06 : malam yang panjang(3)

216 40 12
                                    

Byan menatap kalung kecil yang menjuntai di jemarinya. Ia memainkan talinya hingga membuatnya kusut dari jemari lentiknya. Byan menatapnya dengan penuh senyuman.

Orang mengatakan kalau beberapa benda terkadang menyimpan ingatan tertentu. Mungkin itu berlaku untuk aksesoris yang dimainkannya sekarang. Meski bukan ingatan yang sangat menyenangkan, tapi Byan bersyukur mendapatkan kalung yang terbuat dari emas putih ini dari seseorang yang berharga dihidupnya. Seseorang yang beberapa tahun ini sulit untuk ia temui.

Tangannya yang mulai bosan itu kini mulai jatuh ke sisi kasur. Byan yang dalam posisi terlentang itu kini meraih ponselnya di salah satu nakasnya hanya untuk membuka berita terbaru.


Film terbaru bertemakan keluarga akan tayang minggu ini

Sutradara Dian mendapat perhatian usai interviewnya mengenai film keluarga yang memuncaki pencarian terbaru

Warganet bertanya tanya mengenai makna lagu yang tersirat dalam film melankolis berjudul 'Occasion'

Nada Irana : "Jadi gini wak, katanya film itu dibuat...." baca selanjutnya


Tanpa sadar, jemarinya menggulir laman itu dengan perlahan. Sebuah foto seorang wanita lantas membuat matanya sedikit basah. Kepalanya menggeleng kuat tak kala suara tak mengenakkan memenuhi kepalanya. Byan benci ketika dirinya rindu seperti ini, tapi tak bisa dipungkiri bahwa dirinya juga merindukan kasih sayang itu.

Masih dengan air mata yang mengalir, Byan memutuskan untuk memetik gitarnya agar isakan tangisnya tak terdengar. Tak jarang juga ia ikut bernyanyi untuk memenuhi kesepiannya. Namun tetap saja itu tidak cukup untuk meredakan perasaannya.

Lalu seolah teringat akan sesuatu, ia kini mendapati sebuah olahan tembakau di salah satu tasnya. Memang bukan miliknya, tapi untuk kali ini ia akan memintanya agar dadanya sesak akan rokok, bukan karena kerinduan yang tak nyaman ini.

Uhuk-

Asap mengepul diwajahnya. Berulang kali Byan terbatuk kecil karena ini pengalaman keduanya menghirup benda kecil ini. Tanpa sadar, bahwa kali ini bukan batuknya yang terdengar, melainkan adik tirinya.

Adik tiri yang membuat hidupnya yang dipenuhi kasih sayang itu hilang dalam sekejap matanya. Seorang pemuda yang penuh penyakitan namun dengan beraninya menantang mautnya hanya untuk melarangnya merokok?

❛❛occasion —

Di tengah penyiksaan itu, pintu ruang kerja Radit terbuka. Menampilkan refleksi cahaya yang masuk di sela pintu itu. Seseorang membuka pintu yang tak dikunci itu dengan sengaja.

Biasanya, tak ada seorang pun yang berani masuk ke ruangan Radithya. Oleh karena itu Radit abai sekarang, amarahnya membuat dirinya lupa mengunci pintu ruang kerjanya.

"Wah pemandangan yang mengharukan."

Ucapan ejekan itu dilontarkan oleh pemuda yang tak sopannya menghentikan aktivitas Radit. Pikiran Radit teralihkan sejenak.

"Beraninya kau masuk, Byan!" Radit meninggalkan Teguh yang kini terkulai lemas sudut ruangan. Radit beralih ke pemuda itu dan mencengkeram bajunya setibanya ia di hadapan Byan.

Byan dengan pelan menepis tangan Radit. Ia memasang wajah meringis, "Tenang pak tua. Amarah papa itu hanya akan membuat papa sulit nanti."

"Apa maksudmu?"

"Papa tau sedang melakukan kekerasan bukan? Ditambah dengan luka Teguh yang parah, aku bisa saja melaporkan papa." Ancam Byan.

