11

13 2 2
                                    

Warning : using word pelecehan dan benda tajam.
.
.
.

Agam terdiam di dalam mobil nya, pandangan nya tertuju pada halaman rumah yang luas yang berada di hadapan nya kini. Rumah tingkat tiga minimalis, rumah yang menjadi saksi bisu ia dan Shafira ketika sedang masa kanak - kanak. Agam tertawa sejenak ketika masa indah itu terlintas kembali.

Aku kangen kamu, Ira.

Setelah puas memandangi rumah orang tua Shafira, Agam pun memilih keluar dari mobil nya dan dengan perlahan membuka gerbang nya sedikit yang memang tidak digembok.

Agam membunyikan bel sekali dan dua daun pintu lebar dengan warna coklat itu terbuka. Agam tersenyum hangat melihat si tuan rumah.

"Oh Kak Agam, gue kira Kakak. Ayo masuk." Ajak Mahesa.

Agam menggeleng melihat penampilan si bungsu yang jauh dari kata rapi. "Gak kuliah lo?" Tanya Agam.

Mahesa menyalakan pendingin ruangan dan menggeleng. "Duduk dulu Kak - gue kuliah kok tapi daring." Jawab Mahesa.

"Mama ada?" Mahesa mengangguk.

"Ada di belakang lagi main sama kucing kesayangan si Kakak." Seru Mahesa.

"Mau minum apa Kak?" Tanya Mahesa ketika hendak ke dapur.

"Eh gak usah Sa, nanti gue ambil sendiri aja. Gue mau ke belakang juga ketemu Mama." Mahesa mengangguk.

"Yaudah, gue tinggal ke kamar ya. Dosen nya ribet." Seru Mahesa sambil berlalu.

Agam tersenyum tipis. Kemudian ia menelusuri rumah orang tua Shafira hingga kaki nya membawa nya ke halaman belakang - paviliun kucing, tempat Mama Chantika berada.

Agam menghembuskan nafas nya berat, ia menatap sendu punggung perempuan yang sudah berusia senja itu. Dengan pelan Agam mendekat ke arah Mama.

"Assalamualaikum, Ma." Seru Agam dengan suara nya yang khas.

"Waalaikumussalam." Jawab Mama yang kemudian menoleh ke asal suara.

Mama tersenyum hangat melihat kehadiran Agam. "Kamu sehat?" Tanya Mama.

Agam mengangguk. "Agam sehat." Jawab Agam dengan hati nya yang bergetar.

Mama Chantika adalah perempuan kedua yang lelaki itu hormati dan ia sayangi setelah Ummi nya sendiri.

"Sini duduk." Mama membawa Agam menuju gazebo yang terletak di antara halaman dan kolam renang.

"Ma, Agam datang ke sini mau minta maaf karena udah batalin perjodohan Agam sama Ira. Agam yang minta tapi Agam sendiri yang nolak, Agam minta maaf." Lelaki dengan kemeja merah itu mencium punggung tangan Mama, membuat Mama yang diperlakukan seperti itu perlahan menangis.

Agam gak salah nak, tapi memang Shafira nya yang gak mau. Harusnya Mama yang minta maaf. Mama mengelus sayang rambut hitam Agam yang sudah mulai lebat.

"Kenapa Agam yang minta maaf? Agam gak salah." Tanya Mama lembut.

Agam menggeleng. "Agam gak ada rasa sama Ira, Ma." Bohong nya.

"Agam gak bisa." Mama tersenyum mendengar nya.

"Agam yang udah gak suka sama Ira atau Ira yang memang sejak awal gak mau sama perjodohan ini?" Agam diam, ia tidak tahu harus menjawab apa.

"Atau Agam sebenarnya masih ada rasa sama Ira, tapi Ira nya suka sama yang lain? Yang mana?" Tanya Mama lagi, kali ini dengan nada nya yang jenaka.

Semua benar, Ma.

The Day We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang