*
As time passes by ...
Memories and people fell.
You'll have to learn to let it go.
*
Tahun Baru
Tak terasa, hari berganti hari, minggu-minggu berlalu bagai sekejap. Musim dingin sudah mencapai ujungnya, dan Tahun Baru tahu-tahu sudah menyapa. Gemerlap momen malam hitung mundur pergantian tahun seolah hanya angin lalu. Tak ada yang istimewa.
Huang Haoren berjalan menyusuri trotoar sambil menaungi dirinya sendiri dengan payung transparan. Sesekali, ia akan mendongakkan kepalanya. Menatap tetes-tetes gerimis yang turun, gedung-gedung menjulang atau langit mendung. Berbalut coat motif kotak-kotak abu-abu-hitam dan syal gelap, tubuhnya terlihat sedikit tenggelam. Kaki jenjangnya yang tertutup celana denim dan sepatu boot cokelat tua melangkah lambat. Satu tangannya dimasukkan ke saku coat.
Ia melihat orang-orang berlalu-lalang membalut tubuh mereka dengan jaket tebal dan syal berseliweran, membawa setia payung warna-warni ke manapun mereka pergi. Wajah mereka terlihat lebih cerah dan menyimpan banyak harapan di tahun yang baru ini, menuju musim semi. Huang Haoren tertegun setiap kali mendapati senyum-senyum itu. Diam-diam menatapnya lekat hingga orang-orang itu berlalu. Kiri dan kanan. Ia mendesah.
Selalu seperti ini.
Musim semi sebentar lagi tiba. Namun, Huang Haoren masih belum bisa menyunggingkan senyum yang layak. Adakalanya, ia merasa miris sendiri. Menyembunyikan wajahnya di balik payung, ia seolah menjadi manusia paling berbeda di antara yang lain. Netranya menatap sendu ke depan. Tak sengaja, lirikannya tertumbuk pada satu toko yang sering ia kunjungi di waktu-waktu ke belakang. Toko bunga Florista. Huang Haoren terpaku.
*
Huang Haoren langsung disambut berbagai macam bunga yang terpajang di seluruh penjuru toko ketika membuka pintu. Merah, kuning, ungu, putih, magenta, pink .... semerbak wangi yang samar bercampuran menyentuh indera penciumannya. Seketika, memori di toko ini pun berhamburan. Dari musim panas hingga akhir musim gugur, dari yang iseng hingga jadi rutinitas, dari amarilis putih dan bunga matahari ... hingga mawar merah. Huang Haoren terpaku di ambang pintu.
"Oh! Tuan Huang Haoren? Benar, kan?" Panggilan si penjaga toko membuyarkan momennya. Huang Haoren terkesiap. Senyum ia sunggingkan dengan canggung. "Sudah lama Anda tidak kemari...." Melihat lelaki berambut cokelat madu dengan celemek kebun garis-garis itu menghampirinya sambil tersenyum cerah membuatnya tertegun.
"Ya ... sudah lama, ya," jawabnya.
"Sebentar lagi musim semi. Saya sudah memesan stok berbagai macam bunga."
Huang Haoren tersenyum kecil. "Bukankah yang di sini juga sudah lengkap?"
"Aah ... ini masih belum. Stok kami belum termasuk bunga matahari, amarilis, hydrangea, peony...."
Ocehan si penjaga toko itu makin lama makin kabur di telinga Huang Haoren. Masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Ia tak begitu mendengarkan. Kata yang ia tangkap hanyalah bunga matahari dan amarilis. Langsung meresap ke dadanya dan menumbuhkan bibit kerinduan sekali lagi, merambat dengan cepat. Diam-diam, ia menunduk.
"Kalau begitu, saya mau berkeliling dulu." Huang Haoren tak ingin lama-lama bersisian dengan lelaki itu. Ia tahu, pengelihatan si penjaga toko ini sangat tajam. Ia tak ingin kondisinya dibaca olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLOWER FLAME (Complete) ✅
Aktuelle LiteraturHuang Haoren--seorang violinis--dengan berat hati memutuskan untuk pulang ke Hong Kong setelah dirinya menyelesaikan kuliahnya. Meninggalkan Seoul, Korea Selatan, demi tanggung jawabnya sebagai seorang anak tunggal keluarga maestro musik terkenal. P...