Devon diam mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari mulut wali kelasnya, kepalanya menunduk dengan jemari yang saling bertaut memainkan satu sama lain secara acak. Nyalinya terlalu kecil untuk mendongak dan melihat wajah orang-orang dewasa yang sedang bicara seakan mereka tau segalanya.
Kini di hadapan Devon ada Pak Ari—pria yang menjadi wali kelasnya— dan ada juga seorang guru BK yang sedari tadi sibuk memberikan nasihat-nasihat yang sulit untuk Devon mengerti.
Jenna yang duduk di sebelah Devon, sejak tadi terus merintih kesakitan sambil memegang perutnya. Wali kelasnya yakin bahwa ini disebabkan oleh tendangan Devon. Padahal, Devon terlihat lebih menderita dengan tubuh yang menggigil kedinginan karena bajunya yang basah terkena angin dari pendingin ruangan.
Tanpa memperdulikan kondisi Devon, Pak Ari terus bicara tentang etika dan moral. Bahwa sebagai laki-laki, Devon seharusnya tidak boleh menyakiti, kasar, apalagi sampai menendang perempuan seperti apa yang beberapa waktu lalu terjadi di kelas. Sementara guru BK itu sibuk mempertanyakan alasan Devon melakukannya, dilengkapi dengan kalimat-kalimat menyudutkan yang dibalut dengan permainan kata yang rapi dan penyampaian yang sempurna, membuat apa yang dikatakannya seolah adalah hal yang baik dan benar.
Tidak sedetik pun Devon menanggapi omongan mereka, melihat wajahnya pun tidak. Devon hanya menunduk dan diam tanpa berani memberi pembelaan.
Devon sudah cukup sadar jika tidak akan ada seorang pun yang mau membelanya di dalam ruangan ini. Meskipun mereka mendengar alasannya, itu masih tidak merubah fakta bahwa keberpihakan dua guru di hadapannya ini condong berada di kubu Jenna.
Jelas sekali guru-guru ini akan lebih percaya pada Jenna dengan segala citra baiknya yang sering membanggakan nama sekolah. Berbeda dengan Devon, yang hanya membuat nama baik sekolah tercoreng karena perbuatan nakalnya. Tidak akan ada yang mau berpihak pada anak nakal yang sering terlibat tawuran dan berurusan dengan polisi seperti Devon.
Namun, di dalam hati kecil Devon ada sedikit harapan yang membuatnya sesak. Dia ingin mengatakan yang sebenarnya dan berharap kata-katanya akan dipercaya oleh seseorang. Rasanya dia ingin menangis, mengadu pada siapa pun yang mendengarkan, bahkan berharap dapat sedikit kepercayaan untuk apa yang dia katakan, tapi sepertinya percuma saja jika dilakukan.
Banyak orang bilang kalau Devon itu orang yang lebay, alay, atau apapun itu sebutannya, tapi yang bisa Devon rasakan saat ini hanya sesak.
Sesak karena tangis yang sejak tadi Devon tahan mati-matian. Dia menahan tetes air matanya agar tidak meleleh keluar, supaya dia tidak perlu mendengar kata-kata jahat yang sering orang katakan terhadapnya.
Tidak akan ada seorang pun yang mengerti rasanya berada di posisi Devon. Sendirian, tidak dipercaya, dan mendapatkan banyak hal jahat yang orang berikan padanya. Jujur saja hatinya merasa sakit, tapi jauh dari pada itu dia hanya sedih.
Devon sering bertanya-tanya, apa anak nakal sepertinya memang pantas mendapat perlakuan seperti ini?
Separah itu kah kelakuannya sampai dia tidak mendapat kepercayaan dari siapa pun?
Apa semua hal jahat yang dia terima adalah balasan karena dia sudah menjadi anak yang nakal?
Sedikitnya Devon menyesali jalan yang dia pilih, tapi penyesalannya tidak akan merubah apapun. Tatapan mata semua orang akan tetap sama ketika melihat ke arahnya. Mereka akan tetap memicing sinis atau bahkan terang-terangan terlihat membenci, meski Devon yakin kalau dia tidak pernah berlaku jahat pada semua dari mereka, tapi penghakiman sosial itu nyata adanya. Walaupun tidak sepenuhnya benar, Devon tetap mendapat balasan atas perbuatannya. Ini jalan yang Devon pilih dan sayangnya dia tidak bisa mundur lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...