*
Seekelilingnya hitam pekat. Hanya ada dirinya seorang dan sebuah grand piano yang tersorot cahaya di hadapannya. Huang Haoren sedikit bergidik. Atmosfer ruangan antah berantah ini sedikit horor. Ia bahkan mendapati tuts-tuts piano itu menekan dengan sendirinya, tapi tak berbunyi.
"Kau lihat?" Sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan. Huang Haoren tersentak. Kedua matanya gelisah menatap sekitar. Kosong tak ada sesiapa.
"Sudah kau sadari apa kesalahanmu?" Suara itu terdengar lagi.
"P-Pa? Itu kau?" tanyanya kebingungan.
"." Suara itu kembali menggema, seolah tak mengacuhkan pertanyaan Huang Haoren. "Kau tak boleh mengecewakanku." Huang Haoren membeku.
"Jika kau lemah, kau akan mati. Jika kau ingin 'mati' ..." Kalimat itu menggantung. "... 'mati'lah di jalan yang kini kautempuh dengan terhormat!"
Huang Haoren tersentak membuka kedua matanya. Paru-parunya mengais-ngais udara di sekitarnya. Ia bisa merasakan keringat dingin berleleran di pelipisnya. Mimpi apa itu tadi? Seperti terperangkap, diikat rantai begitu kencang, sehingga ia benar-benar tak bisa bergerak. Yang ia rasakan hanya sesak. Lelaki itu mendudukkan tubuhnya dan mengusap dahinya, menyingkap poninya yang sedikit basah. Ia menelan ludah di sela-selanya mengambil napas. Namun, rasanya seperti menelan batu.
Tiba-tiba ponselnya bergetar di sisi meja. Huang Haoren menoleh dan meraih benda berisik itu. pesan singkat dari Liu Yongqin berjubelan di notifikasi ponselnya. Begitu juga panggilan yang tak terangkat. Matanya yang masih malas untuk berkonsentrasi dipaksanya untuk fokus, membuka pesan-pesan itu seksama. Huang Haoren terbelalak lebar. Dilihatnya jam di layar ponselnya. Seketika itu ia panik.
"Shit!" desisnya. Serta-merta ia bergegas bangun menuju kamar mandi.'Bagaimana bisa aku lupa jadwal konser hari ini?!'
Setelah selesai mencuci muka dan menggosok giginya, ia menyambar tas setelan seragam orkestranya yang tergantung di lemari. Ia menyisir rambut seadanya, memungut tas biola, dompet dan ponselnya, kemudian segera berlari menuju pintu. Tanpa pikir Panjang, kakinya masuk ke sepasang sepatu kets hitam terdekat yang bisa ia raih. Segera tangannya menyambar parka, membuka pintu, menguncinya dan berlari sekencang-kencangnya.
"Aish, shibal! (ah, sialan!)" rutuknya di sela-sela larinya. Lebih mudah mengumpat dengan bahasa Korea daripada bahasa Mandarin. Huang Haoren memencet-mencet tombol lift dengan gusar. Sekonyong-konyong ia masuk lift itu ketika pintunya terbuka.
*
Liu Yongqin gelisah di depan pintu ruang ganti. Seluruh musisi orkestra mulai memasuki panggung konser dengan pakaian seragam orkestra serba hitam—para musisi wanita memakai gaun hitam sederhana dan para musisi pria mengenakan jas tuksedo. Beberapa kali ia menelepon nomor Huang Haoren, tapi tak kunjung diangkat. Kedua alisnya menyatu dan rasa cemas merasukinya.
"Ada apa dengannya? Kenapa belum datang juga? Tidak mungkin dia lupa bahwa dia ke Makau untuk tur konser, kan?" gumamnya geregetan. Baru saja Liu Yongqin mengalihkan pandangan dari ponselnya, peredarannya mendapati sosok laki-laki lebih muda tergopoh-gopoh menyusuri koridor sambil berlari. Liu Yongqin membolakan matanya dan menghampirinya.
"Huang Haoren! Kenapa kau baru datang—?"
"Kumohon, Ge." Huang Haoren meminta, "Tak ada waktu untuk menjelaskannya sekarang. Ya? Please ...."
Liu Yongqin menatap Huang Haoren yang kini masuk ke ruang ganti. Panik terpatri jelas di wajah juniornya. Baru kali ini ia mendapati lelaki muda itu terlihat kacau. Mau tak mau, kini gilirannya masuk ke panggung dan menempati bangku piano. Hingga Huang Xiaoying masuk, ia belum melihat batang hidung Huang Haoren. Semua pemain memberi salam atas aba-aba sang konduktor—bukan dari master konser. Liu Yongqin memejamkan matanya rapat-rapat penuh kepasrahan. Aturan orkestra tetaplah aturan. Pemain yang terlambat akan ditinggalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLOWER FLAME (Complete) ✅
General FictionHuang Haoren--seorang violinis--dengan berat hati memutuskan untuk pulang ke Hong Kong setelah dirinya menyelesaikan kuliahnya. Meninggalkan Seoul, Korea Selatan, demi tanggung jawabnya sebagai seorang anak tunggal keluarga maestro musik terkenal. P...