"Bisa apa kamu Byan? Lupa kalo papa megang firma hukum besar dengan puluhan pengacara? Papa bisa mengalihkan tuduhan dengan kamu sebagai pelakunya. Karena bagaimana pun juga kamu yang membuat semua kekacauan ini." Radit kini tersenyum mengejek. Ia menoelkan jarinya ke kepala Byan, "Sepertinya kepalamu sudah lama tidak papa kasih pelajaran."

Rahang Byan sedikit mengeras. Meski begitu ia masih mengontrol emosinya agar tidak terlihat lemah di depan Radit. Radit menginginkan ketakutannya terlebih dahulu, agar ia dapat menguasai Byan kemudian.

"Aku? Lucu juga kalo aku masuk penjara beneran." Byan menahan tangan Radit sebelumnya dan memasang sedikit senyuman mengejek, "Tapi itu ga akan terjadi selama aku ga mengizinkan. Papa gatau aja kalau firma hukum yang papa buat sekarang bisa saja hancur."

Byan pintar. Setidaknya 21 tahun ia hidup bersama dengan Radit membuat pemikirannya tumbuh bersamaan dengan otak licik Radit. Tak sia sia ia mendapat segala 'ajaran' Radit dulu.

Sementara Radit kini berusaha menebak isi kepala putra ketiganya itu. Apa saja yang Byan ketahui? Dan sejauh apa? Apakah itu dapat mengancamnya atau hanya sekedar gertakan?

Byan tertawa dalam hatinya melihat raut kusut Radit, senang melihat Radit kesulitan. Byan tak bisa membayangkan betapa senangnya ia melihat Radit hancur dimasa depan. Tangan Byan menepuk pundak pria tua dihadapannya, "Eyy jangan pusing dulu pak tua. Seharusnya sekarang papa mengkhawatirkan kondisi anak bungsu papa."

Byan mendekatkan mulutnya ke telinga papanya, "Anak kesayangan papa sekarang kambuh di kamar aku. Aku ragu dia bisa menunggu lebih lama."

Wajah Radit memucat. Dengan cepat kakinya bergegas meninggalkan Byan, khawatir si bungsunya kenapa napa. Padahal dirinya sendiri mencelakai anaknya yang lain.

Seperginya Radit, mata Byan beralih menatap Teguh yang lemas. Byan mendekati Teguh dengan langkah pelan. Tangannya memegang kepala Teguh yang untungnya sudah berhenti mengeluarkan darah. Byan menelisik sejenak kondisi Teguh dan mendapati pria muda itu masih memiliki sedikit kesadaran. Dengan cepat Byan mundur.

"Bang?" Suara Teguh pelan, namun masih terdengar oleh Byan.

"Tumben banget panggil abang. Sakau lo? Enak ya pukulan papa?" Byan sedikit mengejek Teguh.

"Sakit bang. Tolongin gue." Teguh yang masih dalam posisi sedikit meringkuk berusaha menatap mata Byan. Seluruh tubuhnya terasa nyeri sekarang, tak dapat digerakkan. Ini kali pertamanya Radit memukulnya separah ini.

"Kalo gue gamau gimana? Lagian abang lo 'kan cuma Jiantara dan Sagara doang?" Byan mendapati mata Teguh mengacak rambut Teguh agar menutupi arah mata Teguh. Byan tidak suka melihat mata Teguh yang lemah itu.

"Bang?" Teguh memanggil ulang Byan memastikan Byan masih di sampingnya. Namun ia tidak mendapat sahutan lagi dari Byan. Seharusnya ia tidak mengharapkan apapun dari Byan.

Disisi lain kesadaran Teguh sudah berada diambang batasnya, oleh karena itu Teguh memutuskan diam dan tertidur tak lama kemudian. Ia akan menikmati dinginnya lantai marmer ini dulu dan alam mimpi indahnya. Sepertinya Teguh benar benar lelah.

Byan yang ternyata masih setia di ruangan itu menatap Teguh yang tak bersuara kemudian. Ia menghela napasnya kasar sambil melihat jam dinding yang menemani kesunyiannya sedari tadi. Jarum pendek menunjuk ke arah angka tiga. Malam yang cukup panjang, pikirnya

❛❛occasion —

sampe sini dulu malam nya

28/09/23

OccasionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang