prolog : senyuman secerah matahari

317 43 8
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

...

"Terimakasih telah mengantarkan ku pulang, paman." Seorang pemuda tampan menghiasi wajahnya dengan senyuman terbaiknya. Mewakili rasa terimakasih nya kepada laki laki tua yang menjabat sebagai supir pribadinya.

"Sudah tugas saya tuan muda. Apakah tidak perlu ke rumah sakit tuan?" Bapak tua itu tampak mengkhawatirkan kondisi anak majikannya yang tampak pucat itu.

Pemuda itu menggeleng dengan sedikit mengibaskan tangannya di udara. Ia sudah terbiasa dengan kondisinya. Lagipula itu bukan hal yang mengkhawatirkan baginya.

Kamal nama pemuda itu. Anak yang dibesarkan cukup baik dengan perekonomian yang berlebih. Tentu saja ia sedikit dewasa menanggapi sedikitnya interaksi dengan sang orangtua karena kesibukan mencari pundi pundi uang itu. Setidaknya ia dapat berbahagia ketika ayah atau ibunya yang menjemputnya ketika ia masuk UKS.

Namun ia masih memiliki sisi dimana ia merasakan kesepian ketika orangtua yang menghangatkannya itu tidak berada di sisinya. Sebagai gantinya, ia memiliki teman sekaligus Abang yang menemaninya dalam kesehariannya. Awalnya ia bingung dengan kondisi dimana ia dan Teguh berumur sama. Namun otaknya memperoleh jawabannya ketika ia mendengar jawaban kasar yang tak sengaja dilontarkan oleh kakak pertamanya - Byan ketika ia berada di bangku sekolah dasar. Kata kata seperti adik tiri itu membayanginya selama beberapa tahun.

Meski begitu hidupnya sempurna. Ia memiliki orang tua, saudara dan rumah tempatnya pulang. Ia mengenyampingkan penyakitnya untuk sementara waktu. Lagian penyakitnya juga tidak berbahaya. Kamal senang berpikiran seperti itu.

Kamal bersenandung kecil ketika memasuki rumah. Aroma masakan memenuhi seisi rumah. Lantas ia menyapa seorang wanita tua yang sedang menyiapkan makan siang tersebut.

"Halo bibi!" Kamal sengaja mengejutkan asisten rumah tangganya yang berusia cukup renta tersebut.

"Astaga Kamal!" Sumarti, wanita yang sudah bekerja belasan tahun di rumahnya itu berteriak terkejut sembari mengusap dadanya pelan. Untung ia tidak memiliki penyakit jantung.

Kamal hanya cengengesan mendapati hal tersebut. Ia mengerling sedikit agar sikap manisnya itu dapat membuatnya dimaafkan Sumarti.

"Yasudah, ayo ganti bajunya dulu nak. Nanti biar bibi antar makanannya ke kamar."

"Tapi Kamal ingin membantu bibi masak." Kamal berseru protes.

"Shutt, Kamal tadi kambuh di sekolah bukan? Jangan sekarang ya, nanti kalo Kamal udah baikan baru bole bantu bibi lagi." Sumarti berusaha meyakinkan Kamal yang tampak merajuk.

Untungnya Kamal dapat mengerti maksud Sumarti, dengan wajah yang masih ditekuk ia beranjak ke kamarnya. Namun tepat ketika selangkah membuka pintu, ia mendapati kehadiran kakaknya - Byan yang tampak bersiap keluar.

Dengan wajah yang kini berubah drastis menjadi tersenyum kembali ia menyapa Byan. Tapi ia tidak mendapatkan kembali senyuman balasan dari Byan. Byan selalu memasang wajah datarnya di setiap sudut rumah ini. Meski begitu Kamal tetap tidak terbiasa.

❛❛occasion —

29/07/23

OccasionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang