Yuk ramein
***
3 Kasmaran Paling Depan
Ketika Mayang kembali ke kamar sekitar pukul delapan malam harinya, dia melihat sosok kakak semata wayangnya, Kinara Kemuning sedang duduk di lantai depan kasur. Wajahnya tampak termenung dan di bawah kakinya yang kini terlipat, ponsel milik wanita itu sedang menyala.
“Masih mikirin yang tadi?” tanya Mayang dengan suara pelan. Dia berjalan ke arah lemari pakaian dan mengambil sebuah baju kaos berwarna kuning terang lalu dia melempar handuk yang saat ini membalut tubuhnya ke atas permukaan tempat tidur dan dia dengan santai memakai baju di sana, tanpa mengenakan pakaian dalam yang sebetulnya bakal membuat kayak perempuannya mengoceh.
“Gerah tauk.” adalah balasan Mayang bila Kinara terlalu banyak mengoceh dan dia juga akan melanjutkan ocehannya dengan sengit, “Tapi, susu lo bakal ngondoy. Kendor.”
“Kayak punya lo kagak kendor aja.” Mayang menyerang balik. Kinara yang mulanya hendak membalas, memilih memandangi layar ponsel miliknya yang kembali menyala karena sebuah pesan baru.
Mau mampir ke tempat ibuk? Acara Bu Reva bakal ramai.
Bu Reva alias Nyonya Reva. Entah kenapa, wanita itu meminta Kinara melakukannya. Padahal, dia dulu juga memanggilnya ibu, sama seperti yang dilakukan oleh ibunya.
“Jangan sampai mulut lancang kamu berani memanggil aku ibu. Di rumah ini aku adalah nyonya.”
Kinara bergidik dan segera menepuk dadanya dengan tangan kanan, berusaha mengenyahkan perasaan tidak enak yang melanda. Gara-gara itu juga, Mayang yang baru selesai mengoles body lotion melirik ke arahnya dengan wajah khawatir, “Kenapa lagi? Ada yang sakit?”
“Nggak.” Kinara menggeleng, lalu menjawab lagi, “Ibu nyuruh ke rumah Nyonya.”
Mayang yang mendengar kata-kata itu mendadak diam selama beberapa saat dan dia memutuskan untuk memberi pendapat kepada saudarinya, “Anaknya aja selalu berhasil bikin lo jantungan tiap ketemu, apalagi emaknya. Sudahlah, nggak usah datang. Nggak ingat kalau tadi lo sampai kepleset di tangga?”
Bagaimana Kinara bisa lupa insiden sore tadi? Sintya memang tidak tahu kalau dia dan Mayang adalah saudara sehingga menyangka kalau kedatangan Kinara ke toko adalah untuk membeli bunga juga. Kenyataannya, dia juga tinggal di tempat itu dan yang paling terkejut adalah Baskara yang tahu-tahu saja mendekat dan mencengkeram lengan kanan Kinara lalu bicara dengan tatapan mata melotot seolah-olah hendak meloncat keluar dari cangkangnya.
“Kenapa kamu blokir IG-ku?”
Sumpah, mengingatnya kembali membuat Kinara merasa dia bisa kencing di celana saat itu juga. Dia amat ngeri membayangkan betapa seram dan mengerikan raut wajah si bungsu dari keluarga Dierja itu dan tanpa pikir panjang, setelah melepaskan tangan Baskara dan berteriak, “HP saya dibajak, Pak.” dia lari ketakutan ke lantai dua dan di situlah dia terpeleset dengan bibir hampir menghantam ujung keramik yang membuat semua orang langsung panik.
“Nggak. Saya nggak apa-apa …” Kinara cepat-cepat bangkit lalu kabur ke kamar Mayang dan dia baru berani bergerak setelah adiknya memberitahu kalau pasangan itu telah pergi.
Kini, ibu juga memintanya datang dan mau tidak mau, jantung wanita muda itu berdetak amat cepat. Satu-satunya orang di keluarga mereka yang masiih setia dengan keluarga Dierja, selain dirinya adalah sang ibu. Tapi, Kinara bukan berniat seperti itu. Dia tidak punya pilihan. Keluarganya masih butuh biaya walau bapak adalah penentang paling keras.
“Aku masih sanggup menghidupi kalian.”
Perasaan Kinara segera saja berubah menjadi sangat tidak enak dan serta-merta dia merasa perutnya mulas. Apalagi, sebelum ibunya mengirim pesan, sebuah pesan lain telah datang lebih dulu dan mengabarkan kondisi sang ayah.
Masih batuk dan demam, tapi, nggak mau dengar waktu disuruh istirahat.
“Ibuk tuh …” Mayang mulai mengoceh. Dia sudah ambil posisi duduk di atas kasur, padahal Kinara masih duduk di lantai, “Dia udah tahu jahatnya keluarga itu, tapi masih aja setia. Lo juga, masih ngarep si Baskara itu kayak orang dongok. Lo tahu betul dia bahkan nggak ingat yang ter …”
“Stop. Nggak usah dilanjutin lagi. Kepala gue pusing dan Bapak sakit.” Kinara mengusap pelipis dan suara Mayang yang tahu-tahu telah berada di dekatnya, nyaris membuat dia sakit kepala, “Bapak sakit? Si Kafka yang bilang?”
“Mudik, yuk.” Mayang memberi ide tanpa mendengar balasan Kinara atau meminta persetujuan kakak perempuannya itu, “Gue udah dua bulan nggak balik. Lo juga, nggak kangen Kafka?”
Dasar Mayang. Memangnya dia perlu menyebutkan betapa dia rindu bapak dan Kafka kalau dirinya juga sama seperti wanita itu, belum mengunjungi rumah ayahnya padahal sudah lewat dua bulan yang sebenarnya terasa bagai berbulan-bulan. Tapi, izin cuti membuatnya bakal berurusan lagi dengan Umar dan dia enggan sekali harus sering-sering bertemu pria cerewet itu dan membayangkannya saja dia ogah.
“Cari tanggal yang ada merahnya, gue males diomelin si Umar lagi.” Kinara menghela napas dan pada akhirnya memilih untuk bangkit. Jarang-jarang mereka berdua bisa tidur cepat seperti saat ini dan Kinara bersyukur Mayang tidak mengungkit-ungkin tentang Baskara atau pesta di rumah keluarganya, pesta yang juga bakal didatangi Sintya setelah tadi Kinara melihat wanita itu memborong buket bunga yang paling besar dan paling bagus.
“Si Sintya tadi beli buket pake duit dia sendiri.” Mayang mengoceh sebelum Kinara merebahkan tubuh dan si sulung itu mengeluh di dalam hati karena bisa-bisanya pikiran mereka sama.
“Terus? Lo mau gue bilang waw atau nangis, gitu karena gue nggak pernah beli bunga pakai gaji sendiri?” Kinara balik ngegas, membuat Mayang langsung bangun dari tempat tidur dan membalas, “Lo nggak pernah bayar kalau mau bunga. Lo ngembat jualan gue.”
“Ngapain juga mesti beli. Lagian, lo nggak pernah gaji gue bantuin ngambil bunga …” ucapan Kinara terhenti karena Mayang memotong, “Dan lo kudu bayar sewa kontrakan ini …”
Mereka berdua diam selama beberapa detik lantaran debat saling menyalahkan diri beberapa saat lalu. Biasanya, keduanya akan berakhir adu bantal dan kemudian tertidur karena kelelahan. Tetapi, kali ini sebuah panggilan bertuliskan nama ibu membuat Kinara dan Mayang terpaku memandangi ponsel yang menyala.
“Angkat.” suruh Mayang. Kinara menolak dan menjulurkan ponsel miliknya kepada sang adik, “Ogah. Lo aja.”
“Lah. ini HP lo dan Ibu nyari anak pertamanya, bukan gue.” Mayang menggeser ponsel milik Kinara dan dia melotot karena tahu sang kakak kembali menolak, “Ini Ibu.” Mayang mendelik dan saat Kinara menggeleng, Mayang menekan tombol terima yang membuat kakak perempuannya nyaris menendang tulang kering sang adik.
“Dasar Mayang sinting!” Kinara mengoceh dan di saat yang sama, suara ibu membuatnya buru-buru meraih ponsel dan mendekatkannya ke telinga.
“Kenapa maki-maki adik sendiri?”
Sial!
“Maaf, Bu. tadi Mayang jahil …” Kinara membalas dengan wajah jengkel sementara adiknya cekikikan di belakang sana. Awas saja, kalau dia selesai dengan telepon ini, dia bakal mewujudkan niatnya, mencubit Mayang sampai rasa kesalnya menguap hingga ubun-ubun.
***