02 : senyuman Byan

244 38 6
                                    

Matahari belum terbit namun Teguh sibuk berkemas sembari sesekali menatap layar ponselnya dengan suasana hati senang. Meski sedikit bersalah karena rencana Kamal yang gagal, namun disisi lain ia tidak bisa berbohong jika dirinya bersyukur bahwa rencana dirinya untuk bertemu Jian tercapai.

Sengaja bangun lebih awal agar penghuni rumah tidak menyadari kepergiannya, ia kini memastikan tampilannya di depan cermin. Ia memakai kaos dengan kemeja sebagai outernya. Dalam hati ia berharap agar kegiatannya hari ini berjalan sukses.

Selesainya ia berkemas, ia segera turun ke bawah tanpa sarapan terlebih dahulu. Lagian sarapan juga tidak tersedia sekarang karena bibi Sumarti sedang berlibur. Oleh karena itu ia memutuskan untuk sarapan juga bersama Jian.

"Mau kemana lo?"

Suara berat seorang pemuda yang sangat dikenali oleh Teguh itu membuatnya menghentikan langkahnya. Sial, ia ketahuan Byan. Semoga Byan menjaga mulutnya hari ini.

"Buat apa lo tau? Biasanya juga lo ga peduli." Teguh membalasnya dengan sedikit sinis.

Alis Byan bertaut, dadanya memanas. Tapi ia tidak menyangkal ucapan itu, sebaliknya dengan cepat ia menganalisis arah tujuan adiknya itu. Lalu garis bibirnya melengkung ke atas menandakannya tersenyum.

"Asik banget ketemu bang Jian hari ini. Seneng lo bisa main hari ini sementara Kamal lagi sedih sedihnya." Byan tersenyum mengejek.

"Emang lo pernah perhatian sama Kamal? Jangan berpura pura simpati sama Kamal. Lagian itu urusan gue, lo gausah ikut campur." Teguh berjalan meninggalkan Byan dengan segera, takut penghuni rumah lainnya terjaga.

"Oke, tapi gue ga bakal tutup mata hari ini. Siap siap aja lo pulang nanti, gue denger dari tante girang kemarin kalo papa bakal pulang malam ini." Mata Byan sedikit memicing tersenyum sebelum kembali ke kamarnya. Ia memenuhi permintaan Teguh untuk tidak ikut campur urusan pemuda itu.

Masih dengan tangan memegang kenop pintu, hati Teguh sedikit gelisah mendengar ucapan Byan. Tapi sejak kapan ia patuh terhadap ayahnya jika terkait Jian? Ia selalu melanggar larangan Radithya - ayahnya meski berujung di ruang kerja Radit. Meski beberapa kali ia beruntung aksinya tidak ketahuan. Namun kali ini ia sudah terlanjur basah, jadi mending ia menikmati pertemuannya saja dengan hati yang tenang.

❛❛occasion -

Dari balkon kamarnya, Byan menatap halaman rumahnya dengan sedikit memicing memastikan penglihatannya tidak salah. Perlahan ia meronggoh sakunya guna mengeluarkan ponselnya.

"Lumayan jadi bahan." Byan sedikit tersenyum puas merekam sesuatu melalui ponselnya. Tampak seorang wanita tua yang memasuki mobil lalu perlahan menghilang dari perkarangan rumahnya.

Melihat kepergian wanita itu, Byan menjadi memikirkan bagaimana kabar Kamal. Pasti ia merasa kesepian sekarang. Tapi Byan tak mau ambil pusing. Byan bukan penjaga anak yang bisa menemani Kamal ketika kesepian. Selain itu, ia tidak menyukai adik tirinya itu.

Byan menatap gitarnya lama lalu memutuskan untuk memetiknya guna mengisi waktu luangnya. Bahkan ia sendiri bingung mau melakukan apa ketika liburan. Byan pernah ingat ketika ia balap motor bersama temannya dan berakhir dihukum Radit selama seminggu. Memikirkan hal itu membuat kenangan lama Byan naik ke permukaan. Byan memejamkan matanya guna menetralkan pikirannya.

Tok tok-

Permainan gitar Byan terhenti ketika pintu kamarnya diketuk. Byan sudah menduga pelaku dibalik pintu tersebut. Namun ia berpura pura tidak mendengarnya dan melanjutkan petikannya. Dalam hati ia berharap agar Kamal tidak mengganggu mood nya hari ini. Setidaknya moodnya harus baik sebelum Radit pulang bukan? Ia jarang menikmati waktu dengan baik.

Tak lama ketukan itu berhenti seiring dengan petikan gitarnya. Byan menghela napas dan termenung menatap balkon kamarnya. Merasa ada sesuatu yang perlu ia lihat lagi di sana. Oleh karena itu ia mencoba memeriksa balkonnya.

Tepat di pagar balkonnya yang berada di lantai 3 itu, ia menemukan sebuah layangan berwarna biru tersangkut dengan kertas yang menempel di salah satu sisinya. Byan yang penasaran lalu menatap ke bawahnya dan menemukan Kamal yang melempar senyum. Sepertinya Kamal sengaja mengorbankan layangannya.

"Dasar bocah." Byan berucap dengan suara normal. Ia yakin bahwa Kamal tidak akan mendengar suaranya.

"Jangan panggil gue bocah bang. Nama gue Kamal, asal lo tau." Kamal berteriak seolah olah mengetahui ucapan Byan sebelumnya. Ia kembali mengudarakan layangannya yang kini berwarna kuning ke arah balkon Byan.

Byan menatap layangan itu tanpa ekspresi. Entah karena Kamal yang pandai bermain layangan atau angin yang sedang berpihak kepada Kamal, layangan itu kembali tersangkut ke pagar balkon Byan.

"Hadiah gue buat lo bang." Kamal berteriak lagi dari bawah menggunakan suaranya yang melengking.

Byan yang kesal memutus kedua layangan tersebut dan merobeknya sebelum melemparkannya kembali ke bawah. Lalu seperti biasanya, ia mengacuhkan Kamal dan menutup pintu balkonnya. Byan hanya tidak menyadari bahwa ia mengambil kertas pada kedua layangan tersebut.

Sementara Kamal yang mendapati layangannya hanya bisa tersenyum miris. Untungnya kesedihan itu berlangsung sesaat. Sebuah ide untuk mengisi waktu liburannya kembali terlintas di benaknya yang kali ini tidak akan mengganggu abang tersayangnya itu. Kamal benar benar bocah.

❛❛occasion -

Byan menatap kertas di tangannya. Entah mengapa ia ragu membuang kertas itu. Tapi disisi lain ia malas membaca tulisan anak yang membuat masa kecilnya sulit itu. Oleh karena itu ia memutuskan untuk menyimpan kertas yang masih terlipat itu di laci meja belajarnya.

Pemuda itu kembali bosan, ia mengambil posisi rebahan di kasurnya dan merentangkan tangannya. Mencoba menggapai sesuatu dengan tangan kurusnya.

Akhirnya getaran di ponselnya membuyarkan lamunannya. Ia membuka ponselnya dan matanya terpaku pada satu ruang obrolan.

Matanya menelisik sejenak membaca pesan lama pada chat tersebut sebelum kembali memejam untuk mencegah air matanya mengalir.

Berusaha menekan emosi yang menyeruak di dadanya, ia akhirnya memutuskan untuk menekan tombol panggilan pada nomor tersebut. Ia sedikit berharap sang pemilik nomor menjawab panggilannya.

"Halo?"

"Ayo ketemuan."

Lalu panggilan itu diputus secara sepihak.

Meski begitu Byan tidak bisa menahan senyumannya. Ia melempar ponselnya sembarang di kasurnya dan menutup wajahnya dengan bantal layaknya anak kecil. Ia berguling lalu menghentakkan kakinya di kasur. Ternyata Byan juga bocah.

❛❛occasion -

31/07/23

OccasionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang