Chapter 17. Winter Hesitation

5 2 4
                                    

*

Im Hyunbi tersentak bangun dari tidurnya. Ia tergegap dan napasnya memburu. Dadanya kembang-kempis. Dia merasa seperti nyaris ditenggelamkan secara paksa ke sebuah perairan yang dalam. Dan sebelum dia mati kehabisan napas, ia berhasil lolos dan menyentuh permukaan. Mulutnya terbuka, mengais-ngais udara agar paru-parunya kembali terisi.

'Apakah ini mimpi? Tapi ... mengapa rasanya begitu nyata?'

Ia tercetik ketika merasa kepalanya sakit dan telinganya berdengung. Refleks, tangannya menangkup dahi dan menekannya erat hingga rasa sakit itu menghilang beberapa detik kemudian. Mata sayunya menyipit, berusaha mengadaptasikan keadaan sekeliling. Ini kamarnya. Ini selimut birunya. Itu tembok putih kamarnya. Oh, itu lemari dan cerminnya ....

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Memunculkan sosok yang sangat familiar dengan nampan di tangan. Sosok itu terenyak sebentar menatapnya dari ambang pintu. "Noona? Kau sudah bangun?" Suara familiar itu terdengar lembut di telinganya.

"Renren-ah...."

Huang Haoren meletakkan nampan berisi semangkuk bubur dan segelas susu di atas meja dan beringsut duduk di pinggir tempat tidur. "Sudah baikan? Wajahmu pucat, Noona," katanya seraya menyeka anak-anak rambut Im Hyunbi yang berantakan. Merasakan sensasi penuh perhatian menyambutnya, Im Hyunbi ingin terus jadi lemah. Ia menjatuhkan dahinya di atas bahu Huang Haoren hingga si empunya sedikit terkesiap. Im Hyunbi hanya diam.

"Ada apa? Mimpi buruk?" Huang Haoren merasakan kepala Im Hyunbi mengangguk kecil. "Semalam Noona pingsan."

Im Hyunbi mengangkat kepala. "Pingsan?"

"Noona tak ingat apa-apa?"

Im Hyunbi pelan menggeleng. "Kepalaku pusing sekali. Kau tahu? Rasanya seperti melayang-layang ... mabuk ... tahu-tahu tak sadarkan diri."

"Noona bicara apa." Huang Haoren terkekeh gagu. "Istirahatlah. Jangan memaksakan diri. Aku akan menemanimu."

"Bukankah kau harus keluar lagi? Kau ada jadwal latihan siang ini, kan? Aku tahu jadwal latihan dan konsermu di musim dingin ini sangat padat." Huang Haoren terdiam. Menatap Im Hyunbinya berat hati. "Ck! Aiyooo ... pergilah. Aku tahu jelas kau bukan orang yang akan menelantarkan jadwalmu cuma gara-gara aku. Tidak masuk akal." Im Hyunbi tertawa. Huang Haoren tercenung.

'Tidak masuk akal...? Jangankan jadwal berlatih. Bahkan konser sekalipun aku bisa meninggalkannya hanya demi dirimu.'

"Aniya (tidak), aku ingin menemanimu," katanya pungkas. 'Aku tidak ingin kejadian kemarin terulang ... sekaligus aku ingin membayar segala kesalahanku.'

Im Hyunbi menengadah. Sedetik kemudian, sebuah senyum lembut ia lemparkan, lalu mengangguk. "Arra (aku tahu)."

Percakapan ringan itu menjadi pungkasan pagi ini. Dan Huang Haoren tak meninggalkan kamar Im Hyunbi bahkan sedetik pun.

*

Musim Dingin

Berbalut jaket putih tebal dan slayer abu-abu, Huang Haoren menyusuri jalan trotoar berkonblok merah bata. Kedua tangannya yang memucat ia masukkan ke saku jaket. Ia mendesahkan napas hingga mengepul. Sebuah lagu mengalun lembut memalui earphone.

Tak terasa, musim dingin akhirnya tiba. Suhu udara kini jatuh di angka 0 derajat celcious. Atmosfer berubah abu-abu dan membiru. Di sisi kanan-kirinya beberapa orang berlalu-lalang dengan langkah lebih cepat darinya. Kebanyakan dari mereka menundukkan kepala atau sekadar sibuk dengan ponselnya. Raut wajah mereka terlihat malas dan tak bersemangat. Sesekali dari mereka terlihat menggerutu sambil menggigil. Sesaat, Huang Haoren menatap heran.

FLOWER FLAME (Complete) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang