*
Sore ini salju tidak turun. Langit kemerahan sedang indah-indahnya. Tak seperti biasanya, langit sering berubah kelabu. Rasanya lama Huang Haoren tak menikmati suasana sore di luar, meski sekarang begitu dingin dan beku. Demi menyegarkan paru-parunya yang engap.
Huang Haoren mengerjap melihat ada anak-anak kecil berlarian di sekitar halaman tengah gedung apartemen, bermain salju. Mereka terlihat bersenang-senang dengan polosnya. Bermain salju, membuat boneka atau perang bola salju. Lamat-lamat Huang Haoren memperhatikan anak-anak itu lembut dari bangku di bawah pohon begonia yang mulai dipenuhi kuncup-kuncup bunga kemerahan.
Melihat anak-anak kecil itu membuatnya mengembangkan senyum tipis. Sayup tawa riang terjaring mulus oleh gendang telinganya seperti cicit burung di pagi hari. Tubuh mereka yang kecil dan tenggelam dalam jaket musim dingin yang tebal membuat mereka terlihat seperti pinguin. Tingkah anak-anak itu berhasil menghangatkan hati Huang Haoren yang beku, meski hanya sebatas suam-suam kuku.
PLOP!
Huang Haoren terkesiap. Satu bola salju mendarat tepat di pangkuannya dan mengotori celananya. Atensi anak-anak itu seketika terarah padanya takut-takut. Mereka saling menyikut dan menyalahkan satu sama lain sambil bisik-bisik. Tiba-tiba, salah satu dari mereka menghampiri Huang Haoren. Seorang anak perempuan berjaket merah muda dan bertopi rajut. Dia dengan polosnya mendekat. Huang Haoren tergemap mendapati sosok mungil itu di hadapannya.
"Gege, Duìbùqǐ ... (kak, maafkan aku ...)" Huang Haoren tertegun dan menegakkan kepalanya. Mata anak kecil itu bulat penuh pendar. Pipi tembemnya tersapu rona merah yang bisa membuat siapapun gemas. Bibirnya maju merajuk lucu. Huang Haoren tak bisa menahan senyumnya.
"Tidak apa-apa ..." katanya halus.
"Tidak sakit?"
Kedua alis Huang Haoren naik. Ia menatap mata bulat nan polos anak itu menyiratkan kekhawatiran. Membuatnya tergelak kecil. "Tidak. Tidak sakit...."
"Kalau sakit, bilang padaku, ya. Nanti biar kuobati," kata gadis kecil itu. Senyum di bibir Huang Haoren pudar perlahan. Perkataan gadis kecil berjaket merah muda itu sangat lugu. Ia bisa melihat ketulusan dari nada bicaranya. Huang Haoren tersenyum tipis.
Huang Haoren menengadah. "Okay ..." jawabnya. "Pergilah bermain lagi. Hati-hati jangan berlarian. Nanti tersandung. Konbloknya licin." Gadis kecil itu tersenyum lebar dan mengangguk cepat, lalu kembali bergabung bersama teman-temannya lagi. Berseru riang dan kembali bergumul dengan salju.
Kedua netra Huang Haoren menatap sayu gadis kecil itu menjauh. Sementara ia kembali terpekur sepi. Pikirannya melayang dan mulai ia berandai-andai. Seandainya ia masih anak kecil ...
... ia tak harus menanggung rasa sakit ini begitu lama.
Tapi karena aku bukan lagi anak kecil,
Luka itu terus menggerus lebih dalam.
"Oh? Xiǎo Haoren?" Kepalanya menoleh ketika sebuah suara memanggil namanya ramah. Lelaki Huang itu pun berbalik dan segera mendapati seorang kakek-kakek menghampirinya. Kakek tetangga sebelah kiri apartemennya yang tinggal berdua dengan istrinya. Dia selalu ramah padanya dan Im Hyunbi. Mereka sudah dianggap seperti cucunya sendiri.
"Yéyé? (kakek?)" Huang Haoren mengusahakan senyum manis terulas di bibirnya.
"Aiyooo ... ke mana saja kau, Nak? Aku jarang sekali melihatmu," tanya si kakek dengan nadanya yang khas.
"Tidak apa-apa. Saya sedang nyaman di dalam apartemen saja," jawab Huang Haoren sopan. Ia merasakan lengan ringkih kakek itu meraih kedua lengannya dan meremat-remat, seolah mengalirkan kenyamanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLOWER FLAME (Complete) ✅
General FictionHuang Haoren--seorang violinis--dengan berat hati memutuskan untuk pulang ke Hong Kong setelah dirinya menyelesaikan kuliahnya. Meninggalkan Seoul, Korea Selatan, demi tanggung jawabnya sebagai seorang anak tunggal keluarga maestro musik terkenal. P...