Lama ga apdetnya?
Komennya pada malas, sih.
Yang ga tahan, silahkan ke Karyakarsa atau KBM app. Udah mau bab 60. Mungkin malam ini up. Doain aja, ya.
***
18 Kasmaran Paling Depan
Kinara Kemuning sedang berdiri di samping gerobak bakso yang mangkal di pertigaan jalan dekat ruko dan memesan dua mangkok bakso kepada abang penjual yang sudah tahu betul dengan seleran pelanggan ayu yang kini menunggu dengan raut wajah sabar. Meski begitu, tetap saja dia berani menggoda Kinara dan dibalas wanita muda itu sambil tersenyum tipis.
“Pakai tetelan, Neng? Mau dipotongin sama Akang?” tanya sang tukang bakso yang bernama Adil. Karena itu juga, gerobak bakso itu diberi stiker Bakso Adil, sesuai nama penjualnya.
“Sekalian, Kang. Biar Ayang nggak repot gigit.” balas Kinara yang kemudian menjulurkan badan agar dia bisa melihat pentol-pentol bakso yang berada di dalam panci, “Punyaku pakai telor, ya. Sama toge.” Kinara bicara lagi.
“Beres kalau buat Neng Kinkin, mah. Akang kasih yang paling joss, yang banyak pentol kerikilnya.” balas Adil dengan bersemangat, sedangkan Kinara tampaknya tidak sadar kalau lawan bicaranya menjadi lebih ceria dari biasa. Dia cuma fokus memandang tangan-tangan cekatan milik Adil yang meracik bakso pesanan Kinara dan Mayang. Namun, tidak seperti namanya, dibandingkan porsi bakso pelanggan lain, untuk Kinara dan Mayang terlihat lebih banyak.
“Jangan lupa, Ayang nggak pakai micin, Kang.” Kinara memberitahu dan dibalas dengan anggukan, “Iya, Neng. Buat Neng Ayang nggak pakai micin.”
Padahal, semua orang tahu kalau sebelum diracik, kebanyakan bakso memakai penyedap. Tapi, seperti biasa, Mayang dan Kinara pura-pura bodoh. Tidak setiap hari mereka makan makanan seperti itu dan sekali-sekali makan micin tidak bakal merubah kenyataan kalau mereka berdua tetap saja tidak sepintar Albert Einstein.
“Aku juga, pesankan satu porsi.” suara Baskara terdengar di telinga Kinara dan dia menoleh dengan wajah amat terkejut, seolah tidak menyangka kalau pria itu ikut menyusulnya hingga pertigaan dan lebih aneh lagi, ikut makan bakso.
Sejak kapan Baskara makan bakso di pinggir jalan? Kinara bahkan tidak percaya dengan penglihatannya saat ini. Memang, sih, Baskara tidak berpenampilan seperlente biasanya. Dia tidak memakai jas. Tapi, dasi yang dia pakai, kemeja mahal slim fit serta celana bahan wol yang amat bagus dilihat oleh mata siapa saja yang memakainya seperti menegaskan kalau tempat pria itu bukanlah gerobak bakso pinggir jalan.
Meski begitu, tidak ada dosa sebenarnya buat makan di mana saja. Hanya, Kinara agak susah memercayai apa yang ada di depan matanya saat ini. Dia ingat sekali betapa protektifnya seorang Reva Dierja dan dia selalu mengawasi tukang masak di rumahnya, termasuk mewanti-wanti bapak Kinara agar tidak mampir di sembarang tempat hanya untuk jajan.
“Mau bakso juga?” Kinara mengulang kembali ucapan Baskara dan agak gentar waktu melihat pria itu mengangguk.
“Nanti dimarah Nyonya.” gumam Kinara pendek dan pada saat yang sama, tanpa ragu Baskara mendekat untuk melihat isi dalam panci bakso yang sedang menggelegak. Kang Adil tampak cuek dan memilih mengorek-orek isi panci dengan centong bergagang kayu yang cukup panjang.
“Ada apa aja?” Baskara bertanya. Pertanyaan itu sebenarnya dimaksudkan untuk Kinara, namun, yang menjawab adalah Kang Adil dan Baskara sempat diam sejenak waktu tukang bakso tersebut mengoceh memberi tahu apa saja yang tersedia di dalam panci.
“Bakso telur, bakso daging, bakso urat. Mercon juga ada, kok, “ Adil melanjutkan. Tanpa ragu dia mengangkat sebutir bakso berukuran kepalan tangan manusia dan menyebut isinya adalah daging mercon.”