*
Liu Yongqin menyodorkan cokelat panas yang masih hangat untuk meredakan gemuruh yang masih tersisa di dada Huang Haoren. Anak laki-laki berponi itu hanya meneguknya sekali-dua kali dalam diam. Liu Yongqin hanya melingkarkan lengannya, menjaga junior kesayangannya itu. Huang Haoren terdiam, menatap lurus ke perapian dengan tatapan kuyu dan sembab.
"Aku takut ..." gumamnya, setengah mencicit.
Liu Yongqin menoleh. "Hmm?"
"Aku takut, Ge ..." katanya. "Aku takut...."
Liu Yongqin tertegun. "Apa yang kau takutkan?"
"Aku merasa bukan diriku sendiri, Ge," keluhnya. "Selama ini, aku hanya mengikuti arus yang mau tak mau harus kuikuti ... tanpa bisa memilih apapun."
"Hei, apa yang kau bicarakan ...?"
"Aku takut dengan orang-orang. Setiap aku keluar, aku merasa seperti ditatap dengan tajam. Mata mereka penuh penghakiman dan terlihat selalu menyalahkanku. Mereka membicarakanku, berbisik-bisik di depanku ...." Ia terdiam sejenak. "Tekanan dari mana-mana menyudutkanku. Aku kesepian ...."
"Tenang. Ambil napas dan buang perlahan. Yang kau takutkan itu tidak nyata. Aku ada di sini bersamamu. Kau tidak sendirian ...."
"Selalu begini ...." Tangan Huang Haoren mulai meremas-remas selimut yang menyelimutinya. "Kenapa aku selalu jadi orang kesekian di mata orang lain, bahkan jadi yang ditinggalkan? Mama, Papa, Im Hyunbi Noona ..." Huang Haoren menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. "Apa aku tak layak dipertahankan?"
Liu Yongqin merangsek. "Siapa yang berpikir kau tak layak? Berhenti meragukan diri sendiri." Ia mendekatkan wajahnya. "Kau selalu dicintai dan disayangi banyak pihak ..." Liu Yongqin menjeda. "Termasuk aku. Kau sudah seperti adik kandungku sendiri. Kau tahu itu."
Huang Haoren tercenung. Perlahan kepalanya mendongak, memandang sendu wajah senior kesayangannya yang menatapnya lembut. Perlahan ia makin merapatkan jarak. Menempel dan memposisikan kepalanya nyaman di pundak Liu Yongqin. Seperti adik kecil yang meminta perlindungan dan kehangatan dari kakaknya.
"Kenapa kita hidup dalam obsesi pada kebahagiaan dan hal-hal positif? Di mana emosi negatif dilarang dan semua orang dituntut mempunyai pencapaian tinggi?"
Liu Yongqin menatap sendu derak api di perapian. "Ironisnya begitu. Inilah hidup. Kadang kita harus menyembunyikan apa yang kita rasakan di balik topeng."
Huang Haoren kembali merasakan pipinya memanas. "Aku lelah harus terus berpura-pura."
Liu Yongqin paham. Sangat paham. Sebenarnya, Huang Haoren tak sekuat itu. Ada masa-masa di mana ia putus asa dan menangis diam-diam. Ia juga membutuhkan sandaran ... yang selama ini hanya diperlihatkan padanya. Huang Haoren yang asli hanyalah sosok ringkih yang bersembunyi di balik baju besi; gila kendali, hingga terlihat keras kepala.
"Tak usah berpura-pura. Jangan dipaksa jika kau sudah tak kuat. Jujur saja pada apa yang kau rasakan. Kau ingin menangis, menangis saja. Kau ingin berteriak, berteriaklah. Sampai kau lega. Kalau kau lelah, maka tidurlah. Kau memerlukan seseorang untuk menemanimu? Hubungi saja aku." Liu Yongqin merasakan kain bajunya basah. Huang Haoren menangis lagi dalam diam.
Malam ini terasa sangat panjang. Lama sekali rasanya Huang Haoren tak menikmati malam-malam syahdu seperti ini. Hening dan sepi. Terasa nyaman dan tentram. Saat jiwanya yang lelah menemukan satu peraduan, di mana ia akhirnya dipahami.
"Yongqin ge."
"Hm?"
Huang Haoren mendongak. "Kau sudah mengalami banyak hal lebih dulu dariku. Kau pasti lebih tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
FLOWER FLAME (Complete) ✅
Fiksi UmumHuang Haoren--seorang violinis--dengan berat hati memutuskan untuk pulang ke Hong Kong setelah dirinya menyelesaikan kuliahnya. Meninggalkan Seoul, Korea Selatan, demi tanggung jawabnya sebagai seorang anak tunggal keluarga maestro musik terkenal. P...