Chapter 15. Prejudice and Jealousy

5 2 3
                                    

*

Pemandangan rooftop di akhir musim gugur sedikit berkabut. Langit mendung dan suhu udara semakin jatuh. Membuat napas semua orang mengepul. Sudah lama Huang Haoren tak menjejakkan kakinya ke pelataran bersemen di atas gedung ini karena kesibukannya ... juga keasyikan untuk menghabiskan waktu bersama Im Hyunbi. Namun, kali ini ia ingin kembali ke tempat favoritnya itu. Ia merindukan ketenang dan kedamaian tempat itu.

Sambil menenteng kotak biola, Huang Haoren berjalan menuju bangku rooftop di sisi tembok pagar. Kedua netra gelapnya mengedip saat menangkap sosok gadis berambut sepunggung sedang serius memetik gitar. Seolah menyadari kehadiran seseorang, gadis itu mengangkat kepalanya. Senyum lebar langsung terpatri di wajahnya.

"Renren-ah. Kau ke mari juga?" tanyanya.

Huang Haoren tak menyangka, Im Hyunbi memainkan gitarnya yang selama ini teronggok di sudut ruang tengah apartemennya hingga berdebu itu. Di sudut hatinya, ia merasa lega.

"Noona ... bermain gitar?"

"Aku ingin mencoba memainkannya lagi setelah sekian lama. Toh, kemarin aku baru membeli buku kumpulan lagu." Im Hyunbi memetik senar-senar gitarnya, sesekali memutar sekrup senar untuk menyetem, dan menggenjrengnya. "Ini juga berkatmu. Gitar pemberian ayahku yang berdebu bisa kumainkan lagi," Im Hyunbi terhenti sejenak. Senyum hangat melengkung di wajahnya.

Huang Haoren tertegun. Ini kedua kalinya telinganya menangkap kata-kata itu. Huang Haoren merasa hatinya penuh. Ia mengintip buku kumpulan lagu yang terbuka di pangkuan Im Hyunbi. "Mau coba duet denganku?"

Netra Im Hyunbi membesar. "Eh? Kau bisa?" Huang Haoren mengangguk "Suatu kehormatan aku bisa duet denganmu. Hahaha."

Huang Haoren ingin waktu berhenti untuknya. Kalau bisa untuk durasi yang lama. Ia tidak ingin kehilangan momen ini. Di mana ia akhirnya bisa berdiri di lembaran yang sama dengan gadis yang dia cintai ... selepas perjalanannya memahami perasaannya sendiri, dan mencapai titik ini. Suhu dingin udara hari ini tak membuatnya bergidik sama sekali.

*

Im Hyunbi tergesa menyusuri koridor Hong Kong City Hall menuju concert hall. Pagi tadi, ia sudah berjanji akan menonton Huang Haoren latihan. Setelah menyelesaikan beberapa halaman naskah, ia langsung menghambur keluar dan berlari ke halte bus.

Siang menjelang sore ini cuaca sedang bagus, meski udara sudah semakin dingin. Im Hyunbi menaiki tangga sambil berlari. Napasnya terengah-engah. Sembari mengatur napas, tangannya menarik pintu concert hall perlahan. Suara alunan musik menguar keras namun merdu. Telinga Im Hyunbi bergetar. Begitu juga dengan dadanya. Dari tribun, ia diam-diam menonton sesi latihan konser Guangliang Philharmonic Orchestra. Khususnya permainan Huang Haoren.

Lelaki berkemeja merah marun itu masih memasang raut serius. Permainan biolanya tegas dan mendalam. Mata Im Hyunbi tak kuasa melepas fokus ke arahnya. Seolah lampu sorot hanya menyoroti sosok itu, dan sekitarnya gelap. Dan siapa sangka, jika laki-laki yang lebih muda itu membawakannya banyak inspirasi untuk naskahnya yang mandeg. Tak hanya tentang musik, tapi juga emosinya. Entah harus seberapa besar ia berterima kasih pada Huang Haoren. Karenanya, pagi tadi Im Hyunbi telah sanggup mengirimkan draft pertama naskahnya ke editornya. Dia tak percaya bisa menulis naskah secepat itu. Seakan dirinya dirasuki roh pujangga. Setelah sekian lama terhalang writer's block.... Huang Haoren seperti menyihirnya akhir-akhir ini.

Berjam-jam tak terasa berlalu begitu saja. Im Hyunbi memperhatikan para musisi yang berserakan meninggalkan panggung. Gadis itu menahan senyum. Huang Haoren tak tahu ia datang diam-diam. Ingin memberinya kejutan.

FLOWER FLAME (Complete) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang