09

20 2 2
                                    

"Assalamualaikum." Hangga masuk ke dalam rumah nya dengan membawa nasi bebek.

Ayah yang sedang menonton tv di ruang keluarga menjawab salam si sulung. "Waalaikumussalam." Hangga duduk di samping Ayah nya setelah mencium punggung tangan Ayah.

"Hangga bawa nasi bebek, kemarin Ibu sama Nisa minta." Seru Hangga sambil menunjuk ke arah plastik hitam yang sudah tergeletak di atas meja, tepat di samping gelas kopi Ayah.

"Kebetulan belum pada makan sih, Ibu juga lagi gak masak." Seru Ayah dan membawa nasi bebek itu ke ruang makan kemudian kembali ke depan.

"Kamu kenapa pulang kesini terus sih kaya gak punya rumah aja." Ayah mengatakan itu sambil memakan keripik bawang buatan Anisa.

"Hangga pulang ke sini salah, gak pulang juga salah." Jawab Hangga dengan dramatis.

"Kamu akhir - akhir ini deket banget sama Shafira, Ayah ditegur tau sama Bapak nya si Priyanto! Kamu ngapain matiin rezeki orang Hangga?" Hangga diam mencermati pembicaraan Ayah nya.

"Kamu tuh udah satu bulan ini pulang ke sini terus, bukan nya Ayah gak seneng anak kumpul.Tapi Ayah juga tahu kamu pasti cape, pagi ke Blok M, sore ke Sarinah. Yang harusnya pulang kantor bisa langsung tidur ini malah masih di jalan." Ayah membuka toples kuping gajah dan mengambil beberapa yang kemudian ia makan.

"Belum lagi udah beberapa hari ini kamu pulang pergi sama Shafira terus, si penghuni kost Ayah. Shafira kan kalo pagi pulang pergi itu dianter sama Priyanto anak nya si Slamet. Slamet tuh ngira nya kamu ambil rezeki anak nya. Main diberhentikan gitu aja, Shafira aja diem." Hangga hanya berdeham.

"Ayah," Panggil nya membuat Sang Ayah berhenti memberi nasihat.

"Hangga izin mau nikah sama Shafira. Hangga sayang sama dia." Ucap Hangga.

"Hangga gak pernah bermaksud matiin rezeki siapapun, tujuan Hangga pergi kerja sama Shafira selain arah nya sama, ya karena emang Hangga yang mau. Hangga minta maaf kalo kelakuan Hangga buat Ayah ditegur sama Pak Slamet. Dan untuk Hangga yang lebih milih pulang ke sini, karena Hangga kemarin mau ngedeketin Shafira, Yah." Jelas nya membuat Ayah Toni tertegun.

Lelaki paruh baya itu melihat anak sulung nya. "Kamu kenapa gak bilang dari awal sih nak? Kenapa harus Ayah marahin dulu?" Hangga menunduk.

"Takut Ayah gak suka lagi sama pilihan Hangga." Ayah diam.

"Ayah selalu gak setuju sama perempuan pilihan Hangga." Sambung nya.

"Emang kamu kira sekarang Ayah setuju sama Shafira?" Tanya Ayah.

"Ayah gak setuju?" Tanya Hangga.

"Ayah setuju kalo dia perempuan yang baik, tapi Ayah tetap pada pendirian Ayah — cari pasangan yang menutup aurat nya."

"Shafira kerja, itu cuma untuk kerja, Yah. Di luar kerjaan nya dia pake. Hangga pertama kali ketemu dia, dia pake. Ayah, Hangga minta tolong sekali ini aja. Hangga mau nikah Yah." Hangga menekankan kata nikah dan intonasi nya yang cukup tinggi karena ia sudah kepalang emosi dengan sikap Ayah yang selalu keras kepala.

Hal itu membuat Ibu dan Nisa terburu - buru memasuki ruang keluarga. "Ada apaansih ribut - ribut?" Tanya Ibu sedangkan Nisa melihat kakak nya yang sedang menahan amarah.

"Dia mau nikah tapi perempuan nya sama aja kaya yang kemarin." Jawab Ayah membuat amarah Hangga memuncak.

"Ayah gak kenal Shafira jadi Ayah gak berhak bilang kaya gitu! Shafira gak sama kaya mereka." Ucap Hangga tegas.

"Halah! Kaya kamu udah kenal lama aja sama dia! Kenal juga baru kemarin lagak nya kenal bertahun - tahun." Seru Ayah dan berlalu dari sana.

Ibu mengelus punggung putra sulung nya. "Sabar nak, nanti Ibu bantu biar Ayah mau ya." Seru Ibu.

The Day We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang