22

5.8K 1.3K 396
                                    

Ada yang ngamok di komenan gegara eke loncat-loncak. Kocak dah. Perasaan kaga pernah nemu dia komen di mana-mana, taunya merong-merong.

Ampun Yang Mulia.

Eke upload urutan lagi ye. Tapi, kalo komen sepi, tamatnya mungkin pas kiamat. Moga umur kita masih panjang.

Yang ga sabar, boleh ke sebelah. Udah mo tamat.

Jamaah jalur VIP sabar, yes. Baru ngetik bab 75.

Eke sayang loh ama yang jalur gratisan. Cuma ya itu, komennya alakadar bikin eke suka lupa 🤣 masih ada yang bacak

***

28 Kasmaran Paling Depan

Sekitar pukul delapan malam, Baskara Dierja pada akhirnya datang kembali ke depan kamar rawat ART keluarganya yang paling dia sayang, Bi Yati. dia seharusnya bisa saja minta diobati di UGD rumah sakit. Tapi, bujukan Bi Yati yang tadi menangis tersedu-sedu karena Sutomo tidak mau memaafkannya, pada akhirnya hanya membuat pria itu berhenti memukuli anak mantan majikannya. Baskara lalu disuruh menenangkan diri ke musala rumah sakit dan dia pada akhirnya memanfaatkan momen tersebut untuk salat dan kemudian, setelah puas menangis dan mengaku dosa kepada Yang Maha Kuasa, Baskara kembali dengan harapan keluarga itu mau menerima pertaubatannya.

Sayangnya, cuma Bi Yati yang mau meladeninya. Wanita itu juga telah memohon kepada Mayang agar menolong Baskara supaya wajah dan tubuhnya tidak makin terlihat menyedihkan dan saat pria itu salat tadi, Mayang sudah ke apotek membeli perban, betadine, cairan untuk membersihkan luka, dan segala perintilan yang sebelumnya sempat dikira Baskara telah disiapkan oleh Kinara untuknya. 

“Nggak usah kegeeran.” Mayang yang saat itu menyuruh Baskara duduk di depan ruang rawat Bi Yati, seperti yang biasa dia lakukan mulai membersihkan luka di pelipis, pipi, sudut kanan bibir, dan hidung Baskara yang sebelum ini menabrakkan mobilnya ke pagar rumah. 

“Gagah juga bokap gue. Lo dibuat bonyok ama dia.” Mayang tidak bohong terlihat amat kagum kepada sang ayah dan dia menahan diri melihat wajah Baskara yang aslinya amat tampan, mirip artis kesukaan Bi Yati, Nicholas Saputra.

Namun, meski sudah dibuat babak belur, Baskara tidak sekalipun melawan atau protes. Dia tahu, hingga detik ini, Sutomo masih marah kepadanya. Hanya tangisan Bi Yati yang membuat pria itu akhirnya berhenti.

“Pak. Berhenti, Pak. kalau Babas mati, kamu bakal masuk penjara. Jangan lakukan lagi, Pak. Tolong.” 

Baskara menoleh lagi ke arah dalam ruang rawat yang pintunya terbuka cukup lebar. Sutomo duduk di depan tempat tidur Bi Yati yang kini masih sesenggukan, takut sesuatu terjadi kepada suaminya dan juga Baskara. Berkali-kali dia memanggil nama anak majikannya itu demi memastikan Baskara masih hidup dan Baskara juga meyakinkan Bi Yati kalau dia baik-baik saja, sedangkan Kinara, dia tidak ubahnya seperti seorang putri yang sedang diawasi baik-baik oleh bodyguard-nya. Pria kecil bernama Kafka itu sejak sore tadi memandangi Baskara dengan tatapan setajam elang, memastikan kalau pria jahat yang membuat kegaduhan di dalam rumah sakit dan membuat kakeknya marah, tidak bakal menyentuh ibunya.

Gara-gara itu juga, berkali-kali Baskara berusaha untuk menarik perhatian Kafka dan Kinara, namun dua orang itu sepertinya benar-benar menghindari Baskara dan Mayang tersenyum sangat puas saat melihat pria yang sedang dia rawat itu mendesah jengkel.

“Sudahlah. Nggak usah lo pandang terus. Mereka berdua sudah bahagia.” Mayang bicara lagi. Dia tidak segarang sebelumnya setelah berhasil melihat Baskara hampir mati dibuat oleh sang ayah. Baskara yakin, wanita yang usianya lebih muda dari Kinara itu memang menunggu momen ini terjadi.

“Kamu sudah tahu ini bakal terjadi, kan?” Baskara langsung ke pokok utama pembicaraan dan dia tidak heran saat melihat seringai tipis di bibir lawan bicaranya saat ini, “Seharusnya kamu jujur dari awal. Aku nggak bakal keberatan.”

“Jujur?” Mayang mengalihkan pandang dan mencoba untuk tidak tertawa setelah mendengar guyonan dari bibir pria yang sudah membuat kakak perempuannya merana selama bertahun-tahun, “Lo kira selama ini kami ngapain? Kinkin sengaja datang ke sini tujuannya buat ngomong sama lo. Tapi, emak lo yang terhormat, Yang Mulia Dipertuan Agung Reval Dierja malah menuduh kami gila hormat, gila duit. Mau tahu yang emak lo lakukan? Nyuruh Kinkin jadi staf di kantor lo supaya apa? Supaya Kinkin mati pelan-pelan. Dia tahu gimana traumanya kakak gue sama lo, tapi malah dipaksa ketemu setiap hari dan oonnya, lo malah akting sok keren, sok ganteng yang bukannya malah buat dia buka mulut, jadinya malah teriak-teriak ketakutan tiap malam.”

“Aduh.” Baskara mengernyit karena di saat yang sama, Mayang yang kelewat geram, menotol-notol betadine dengan amat kuat ke luka yang ada di pelipis pria itu, “Kalau aja dia Kafka nggak butuh syarat-syarat buat sekolah, dia milih pulang. Masalahnya, nanti sampai dia gede, masih ada syarat administratif yang butuh nama lo, entah di ijazah. Udah gue suruh nganggap lo mati, dia bilang, kudu ada surat kawinlah. Selama ini dia nggak cerita sama Kafka. Anak itu tahu dari gue, gue yang bilang lo mati.” Mayang tersenyum puas saat dia berhasil mengeluarkan unek-uneknya, “Waktu itu dia nggak tahu kalau lo udah punya pacar. Setelahnya, dia kayak orang linglung.”

“Boleh nggak luka lo gue kasih karbol aja, biar bersih sekalian?” Mayang dengan kejamnya memberi ide kepada Baskara sambil menaikkan satu alis. Sejak bapaknya menendang pria itu tanpa ampun, dia merasa jiwa psikopatnya juga tiba-tiba bergelora. Bukankah pemerkosa kakaknya kini sudah duduk di hadapannya? Urusan mencakar wajah Baskara sudah pasti jadi hal yang mudah. 

“Boleh. Mau seret aku ke neraka juga boleh.” Baskara membalas tanpa perlawanan sama sekali. Kadang, dia menyempatkan diri menoleh ke arah Kafka dan Kinara. Bocah tidak bersalah itu berdiri sementara Kinara duduk di bangku stenlis tidak jauh dari ranjang pasien. Sesekali Kafka memeluk ibunya dan tidak jarang dia mencium pipi wanita itu. Baskara yang melihatnya merasa sesuatu yang pedih menikam dadanya, amat pilu sehingga kemudian dia kembali menoleh ke arah Mayang, berusaha tersenyum sedangkan matanya mengerjap berkali-kali. 

Tidak ada yang paling menyakitkan ketika melihat seorang bocah tidak berdosa harus menanggung malu, terlahir dari hubungan haram bapak dan ibunya. Namun, yang paling memalukan adalah, selama ini, hanya sang ibu yang menanggung kesedihan itu, sementara sang ayah tidak pernah tahu tentang dosa yang dia perbuat.

“Dia … apa dia selalu cari aku?” Baskara bertanya di sela-sela usaha Mayang yang kini membersihkan memar di siku Baskara. Wanita itu menggeleng.

“Dia nggak nyari. Tapi, kadang kalau hari Jumat, dia nangis. Tante, teman-teman bilang, Jumat hari anak yatim. Di masjid ada ustazah bagi-bagi duit. Aku anak yatim, ya? Mereka suruh aku nerima amplop. Aku ndak mau.” Mayang terkekeh, tepat saat Baskara memejamkan mata dan membiarkan air matanya jatuh saat dia mengucap istighfar.

“Tapi, aku ndak tahu makam bapakku di mana? Aku mau doain.” Mayang melanjutkan lagi, “Mau gue jawab, Tante juga nggak tahu, ntar dia malah banyak tanya. Untung dia nggak maksa Kinkin. Kakak gue kadang oleng kalau sendirian.” Mayang terkekeh lagi, “Susah tahu, bawa dia ke RSJ pas lagi bunting.”

Isak Baskara terdengar, membuat Mayang terpaksa menghentikan pekerjaannya dan berpikir kalau dia terlalu berlebihan. Kinara memang beberapa kali mengunjungi rumah sakit jiwa di awal dia tahu ada Kafka di rahimnya. Keadaan cukup kacau waktu itu dan tidak lama, Bi Yati yang mulanya menemani mereka semua kemudian memilih pulang ke rumah keluarga Dierja. 

“Udah, lo nggak usah nangis. Anak lo udah segede gitu dan nggak ada yang bisa lo lakukan. Kami semua sudah legawa dan segera setelah Ibuk sembuh, kami bakal balik. Lo juga, nggak usah lagi tahan-tahan Kinkin lebih lama di kantor. Udah setres ngeliatin Umar, masih ditambahin ngelihat lo bawa cewek petantang-petenteng. Habis ini, bebasin dia, supaya kami bisa hidup normal lagi jadi satu keluarga. Nggak usah juga sok baik, pakai inisiatif ngawini dia atau apalah. Kami sudah nggak butuh itu. Administrasi Kafka udah diurus sama orang dalam, dia aman walau nanti mau ke Amerika atau Afrika. Kalau mau nikah juga, dia nggak bakal butuh lo. Sejatinya, dia nggak bakal nyari lo dan kami juga nggak penting ngemis-ngemis pengakuan dari keluarga kalian. Hiduplah dengan benar, tobatlah selagi lo bisa. Itu aja pesan gue.” Mayang tersenyum lebar seolah-olah, hal itu sudah dia persiapkan sejak lama, menjadi juru bicara kakak perempuannya yang tidak mampu buka mulut demi memperjuangkan harga diri dan martabatnya sendiri.

“Kalau lo kawin, jangan undang kami, Oke. Kinkin nggak bakal datang. Semoga lo bahagia sama Sintya.” Mayang bangkit dan menyerahkan sisa obat dan perban kepada Baskara, lalu dia berjalan menuju kamar rawat ibunya tanpa menoleh dan masa bodoh dengan perasaan Baskara Dierja. Tugasnya sudah selesai. Perkara besok dunia bakal gaduh, itu bukan urusannya.

***

Siapa tim Ayang?

Kasmaran Paling DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang