12 : pertanyaan retoris antara Sagara-Teguh

275 36 30
                                    

Sore itu sangat menyejukkan. Tiupan angin yang lembut ke arah laut itu membuat mata siapapun mengantuk jika mereka tidak memiliki perkerjaan. Dan itu yang pemuda satu ini rasakan sekarang.

Ia menopang kepalanya yang berat pada tiang halte sembari melirik pagar sekolah yang sudah mulai sepi. Dirinya termasuk salah satu orang yang tidak memiliki kegiatan ditengah godaan sore itu untuk tidur terlelap. Namun , pemuda itu kini menegakkan tubuhnya seolah melawan rasa kantuk yang terus menerus mengusiknya.

Lagi lagi ia menatap layar ponselnya untuk memeriksa pesan dari sang ibu yang kabarnya akan menjemputnya sepulang sekolah. Namun hingga saat ini, ia tak dapat melihat satupun plat kendaraan yang sedikit mirip atau mungkin memang plat kendaraan mamanya yang menjemputnya.

Matanya menatap bosan ke sekelilingnya. Berpikir apakah Tania mendadak sibuk sehingga tak sempat menjemputnya atau mungkin terjebak macet – karena ramainya pekerja maupun anak sekolah yang baru saja pulang.

Apapun itu, ia kini memutuskan untuk menelpon Tania untuk sekedar menanyakan kabarnya. Nada panggilan terhubung, bertepatan dengan sebuah mobil yang berhenti tepat didepannya.

"Iya sayang, mama sebentar lagi sampai,"

Suara penuh kekhawatiran itu memasuki gendang telinga Kamal, namun anehnya fokus pemuda itu kini tertuju pada seseorang yang baru saja keluar dari mobil itu.

Seseorang yang cukup familiar memakai setelan kerja yang menandakan bahwa dirinya baru saja pulang dari kantor itu. Kamal tanpa sadar berdiri dan mereka kini berhadapan,

"Dimana Teguh?" Tanya pemuda berusia pertengahan dua puluhan itu.

"Teguh?"

Kamal menjadi teringat kapan terakhir kali dirinya dan Teguh pulang bersama. Dulu Teguh dan Kamal melakukan segala hal bersama. Dari makan, bermain, berangkat sekolah bersama, bahkan mereka pernah sekamar untuk beberapa tahun.

Namun semenjak dirinya yang penyakitan ini sering pulang cepat dan Teguh yang semakin sibuk, mereka menjadi jarang pulang bersama. Dan Kamal sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut karena meski mereka jarang bersama, hubungan mereka tetap erat.

"Gue nanya, lo gatau dimana Teguh?" Pemuda didepannya kini bertanya kembali dan mengangkat lamunan Kamal ke permukaan.

Kamal terkesiap, dia menggeleng pelan sebagai jawabannya, "Mungkin Teguh lagi organisasi bang," Kamal teringat ketika Teguh mengatakan bahwa dirinya kini sibuk belajar dan ikut organisasi olimpiade.

"Mungkin? Gatau berarti ya? Aneh, padahal Teguh bilang kalian saudara, tapi masa gatau kesibukkan Teguh?" Pemuda dihadapannya itu kini menatap tajam Kamal. Membuat Kamal semakin tidak nyaman. Karena pada salah satu sisi, dirinya mengetahui kesibukkan Teguh. Ia hanya mengatakan mungkin karena bisa jadi saudaranya itu sedang melakukan hal lain.

"Aku tau," Tanpa sadar Kamal menyangkal ucapan itu, "Teguh yang bilang dia sibuk organisasi akhir akhir ini bang. Kenapa bang Jian ga hubungin Teguh aja langsung?"

Pemuda yang masih menyandang tas sekolahnya itu kini menatap mata Jian dan berusaha menghilangkan kegugupannya. Alhasil matanya kini melotot besar saking gugupnya,

"Bang Jian punya ponsel, kenapa ga dihubungi Teguh nya? Alih alih ngehabisin waktu buat nanya ke aku yang ga tau Teguh dimana pastinya." Kini bibir Kamal mengatup dan pada akhirnya membuang wajahnya di sisi lain agar tidak menatap raut Jian yang bingung dengan dirinya yang ternyata tidak pendiam seperti dibayangkan sebelumnya.

"Gue ga tau lo bisa bicara juga kiranya. Gue pikir lo bisu, karna mulut lo itu ga berfungsi ketika dibutuhkan," Jian mencekal tangan Kamal yang ingin meninggalkannya itu, Jian tau bahwa Kamal kini tak ingin berbicara lebih dengan dirinya.

OccasionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang