"Gar, kok Teguh ga ngehubungi gue ya?"
Sagara yang semula fokusnya terpusat pada ponselnya beralih menatap Jian sekilas sebelum membuang tatapannya kembali ke ponselnya, menonton anime kesukaannya, "Mana gue tau, sibuk anaknya kali."
Alis Jian sedikit berkedut, "Tapi sesibuk apapun Teguh, pasti bakal sempet ngabarin gue," Tangan Jian mengenggam erat kemudi mobilnya dan mobil itu berhenti pada persimpangan lampu jalanan. Jian menatap Sagara dengan lekat, "Lo ngantar adek gue sampe alamat kemarin kan?"
Sagara menghembuskan napas kesal mendengar nada ketidakpercayaan itu, "Kak, lo kira gue apaan emang? Gue ga babang gojek. Lagian gue liat dengan mata kepala gue sendiri kalo Teguh masuk ke rumahnya."
"Terus kemana adek gue?" Jian masih bersikukuh bertanya tanpa sadar bahwa lampu jalanan sudah berhenti dan mereka mendapat sahutan klakson dari kendaraan di belakang mereka.
Sagara yang risih itu, membalas menatap Jian, "Jalan dulu, itu lo ngehalangin jalanan." Setelah mobil itu melaju, Sagara berpikir sejenak sebelum akhirnya mengusulkan, "Mending lo samperin langsung ke rumah papa,"
"Ga dulu lah, males gue ketemu papa."
Anak kedua di keluarga Atalaric itu menghembuskan napas kecil, ia masih bisa menangkap kekhawatiran saudara kandung di sampingnya itu secara kentara. Tapi disisi lain ia juga tidak tau apa yang terjadi dengan Teguh. Dan juga tidak memiliki ide lain untuk mengatasi kekhawatiran Jian, "Trus lo maunya gimana?" Tanya Sagara akhirnya.
Mata Jian tampak bergetar memikirkan sesuatu, "Lo hubungi kek Byan atau anaknya papa gitu,"
'Anaknya papa', Sagara paham mengapa Jian enggan menyebutkan nama Kamal. Karena Jian sampai saat ini percaya bahwa tiga hal yang menghancurkan keluarga mereka adalah Byan, Kamal dan Tania. Byan masih cukup beruntung karena Jian masih mau menyebutkan namanya yang indah itu dengan mulutnya. Berbeda dengan Kamal, anak yang tanpa dosa itu bahkan tidak tau mengenai asal usul kelahirannya. Namun dibenci begitu saja oleh Jian. Bukan berarti Sagara tidak membenci Kamal, tapi ia lebih memilih untuk netral karena dirinya sulit menyukai dan membenci seseorang. Cukup aneh bukan?
"Gue? Kenapa ga lo aja?"
Dengan cepat Jian menjawab, "Lo ga liat gue lagi nyetir? Kecuali kalo lo mau nginep di rumah sakit ya gapapa."
"Ga karna kemarin lo ngomong yang engga engga sama Byan? Gue tau lo gimana, kak. Lo ngomong ga pake filter kalo sama Byan, bahkan sampe ngungkit mama juga."
❛❛occasion —
Seorang pemuda membuka matanya yang sedikit berat dengan pelan. Napasnya terdengar kasar dengan masker oksigen yang berembun. Cukup membatasi arah pandangnya yang sayu, namun ia menemukan seorang wanita yang tengah duduk di salah satu sudut ruangan. Bibirnya bergetar dan mengeluarkan lirihan kecil yang nyaris tidak terdengar, "Ma .."
Namun sayangnya wanita itu tak mendengarkan suaranya yang kecil. Tak mengapa, sepertinya wanita itu terlalu fokus dengan pekerjaan di tabletnya sehingga tidak menyadari tangan kurusnya yang berusaha menggapai air minum di nakasnya.
PRANGG-
Tepat setelah gelas itu berderai dan membuat lantai basah, atensi wanita itu akhirnya tertujukan kepada dirinya yang kini menampilkan wajah piasnya karena merasa bersalah telah memecahkan gelas rumah sakit. Ia berusaha untuk duduk, tapi sayangnya tenanganya belum sepenuhnya pulih.
"Kamal ya ampun sayang, kenapa sayang? Kamal kapan sadarnya?" Wanita itu tergopoh gopoh menghampiri Kamal dengan raut khawatir. Ia membelai surai Kamal yang sedikit lepek karena keringat sebelum mengelus dada kamal untuk menenangkan Kamal karena pemuda itu tampak berusaha menggapai serpihan kaca dari tempat tidurnya.
"Maaf ma, gelasnya pecah karena Kamal." Kamal berujar dengan suara yang sangat pelan.
"Tenang dulu ya, mama bersihin dulu gelasnya." Tania dengan segera mengumpulkan serpihan kaca itu dan membuangnya. Tak lupa ia juga mengeringkan air yang tergenang. Setelahnya ia mengambil kursi untuk duduk di samping Kamal.
"Kamal kemarin ngapain kok bisa sampai kambuh? Papa kemarin khawatir banget bawa Kamal ke rumah sakit," Tania merapihkan selimut Kamal dan menatap Kamal yang ternyata sedari tadi menatapnya.
"Papa mana ma?"
Tania tersenyum manis, merapihkan rambut Kamal, "Papa kerja sayang," Ia lalu beralih mengelus tangan anaknya yang dipasangi jarum infus, "Pasti sakit ya?"
"Ga sakit kok ma, kan udah biasa juga gini." Kamal menatap wajah Tania lekat sebelum akhirnya tersenyum tipis. Sebisa mungkin ia menutupi suaranya yang bergetar, "Mama kerja dari semalam ya ma? Maaf karena aku mama kerjanya dari sini jadinya."
Kamal tau. Tau segalanya. Baik itu kekhawatiran papanya, kesibukan mamanya, penyakitnya, atau hubungan Teguh dan juga Byan. Menjadi anak bungsu di keluarganya membuat dirinya tidak memiliki hal lain yang diperhatikan, oleh karena itu secara tidak langsung ia menjadi sensitif dengan banyak hal. Kebiasaannya yang kambuh itu dan bangun lagi di hari selanjutnya dengan wajar khawatir mamanya membuatnya paham akan beberapa hal. Meski Tania jarang menampakkan dirinya di rumah, namun ia tidak akan diam ketika melihat putranya yang sakit. Ia akan selalu menyempatkan diri untuk mengurus putranya yang penyakitan. Itu membuat luka di hati Kamal.
Tania tidak menjawab untuk beberapa waktu. Ia hanya menatap jam lalu akhirnya memutuskan keheningan itu ketika jarum jam itu berhenti pada salah satu angka, "Kalau Kamal merasa sakit, bilang aja. Jangan ditahan oke? Akan lebih sulit ketika Kamal kambuh dan ga ada orang yang tau, hmm? Mama ga mau anak mama masuk rumah sakit terlalu sering."
❛❛occasion —
Siang itu Byan bangun kesiangan. Tidur larut malam ditambah dengan mimpi buruk yang akhir akhir ini selalu menghantuinya membuat kantung mata hitam bertengger di wajahnya yang tampan. Ia mendumel kesal ketika melihat wajahnya yang kusut dan sayu itu. Ia lalu menendang kesal baju yang terletak sembarangan di sudut kamarnya. Dan bergegas mandi mengingat jadwal presentasinya hari ini.
Perutnya kosong. Namun sudah pasti tidak ada makanan rumah. Karena satu satunya yang memasak di rumah mewah ini hanyalah Sumarti, sementara wanita tua yang ia hormati karena masakannya itu sedang mengurus Teguh yang kesulitan tadi malam. Byan sendiri ragu apakah Sumarti membawanya ke rumah sakit atau mengurusnya di kamar, yang pastinya sekarang tidak ada makanan untuknya.
Tapi bermodalkan penasaran dan keberuntungan, ia memeriksa kulkas dan menemukan satu kotak berisi kue stroberi dengan sticky note diatasnya. Ia meremas sticky note itu dan pada akhirnya membuang kue itu tanpa rasa bersalah ke tong sampah. Biarkan dirinya kelaparan hari ini, dia juga tidak terbiasa makan di rumah. Begitulah Byan meyakini dirinya untuk menutupi perasaan bersalahnya karena membuang kue itu.
Byan hampir saja melempar ponsel ditangannya ketika ponselnya tersebut bergetar menandakan masuknya notifikasi. Untungnya ia mendapatkan kabar baik dari Harsa- temannya yang mengabarkan bahwa dosen yang mengajar mereka hari ini terpaksa tidak hadir karena suatu alasan. Oleh karena itu ia menghela napas lega, namun napasnya kembali tercekat ketika melihat pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal,
|Dimana Teguh?
❛❛occasion —
Sagara saat ini:
dalam hati berpikir 'mending makan apa ya? anime tadi belom juga habis. mana gojo jadi dua lagi. lama banget nunggu balasan ni anak.'
19/10/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Occasion
FanfictionByan hanya butuh perhatian, Teguh tidak butuh apa apa selain abangnya, dan satu sisi lainnya ada Kamal yang selalu tercukupi. Namun mereka tidak tau kalau Byan mampu hidup bahkan tanpa orang tua dan saudaranya, tidak tau kalau Teguh juga butuh peng...