10 : konstanitas dan kemunculan anomali

187 39 23
                                    

"Ga cape lo, Byan?"

Lantas kepala yang sibuk celingak celinguk itu terhenti dan berbalik menatap sumber suara yang menginterupsinya sebelumnya, "Cape lah, belum lagi abis ini lanjut nugas MKU* yang lo tagih mulu. Kenapa lo ga buat sendiri aja sih? Ga kasian sama otak lo nganggur mulu?"

"Arggh!" Byan mengerang pelan ketika Harsa menoyor kepalanya dengan tas yang ia bawa, "Kenapa gue harus berpikir kalo ada lo yang bisa berpikir? Lagian lo paham maksud gue, lo-"

"Diem, 'ntar ketahuan lo yang gue lempar ke kandang harimau sana."

Harsa bergidik ngeri melihat kendang harimau yang cukup besar dengan ukuran 3x3 meter dan tinggi 3 meter itu. Apalagi di dalamnya bukan hanya terdapat satu harimau, melainkan 3 sekaligus. Bukannya tak mungkin Harsa dapat bertahan hidup melawan ketiganya.

Melihat Byan yang matanya terfokus lagi, Harsa mencengkeram erat lengan Byan, "Tapi serius, lo ga cape Byan?"

Bola mata boba itu terus bergulir dan pada akhirnya menemukan sesosok yang dicarinya. Seorang wanita berumur namun tak tampak guratan usia pada wajahnya. Wajahnya cantik alami tanpa kerutan, terkecuali ketika wanita itu tersenyum.

Langkah Byan yang ingin menghampiri wanita itu tertahan ketika menyadari bahwa Harsa masih mencekal tangannya. Bahkan kini Byan baru menyadari kokohnya tangan Harsa yang mencekalnya, membuat pergelangan tangannya sakit.

"Ngapain sih lo?"

"Lo yang ngapain? Ga cape lo ngejar ngejar wanita itu dan anak anaknya mulu? Lo harusnya bersyukur punya adek menggemaskan kaya Kamal sama Teguh, mereka-"

"Diem Sa. Wanita yang lo sebut itu mama gue. Lebih dari itu lo ga tau apa apa," Byan melepaskan cekalan tangan Harsa dengan kasar membuat lengan bajunya sedikit berdarah lantaran pergelangan tangannya yang kembali terluka.

Syukurnya Byan menggunakan baju berwarna gelap hari ini, ia mengusap tangannya yang pedih, "Lo ga tau apa apa. Mending lo diam."

Tingkat kejenuhan Harsa yang sudah menumpuk itu membuat dirinya muak. Mata Harsa memicing menatap Byan, "Kasih tau gue, jangan jadi orang paling menyedihkan sedunia aja. Lo kaya, pintar juga, bahkan keluarga lo lengkap. Apa alasan lo nyari perkara di saat semua orang udah berdamai sama masa lalu mereka?"

"Lo ga tau-"

"Kasih tau gue. Apa masalah lo?" Namun dengan cepat Harsa memotong ucapan Byan. Ia tau kalimat klise Byan, bahwa dirinya tak tau.

Bagaimana Harsa akan mengetahui akar permasalahan Byan jika pemuda itu selalu menghindari pertanyaannya. Enam tahun mereka berteman Byan selalu ceria seolah tak memiliki masalah dalam hidupnya. Entah mengapa beberapa tahun belakangan Byan selalu memintanya untuk melakukan sesuatu yang aneh, dari mencari nomor dan media social seseorang hingga tempat tinggalnya. 

Barulah hal itu membuat Harsa mau tak mau menuntut pertanyaan kapada Byan. Namun sayangnya Byan tak kunjung memberinya, hal itu menambah tugas Harsa untuk mencari tau masalah Byan sendiri tanpa sepengatahuan pemuda itu.

Harsa menghela napas kasar kala netra kembar yang terpaku itu bergetar. Tapi itu tak menghentikan titik jenuh Harsa, "Mama kandung dan abang abang lo itu udah bahagia sama keluarga kecil mereka. Papa lo udah nikah dan mama tiri lo juga fine fine aja. Nyatanya ga semua perceraian berakhir buruk, buktinya lo liat sendiri kan? Lo mungkin masih kecil buat ngerti saat itu kalo-"

"Gue, gue yang belum bahagia sa! Dan lo tau apa soal keluarga gue? Lo tau alasan gue ga mau cerita sama lo?"

Karena nyatanya dugaan Harsa tidak sepenuhnya benar. Selayaknya hipotesis yang belum teruji kebenarannya. Adapun ucapan yang Harsa sesali kini dapat menyangkal hipotesis itu setidaknya. Harsa meragu, seberapa banyak hipotesis itu salah, dan apakah Byan benar benar tidak bahagia?

OccasionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang