*
Satu-dua hari berlalu. Im Hyunbi sedikit menjaga jarak dari Huang Haoren, alih-alih ingin semuanya kembali seperti semula. Gadis itu tak lagi bermanja-manja, menggelayut seperti bayi, duduk bersisian atau menempel satu sama lain. Segala macam tindak-tanduk yang berpotensi keintiman, sebisa mungkin ia hindari.
Huang Haoren melihatnya aneh. Im Hyunbi mendadak terlihat kikuk dan canggung di waktu yang tak tepat. Jika tak sengaja berkontak dengan kulitnya, reaksinya agak berlebihan. Im Hyunbi tak pernah lagi mampir ke kamarnya. Gadis itu juga membawa payung sendiri ketika pergi keluar bersamanya. Im Hyunbi berjalan di sisinya sehasta. Huang Haoren jadi takut. Ia takut Im Hyunbi menjauhinya lagi ... yang kali ini benar-benar serius.
Mereka terpekur dalam diamnya masing-masing. Lekat-lekat Huang Haoren tatap gadis berambut sebahu yang menatap lurus ke depan itu. Ia mendapati butir-butir salju bersarang di rambut Im Hyunbi yang tak ternaungi payung dengan benar. Tangannya tergerak hendak membersihkan salju-salju itu.
Im Hyunbi merasakan sentuhan kecil di rambutnya. Entah kenapa, ada sensasi listrik menjalar ke tengkuknya. Refleks, ia menampik tangan Huang Haoren dengan panik. Membuat si pemilik tangan tercekat. Sejenak, ia tergemap menatap reaksi lelaki di hadapannya yang sedikit bingung. Ada kaget, kecewa dan getir terpatri di wajahnya.
Im Hyunbi berdehem. "A-aku bisa membersihkannya sendiri," katanya, berusaha mengembalikan atmosfer di sekitar mereka sambil mengusak-usak rambutnya. Huang Haoren rikuh dan kembali menghadap ke depan.
"Sorry," timpalnya singkat.
Im Hyunbi merasa bodoh. Ia menyesali perbuatannya barusan. Diam-diam ia mendesis pada dirinya sendiri.
'Kecanggungan ini benar-benar membunuhku!'
Im Hyunbi jadi serba salah. Usahanya menjaga jarak malah membuatnya dan Huang Haoren seperti sedang bermusuhan. Tidak. Ini hanya kesalahpahaman. Ia harus mencairkan suasana. Mau bagaimanapun, Huang Haoren adalah teman, sahabat terbaik dan tetangga sebelah apartemennya. Tak mungkin ia akan begini terus.
"Mmmm," Im Hyunbi ambil suara, "Mau beli ubi bakar?"
*
Im Hyunbi duduk di karpet ruang tengah. Kedua tangannya sibuk mengupas kulit ubi yang tadi ia beli, seraya menatap laptop di depannya. Televisi menyala, mempertontonkan sebuah acara reality show—hanya untuk didengarkan. Sesekali, dia akan ber-hehehe ria. Tangannya meraih segelas jus jeruk dan meminumnya dari sedotan.
Dari arah pantry, Huang Haoren memperhatikannya diam-diam. Ia memotong-motong ubinya dan mengupas kulitnya dan menaruhnya di piring. Ia kemudian menuang jus jeruk dari botol ke gelasnya sendiri dan membawanya bersama piring berisi ubi ke meja ruang tengah. Ikut bergabung duduk bersama Im Hyunbi.
Merasakan kedatangan Huang Haoren, Im Hyunbi berhenti mengekeh. Ia bergeser, memberi tempat untuk lelaki yang baru datang. Jarak itu membuat Huang Haoren tercenung sebelum duduk. Im Hyunbi cuek ketika sudah berhadapan dengan laptop. Tapi yang terjadi saat ini mencubit hatinya.
"Serius sekali. Apakah cerita Noona memang sedang masuk bab yang menegangkan?" tanya Huang Haoren memecah hening.
Im Hyunbi melirik singkat. "Oh? Yah, kurasa begitu. Naskahku harus dipoles lagi. Editorku sudah membaca draft pertamanya. Revisi membuat kepalaku ingin pecah hahaha," jawabnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Pesan dari Li Huan muncul di layarnya. Im Hyunbi membuka dan membacanya. Senyum kecil terpatri di bibirnya.
"Pesan dari siapa? Sampai senyum-senyum begitu."
"Li Huan." Beberapa detik kemudian, Im Hyunbi terkikik, terkekeh hingga terbahak. Ia tak menyadari ada sepasang mata yang menahan api cemburu.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLOWER FLAME (Complete) ✅
General FictionHuang Haoren--seorang violinis--dengan berat hati memutuskan untuk pulang ke Hong Kong setelah dirinya menyelesaikan kuliahnya. Meninggalkan Seoul, Korea Selatan, demi tanggung jawabnya sebagai seorang anak tunggal keluarga maestro musik terkenal. P...