IX

401 45 6
                                    

Happy Reading
*****

Peluh beserta air mata telah tergabung menjadi satu. Kedua kakinya terus ia gunakan untuk berlari kesana kemari dengan adik di atas pundaknya.

Kedua kakak laki laki itu membawa Cakra ke rumah sakit tempat dulu mereka dilahirkan karna memang rumah sakit itu yang paling dekat. Mereka berlari dengan Juna yang membawa Cakra di punggungnya.

Sedari tadi, air mata mereka tak dapat berhenti mengalir. Alih alih berhenti mengalir, butiran demi butiran malah semakin lama semakin deras. 

Mereka masuk ke dalam lobi dan di sambut para perawat yang berlarian kesana kemari. Salah seorang dari perawat tersebut menghampiri Juna dan Rasen untuk membawa Cakra.

Setelah satu perawat datang, perawat lain mulai ikut menghampiri disertai seorang dokter yang ikut datang untuk mengecek keadaan Cakra.

"Dok tolong dok, tolong adik saya, tolong. Hiks... tolong sembuhin Cakra, tolong," mohon Juna.

Dokter dihadapannya tak menjawab dan memilih laju untuk ikut membawa Cakra yang kini dibawa ke ruang ICU.

Ambu bag dikenakan di mulut Cakra oleh salah satu perawat dan mulai menekan nekan kantung oksigen nya untuk membantu Cakra bernapas.

Juna dan Rasen tertinggal sebab mereka tentu tak diperbolehkan masuk. Juna terduduk di kursi umum dengan wajah basah sembari mengacak acak rambut dan menutup matanya.

"Kak....," lirih Rasen.

Jujur melihat Rasen dengan mata berkaca kaca membuat Juna ikut sedih, ia juga ingin menangis sekencang kencangnya. Tapi, ia sadar kini waktunya untuk menenangkan Rasen bukan malah ikut menangis dengannya.

Juna tersenyum. Ia paham apa yang ingin Rasen tanyakan. Tangannya bergerak memegang kedua pundak Rasen.

"Kamu lupa? Cakra itu kan batu. Dia itu kuat, lebih kuat dari kita. Dia pasti gak papa kok, aku yakin."

Mendengar jawaban Juna tentu melegakan pikiran Rasen. Rasen tahu kok! Juna berkata seperti itu hanya untuk menenangkannya, tapi tetap saja perkataan kakak nya itu mampu mengurangi pikiran negative di kepalanya.

Tak lama kemudian di ujung koridor rumah sakit terlihat dua remaja yang berlari mendekati Juna dan Rasen. Tunggu, kenapa mereka bisa tahu kalau Cakra di sini?

Ya, mereka itu Tirta dan Chandra. Setelah Cakra dilarikan ke rumah sakit, supir pribadi yang selalu mengantar Cakra itu menghubungi mereka berdua. Pasalnya dari awal mereka memang meminta supir itu untuk menghubungi mereka jikalau ada yang terjadi pada Cakra. Sebegitu sayangnya mereka berdua pada teman yang kini tergeletak lemas di ruang ICU.

Baru saja datang, Tirta yang sudah dikendalikan amarah itu menarik kerah Juna dengan paksa disertai tatapan tajam matanya. Ia tak peduli dengan keadaan sekitar walau ini di rumah sakit pun.

"Lo apain temen gua bangsat! Gara gara lo dia jadi kaya gini! Biadab emang lo berdua! Sebagai saudara harusnya lo itu peduli ke dia! Lo aja gak tau kan kalo penyakitnya tambah parah?!" 

"Tirta!" tegur Chandra hendak menengahi. Namun bukannya berhenti Tirta malah menghempaskan kasar tangan Chandra yang artinya ia memperingati Chandra untuk jangan ikut campur.

Tirta itu jarang marah. Dia selalu menangani apapun dengan kepala dingin. Dia selalu tenang kapan pun dan dimana pun. Chandra saja bisa menghitung hanya berapa kali Tirta marah selama berteman dua tahun. Tirta itu sangat mudah mengontrol emosi, oleh karna itu Chandra terperajat melihat temannya yang kini matanya sudah merah.

"Bodoh banget sih lo jadi kakak?! Bisa bisanya lo ngejauhin adek yang sayang banget sama lo?! Punya otak gak sih lo?! Setiap hari Cakra sendirian! Gak pernah ngeluh! Bahkan dia aja gak pernah sekalipun ngeluh tentang masalahnya ke kita! Tapi lo!... harusnya ngerti sama adek lo anjing!"

Tiga Jarum Jam [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang