖤
sekali lagi, jangan percaya sama karakter disini.
💟 sorry for typo(s)

Home For Afka [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang