Chapter 4. Twilight Doesn't Last Forever

5 2 5
                                    

*

Menyusuri jalanan trotoar Wan Chai dengan deretan pertokoan nan padat pejalan kaki dan gedung-gedung tinggi di siang hari, Im Hyunbi merasa masih belum masuk seutuhnya ke jantung kota ini. Pandangannya yang senantiasa melebar penuh rasa penasaran menjarahi pemandangan di sekitarnya ternyata masih belum cukup untuk menangkap estetika Hong Kong. Sesekali tangannya akan mengarahkan kamera poket untuk mengambil foto gedung-gedung tua yang tersembunyi di balik bangunan modern, jalan setapak yang trotoarnya pecah, gang-gang kecil, atau gedung-gedung tinggi yang membuat kepalanya menengadah maksimal hingga lehernya sakit.

Tak terasa, setelah bergonta-ganti tram, langkahnya menuntunnya ke Victoria Park. Taman legendaris Hong Kong, yang katanya jadi tempat favorit para pekerja migran dari berbagai negara untuk berkumpul dan bersantai di akhir pekan.

Dalam waktu dua bulan ini, Im Hyunbi mempelajari banyak hal tentang tempat-tempat yang menjadi trendmark Hong Kong, terutama Victoria Park. Victoria Park di akhir musim semi masih semarak. Berbagai macam bunga mekar secara terawat. Mulai dari bunga aster, lily, anggrek, bunga matahari, mawar, hingga bunga prem. Orang-orang berlalu-lalang menghabiskan waktu bersantai dan melepas penat. Im Hyunbi menurunkan kameranya dan mendesah. Langkahnya terhenti. Ia menengadah, menatap patung Ratu Victoria yang baru saja ia potret-yang menjadi penanda agung taman ini.

Perlahan, punggungnya mengendur. Di taman yang luas ini, ia menyadari satu hal. Dia hanya orang asing yang melemparkan diri ke negeri asing. Sendirian. Tanpa tujuan yang pasti. Namun, keinginannya untuk pergi dari Seoul sangat kuat. Setiap kali kepalanya mengingat hal itu, rasa sakit yang ingin ia lupakan selalu mencubit dadanya lagi dan lagi.

Dalam kamusnya saat ini, dia tidak mengenal kata 'pulang'. Yang ia temui ketika terus mencari kata itu di kepalanya hanyalah kata 'pergi'. Im Hyunbi membenarkan tas selempangnya dan melangkah di jalan setapak yang melingkari taman. Sepatu wedges-nya menapak nyaris tak terasa. Ia menghembuskan napas berat. Kepalanya yang tadi terus menunduk kini menengadah, menekuri pemandangan musim semi taman ini di sore hari. Samar-samar, terlihat kelopak bunga merah muda beterbangan dari sebuah pohon persik di sisi jalan. Tertiup angin, berpadu dengan langit yang mulai merona jingga. Rambut panjang yang diurainya bergerak-gerak lembut.

Im Hyunbi memilih untuk mencari bangku taman di bawah pohon, dekat stan-stan makanan. Tangannya membersihkan bangku dan merapikan rok putih selutut bermotif bunga-bunga kecil biru dan memposisikan duduknya senyaman mungkin. Tatapannya memperhatikan anak-anak yang sedang asyik bermain ayunan dan beberapa ibu yang sedang bergosip seru di bangku taman seberang. Percakapan berbahasa Kanton terdengar tipis-tipis. Im Hyunbi tak begitu mengerti. Ada kerumunan pria lansia sedang serius memperhatikan pergulatan catur dari dua orang di tengah-tengah. Atau sekelompok komunitas Tai Chi sedang berlatih di area rumput. Im Hyunbi memasukkan kameranya dan mengeluarkan buku notes kecil. Notes yang biasa ia gunakan untuk mencatat ide. Sambil mengobservasi sekeliling, tiba-tiba kedua netranya tertumbuk pada sepasang ayah dan anak tepat di depannya. Sang ayah sedang mengajari anak perempuannya bermain sepatu roda. Ia mengalihkan sedikit pandangannya ke kiri dan mendapati seorang wanita-yang sepertinya adalah sang ibu dari anak tersebut-sedang mendorong kereta bayi. Betapa bahagianya keluarga itu .... Seketika, ia tersedot oleh pikirannya. Kejadian di musim panas tahun lalu membuatnya berantakan. Bahkan hingga memblokade otaknya untuk menulis.

Mendadak, ponselnya bergetar. Im Hyunbi merogoh saku roknya dan melihat layar ponselnya. Satu nama beserta pop up teks pesan singkat tertera di sana.

Eomma

Jal jinaeseo? (Kau baik-baik saja?) Apakah liburanmu menyenangkan? Ini sudah lewat dari dua bulan. Tidakkah kau ingin pulang ke Seoul?

FLOWER FLAME (Complete) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang