*
Hong He dan Han Seojin mengemut sumpitnya. Mata mereka tak henti-hentinya menatap Im Hyunbi yang sedari tadi hanya memainkan nasinya di mangkuk, mencacah-cacahnya dengan sumpit sambil melamun.
"Hei, jangan dicacah-cacah seperti itu. Makanlah dengan benar." Suara Hong He memecah lamunan Im Hyunbi. Ia menghela napas dan mengangguk kecil. Han Seojin mengambilkan sepotong daging dari panggangan dan menaruhnya di atas nasinya.
"Aku tahu akhir-akhir ini perasaanmu sedang tidak menentu, tapi makanlah yang benar. Nanti kau kurus."
Im Hyunbi mengangkat ujung bibirnya kecil. "Bukankah malah bagus jika aku kurus?"
"Aiya ... sekarang bukan waktunya untuk memikirkan diet!" timpal Hong He.
Setelah mendengar kabar dari Li Huan kalau Im Hyunbi hengkang dari apartemen, Hong He dan Han Seojin khawatir dan cemas. Mereka berempat memutuskan untuk bertemu. Bagaimanapun juga, kejadian ini sungguh tiba-tiba.
"Kenapa kau kabur dari apartemen? Sampai membawa semua baju-bajumu," tembak Han Seojin. "Kau bertengkar dengan Huang Haoren? Again?" Mendengar pertanyaan itu, Hong He dan Li Huan panik. Bahkan Hong He sampai menyikut lengan Han Seojin. Gadis berambut highlight merah muda itu hanya mendesis 'wae?' sebagai protesnya.
"Kalau sudah tahu, kenapa masih bertanya?" timpal Im Hyunbi datar. Ia menyomot daging yang diberikan di atas nasinya. Hong He memejamkan matanya rapat. Sementara Li Huan hanya menghela napas. Apakah begini tipikal orang Korea yang sudah saling dekat? Blak-blakan sekali.
"Aku mengerti. Tapi, kuharap jangan terlalu kaubawa sampai hati. Aku mengerti kau kecewa. Akan tetapi ... mungkin Huang Haoren punya alasan tersendiri." Kedua netra Im Hyunbi melirik. Tangannya kini sibuk memasok nasi ke mulutnya. 'Tidak Seojin-ah. Kau tidak tahu apa-apa.'
Li Huan memajukan tubuhnya dan berdeham. "Mungkin, jika kau mau bercerita, kami bisa jadi pendengar yang baik untukmu. Kau mengenal kami dengan baik, kan?" Im Hyunbi melunak. Tangannya melambat memasukkan makanan ke mulutnya. Wajahnya perlahan berubah sendu.
"Kau sudah seperti ini berhari-hari. Kami tidak mau kau seperti ." Kini Hong He ikut menimpali.
Im Hyunbi tergemap. '... seperti saat pertama kali sampai di Hong Kong'. Yah. Dua temannya ini begitu peduli padanya, lebih dari siapapun. Ia ingat saat-saat itu. Saat perasaannya begitu berantakan sesampainya di rumah Li Huan, awal musim dingin tahun lalu. Dan sejujurnya, ia juga sangat membutuhkan orang untuk berbagi beban abstrak yang mengganggu pikiran dan batinnya. Bolehkah ia bercerita?
"Sudah kukatakan kemarin, kan? Huang Haoren mengaku bahwa dia menyukaiku—tidak—lebih dari itu. Dia mencintaiku." Mereka semua mendengarkan. "Aku tak tahu harus berbuat apa, karena ...." ucapan Im Hyunbi menggantung, nada bicaranya berubah sedikit geram. "Kau tahu? Perasaan ini seperti magnet. Tiba-tiba saja aku ditariknya begitu saja. Licik. Seperti memantra-mantraiku. Menyedotku dalam ilusi. Dia telah melukai kepercayaanku. Perasaan ini racun!" ujar Im Hyunbi penuh penekanan. "Cinta, dan segala bentuknya." Im Hyunbi melirih. "Percintaan .... Bukan ini yang kuinginkan."
Han Seojin dan Hong He saling melirik. Hong He berdeham. "Lalu ... bagaimana dengan perasaanmu sendiri?"
Im Hyunbi menengadah. Pertanyaan ini terdengar sulit baginya. Wajahnya perlahan berubah kalut. Potongan-potongan memori manis itu berhamburan lagi. "Aku tak tahu ...." Ia tak bisa menjawabnya. "Aku tak mengerti apa yang kurasakan. Semuanya membuatku bingung ...,"
'... dan takut. Sangat takut.'
'Cinta dan segala sesuatunya terasa begitu menyeramkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLOWER FLAME (Complete) ✅
General FictionHuang Haoren--seorang violinis--dengan berat hati memutuskan untuk pulang ke Hong Kong setelah dirinya menyelesaikan kuliahnya. Meninggalkan Seoul, Korea Selatan, demi tanggung jawabnya sebagai seorang anak tunggal keluarga maestro musik terkenal. P...