Di sebelah baru up bab 43. Mampir dah ke sono.
Di sini pada males komen.
***
14 Kasmaran Paling DepanWajah terkejut milik Umar Hasibuan adalah hal paling menyenangkan yang pernah dilihat oleh Kinara sewaktu dia datang dengan membawa surat pengunduran diri tepat sebelum waktu makan siang. Pria itu segera menatap lekat-lekat ke arah Kinara yang meyakinkan diri kalau dia bisa melewati hari ini dan yang paling penting, melawan Umar yang sok petantang-petenteng, bahkan , bila Umar mengamuk, dia juga yakin bisa melawannya.
“Apa pula ini yang kau kirim-kirim ke mejaku?” Umar menggeser map yang dibawa oleh Kinara. Di depannya tertulis perihal pengunduran diri.
“Seperti yang saya bilang pagi tadi. Saya siap mengundurkan diri karena kehadiran saya di perusahaan ini tidak membuat keuntungan sama sekali buat kantor.
“Aish.” Umar menggeleng sekaligus berdecak dan memilih berdiri saat Kinara masih berada di hadapannya. Seketika, ibu muda itu mundur.
“Kau itu. Janganlah apa-apa kau bawa perasaan. Ucapanku sama kau itu, tak betul.” Umar mulai melancarkan sejurus rayu yang Kinara tahu pastilah buah dari omelan Baskara pagi tadi.
“Tapi, saya sadar diri, Pak dan siap menghadapi konsekuensinya.” Kinara membalas mantap. Dia sengaja mengganti kata Mas kepada Umar yang selama ini dipakai oleh anak-anak kantor.
“Tak perlulah dengan membuat surat pengunduran diri. Kau masih ada gunanya di kantor ini.” Umar mengedipkan kelopak mata kanan yang langsung membuat Kinara bergidik. Seharusnya dia sudah melakukan hal ini dari dulu. Kenapa dia bisa bertahan di tempat ini, Kinara sendiri tidak mengerti.
“Nggak apa-apa.” Kinara menghela napas, tanda dia lelah banyak berdebat dengan Umar dan perkara pria itu mau atau tidak mau menerima suratnya, yang penting dia sudah berusaha.
“Saya tahu diri, Pak.” Kinara melanjutkan lagi. Dia memilih untuk berbalik tepat saat lengan kanannya dicengkram oleh Umar, “Otak kau di mana, hah? Dibilang nggak usah berenti malah nantang.”
“Lepasin, Pak.” Kinara berusaha berontak, melepaskan diri dari pegangan tangan Umar yang menyebalkan.
“Jangan kau kira karena dekat sama keluarga …”
“Kenapa ini?” sebuah suara keras menghentikan keributan tersebut, namun tidak buat telapak tangan Kinara yang sempat mampir dengan keras ke pipi kiri Umar dan ketika semuanya terjadi, mereka baru sadar kalau hampir semua orang telah memperhatikan mereka berdua, termasuk Baskara Dierja yang berdiri tepat di depan ruangan Umar, memandangi HRD tersebut dengan tatapan murka.
Umar yang amat terkejut dengan kehadiran Baskara di kantornya dengan terbata berusaha merangkai kata yang tepat, sementara Kinara langsung menepis tangan HRD jomlo tersebut dengan raut amat jengkel.
“Si … si Kinara ini bikin ulah.” Umar dengan luwes langsung berdiri dan menunjuk ke arah Kinara yang langsung menoleh ke arahnya dengan wajah merah padam. Lagi-lagi Umar mempermalukannya. Tapi, dia bodoh kalau tidak melawan karena hari ini bisa jadi hari terakhirnya di tempat itu.
“Saya nggak bikin ulah, Pak.” Kinara melawan. Dia merasa suaranya terpengking-pengking saking kerasnya dia bersuara demi membela dirinya sendiri.
“Pak Umar bilang kalau saya selalu bikin sial kantor, biang terlambat, dan sebagainya. Intinya, saya nggak becus kerja di sini.”
“Nggak ada aku bilang gitu. Kau jangan mengada-ngada.” Umar juga tidak mau kalah, dia menoleh ke arah Baskara berkali-kali sebagai tanda kalau pria itu mendengarkan ucapannya, “ Si bodoh ini nggak ngerti bicara, Pak.”