III

596 67 12
                                        


Happy Reading
*****

Matahari bersinar menyambut pagi semua mahluk di bumi. Lewat celah jendela, sinarnya menerobos masuk ke dalam sebuah kamar membangunkan seorang pemuda yang menduduki kelas 2 SMA itu. Dia lah putra bungsu keluarga Arnawama, Cakra Mahessa Arnawama.

Kedua kelopak mata nya di buka, tangannya mengusak usak kedua mata dan mulai bangun dari tidurnya. Seperti biasa, Cakra menerbitkan senyum mataharinya di pagi hari, bersyukur ia masih bisa hidup hari ini.

Kaki jenjang nya di arahkan ke kamar mandi untuk bersiap siap, selesai bersiap siap, Cakra menatap tanggalan. Sial, hari ini ia ada konsultasi.

Tanpa diketahui dua kakaknya, penyakit Cakra kian semakin parah. Ia bahkan harus konsultasi seminggu sekali, belum lagi setiap malam sebelum tidur ia harus meminum obat serta air jahe hangat yang begitu ia benci baunya.

Namun di atas itu semua, seorang Cakra masih bisa tersenyum bahagia di depan orang lain. Cakra selalu terkesan angkuh berpura pura kuat dan acuh pada kakaknya. Itu karna ia takut, jika nanti ia pergi kedua kakak nya akan sedih, jadi lebih baik ia menjauh. Lagi pula Cakra itu keras kepala, jadi ia kekeuh menjauhi kakaknya walau akhirnya ia sendiri yang terluka.

Cakra kini sudah semakin mandiri, walau mama dan papa memberi perhatian lebih padanya namun tetap saja, kedua orang tuanya itu selalu pulang malam. Alhasil Cakra akan selalu sendiri sebab kakaknya juga tak mungkin menemani nya. Selama ini jika Cakra keluar malam, ia selalu duduk di tempat tempat sepi untuk menyendiri. Entah di pinggir sungai, di jembatan layang, di depan toko yang tutup atau tempat tempat lainnya yang gelap.

Inhaler langsung Cakra hirup untuk menetralisir napasnya yang tak karuan. Ia meraih tas nya kemudian memasukan inhaler ke dalam tas lalu laju ke bawah.

Di meja makan ada mama, papa dan Juna. Hanya Rasen yang tidak ada karna memang Rasen tak pernah sarapan bersama.

Cakra hafal bahwa Rasen pasti hanya akan mengambil roti dan berangkat, oleh karna itu ia meminta papa nya agar jangan sampai persedian roti habis. Kalau Juna itu sangat suka pisang, jadi diam diam Cakra juga selalu meminta keranjang buah di meja makan. Hanya Juna dan Rasen tak pernah sadar saja.

"Eh Cakra udah siap."

Cakra tersenyum cerah, senyuman yang sangat di benci Juna dan Rasen. Mereka tak tahu saja seberapa besar usaha adiknya itu untuk menerbitkan senyumannya. Menurut Cakra, tersenyum lebih menyiksa dari pada menangis. Tapi sekarang Cakra sudah terbiasa, ia bahkan sekarang sudah lupa bagaimana cara menangis.

"Katanya ada bazar ya? Kelas Cakra ngadain apa?"

"Kelas Cakra buat sate ayam ma."

Mama hanya ber'o'ria kemudian melanjutkan makannya. Ada satu pertanyaan yang terlintas di benak Juna sekarang, hanya saja mulutnya sangat susah mengucapkan pertanyaan tersebut.

"Tapi Cakra gak boleh bantu," tambah Cakra.

"Loh kenapa?" tanya papa penasaran, Juna saja tahu alasannya tapi kenapa papa kesayangannya itu tak tahu?

"Kan Cakra punya asma, kalo ngehirup asep ntar kambuh lagi."

Mama dan papa sedikit tersentak mendengar jawaban Cakra. Bisa bisanya mereka melupakan hal sepenting itu.

Jika di lihat dari sudut pandang Cakra, mama papa itu sering melupakan Cakra, hanya saja kedua kakaknya tak pernah sadar karna di butakan ego masing masing.

Tak lama setelahnya, Rasen keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapih dengan tas ransel hitam di belakang bahunya. Seperti biasa, ia meraih sebungkus roti di laci atas dapur.

Tiga Jarum Jam [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang