*
Huang Haoren benar-benar mendiamkannya.
Sudah beberapa hari ini, suasana apartemen 301 dan 302 terasa sepi. Tak ada pembicaraan yang layak di antaranya dan Huang Haoren. Jika kemarin obrolan ringan masih terasa seru, kini sekedar menyapa saja tidak.
"Ada apa dengan kalian berdua? Kenapa diam-diaman begitu?" tanya bibi Zhang yang tak sengaja menyaksikan keanehan dua penghuni paling klop di gedung apartemennya itu.
"Méiyǒu Āyí ... (tidak ada apa-apa, Bibi ....)" Im Hyunbi hanya tersenyum menanggapi. Beberapa detik kemudian ia pergi. Bibi Zhang hanya melongok terheran-heran di sisi koridor.
"Aiyo ... dasar anak muda."
Huang Haoren masih tenggelam dalam kemarahannya, sementara Im Hyunbi masih terperangkap dalam gengsinya. Ketika Huang Haoren diam-diam mengharap kata maaf dan penyesalan yang layak dari Im Hyunbi, gadis itu malah lebih mengharapkan Huang Haoren melupakan semuanya. Menganggap hal ini tak pernah terjadi dan kembali seperti semula. Ekspektasi mereka yang besar kepada satu sama lain membuat keinginan dan jalan pikiran mereka tak kunjung menemukan titik temu.
Mendadak, mereka jadi manusia individualis dan kekanak-kanakan.
Huang Haoren sibuk bolak-balik latihan di studio musik Guangliang, Hong Kong City Hall bahkan Hong Kong Cultural Centre di Tsim Sha Tsui hingga hari berubah gelap. Im Hyunbi tahu perangai tetangganya yang rajin dan tekun itu. Akan tetapi, ini sedikit berlebihan di matanya. Meskipun tak ada jadwal latihan sekalipun, Huang Haoren akan tetap pergi.
Im Hyunbi jadi merasa dilupakan. Keberadannya seolah cuma angin lalu di mata Huang Haoren setiap kali mereka berpapasan. Ia hanya akan ditatap beberapa detik sebelum lelaki bermata tajam itu meloyor pergi. Hal itu berkali-kali membuat hatinya mencelos, seakan tenggelam dalam sesal, serba salah dan kecewa yang dalam. Inikah yang dirasakan pemuda itu tempo hari?
Im Hyunbi menjatuhkan pandangannya ke bawah. Sunyi senyap suasana apartemennya kembali menyelubunginya. Tanpa sadar, ia kembali jatuh ke lubang kesendirian. Persis seperti ia pertama kali tinggal di apartemen ini.
'Sampai kapan kau mau mendiamkanku?'
*
Hong Kong City Hall
"Philia's Song" mengalun dengan tabuhan drum yang dapat memacu jantung pendengar. Nada intronya yang dramatis dipadu vokal paduan suara memberi kesan bold dan dramatis. Huang Haoren berdiri memainkan biolanya, berduet bersama sang konduktor—ayahnya. Gesekan bow-nya tajam dan cepat. Dipenuhi emosi tebal dan keras.
Ini adalah kali pertama ia berduet dengan sang ayah. Dan dengan lagu bernuansa dramatis ini menjadi sarana diam-diamnya untuk bisa merilis segala perasaan yang ia sembunyikan. Lewat gesekan-gesekan bow tajamnya, kecepatan tempo, juga interpretasi lagu yang ia bangun. Apalagi tentang kekesalannya belakangan ini. Alunan megah melingkupi ruang latihan seolah ini adalah konser sesungguhnya. Hingga duet biola berakhir diikuti instrumen-instumen musik yang lainnya.
"Bravo!" seru Huang Xiaoying puas. "Ini adalah penampilan terbaik lagu ini selama kita latihan. Tolong pertahankan sampai hari-H konser kita." Ia menoleh kearah anak semata wayangnya yang terengah-engah. Senyum tipis melengkung.
"Kerja bagus," ujarnya singkat.
Sementara semuanya sibuk membereskan alat-alat musik mereka, Huang Haoren masih setia di kursinya. Dengan lambat tangannya mengelap badan biola dan mengendurkan rambut kuda bow-nya. Desahan napas lelah, ia pelan melirik stand buku serta panggung kecil konduktor di tengah ruangan. Ia tahu ayahnya tadi memujinya untuk pertama kali. Tapi tak tahu mengapa, Huang Haoren tetap tidak senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLOWER FLAME (Complete) ✅
Ficción GeneralHuang Haoren--seorang violinis--dengan berat hati memutuskan untuk pulang ke Hong Kong setelah dirinya menyelesaikan kuliahnya. Meninggalkan Seoul, Korea Selatan, demi tanggung jawabnya sebagai seorang anak tunggal keluarga maestro musik terkenal. P...