Chapter 1. Coming Home

33 4 8
                                    

*

Kastil emas itu memanggilku untuk pulang.

Ia siap memenjarakanku dengan segala kesempurnaannya.

Melumatku dalam kegelapan.

Huang Haoren berdiri di depan pintu apartemen berwarna putih tulang bernomor 302. Di samping kanan-kiri kakinya teronggok dua koper besar, dan di satu punggungnya tersampir kotak biola. Senyap kembali menghampirinya secepat kilat. Seperti biasa. Hampir tidak pernah berubah. Hawa dingin imajiner selalu melingkupinya. Laki-laki itu mengambil napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan.

Banyak alasan yang dimiliki orang-orang untuk bepergian. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari kota A ke kota B atau negara A ke negara B. Jauh hingga menembus waktu berjam-jam, bermasa-masa, bertahun-tahun. Entah itu untuk urusan kerja, sekolah, berkunjung ke sanak-saudara atau sekadar untuk traveling dan refreshing. Dari sekian alasan, ada pula pilihan seperti pulang. Ya, pulang secara harfiah. Kembali ke rumah yang hangat dan bertemu dengan keluarga; ayah, ibu, kakak, adik. Berkumpul di ruang keluarga atau melingkar di meja makan.

Akan tetapi, pulang kali ini bukan pilihannya. Pulang yang dipercaya sebagai tujuan akhir yang akan membawa kelegaan tidak lagi ia rasakan.

Lebih tepatnya, pulang hanya akan semakin memenjaranya.

Tangannya mengambil kunci dari saku dan membuka pintu apartemennya. Gelap. Cenderung remang-remang. Ia mendorong koper-kopernya masuk. Matanya menyipit ketika ia menyeblak tirai jendela ruang tengah. Merasakan sinar matahari begitu terang menelusup masuk menyinari ruang tengahnya yang gelap. Pemandangan dalam apartemennya sudah mulai bisa ia tangkap. Sofa dan karpet lembut berwarna putih tulang, lemari kayu rendah berwarna kecokelatan, dengan televisi dan seperangkat DVD player, serta sepasang speaker di atasnya, dengan kabelnya masih tergulung menggantung di sisi lemari. Meja kecil di tengah, meja nakas di sudut ruang, meja-kursi makan di sisi dapur, serta pantry yang masih kosong.

Huang Haoren melepas jaket denim cokelat mudanya, lalu menjatuhkan dirinya ke sofa. Dia benar-benar kelelahan. Menyandarkan punggung ke sandaran sofa yang empuk dan menengadahkan kepalanya. Ia diam menatap langit-langit ruang tengah. Huang Haoren menerawang jauh.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Segera saja tangannya merogohnya. Tertulis di layar yang berkedip-kedip itu, siapa nama si penelepon. Ia pun menggeser layar ponsel dan menjawab teleponnya.

"Yeoboseyo? (halo?)" Serta-merta rentetan suara girang menusuk telinganya.

"AIYOOO ... SHIDI-A (junior), AKHIRNYA KAMU PULANG JUGA?? GEGE (kakak laki-laki) SANGAT MERINDUKANMUUU!"

Huang Haoren langsung menjauhkan ponselnya dari telinga. Suara ini .... Ia menghela napas panjang sebelum kembali menempelkan ponselnya ke telinga.

"Yongqin ge. Kau sama sekali tidak berubah walaupun sudah kutinggal ke Seoul selama empat tahun!" katanya seraya mendesis.

"Dan apa itu 'yeoboseyo'? Jangan lupa kau sudah mendarat di Hong Kong, adik kecilku." Huang Haoren menepuk jidatnya sambil mengulum belah bibirnya.

"Jangan membuatku jijik, Ge. Aku sudah 22 tahun!" Terkadang, seniornya ini memang minta untuk ditabok. Liu Yongqin terbahak di seberang telepon.

"Dua puluh dua tahun tetaplah adik kecil untukku," kekeuh-nya. "Ah, ingin sekali aku menemuimu di apartemen barumu, tapi aku masih harus mengurus beberapa hal di Hong Kong City Hall," tambah Liu Yongqin. "Selain latihan sebagai pianis utama di grup inti orkestra, aku juga harus siap sedia sebagai 'asisten' ayahmu untuk mengurus tentang persiapan latihan besar menuju tur konser Guangliang Philharmonic Orchestra."

FLOWER FLAME (Complete) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang