Jangan nanya dilanjutin apa kagak, di sebelah dah mau tamat. Di sini lambat karena banyak ga komen.
Yang ga tahan, ke sebelah aja.
***
30 Kasmaran Paling Depan
Tidak ada hal yang paling menakutkan di dunia ketika Kinara yang saat itu sedang menyiapkan sarapan untuk Kafka, mendadak ditelepon Mayang supaya segera berangkat ke rumah sakit. Bi Yati tidak sadarkan diri mendadak sekitar pukul enam tiga puluh dan kesadarannya langsung menurun drastis, membuat si putri bungsu yang tidak pernah meninggalkan wanita itu langsung mencari ayahnya yang belum kembali dari musala.
Sewaktu Kinara sampai, ibu mereka sudah dibawa ke unit gawat darurat, dipasangi segala alat dan kabel yang membuat wanita itu menangis membayangkan kalau sesuatu yang buruk telah terjadi. Kinara berusaha menyangkal bahkan ketika dia harus membiarkan Kafka bersama sang kakek dan pada akhirnya, menguatkan diri untuk melihat keadaan sang ibu yang makin mengkhawatirkan.
Mayang duduk dan menelungkupkan wajah di ujung kaki ibunya. Dia sudah berhari-hari tidak beristirahat dengan layak. Karena Kafka ada di Jakarta, dia merelakan diri agar Kinara bisa bersama anak laki-lakinya itu. Saat Kinara menyentuh bahu adiknya, Mayang mengangkat kepala dan dia bisa melihat betapa wajah Mayang sudah bengkak dan sembab. Dia juga tidak peduli lagi dengan rambut sepunggungnya yang acak-acakan.
“Dokter bilang, kesadaran Ibu tinggal tiga persen.” Mayang bicara dengan susah payah. Ingusnya hampir jatuh saat dia bicara dengan terisak-isak dan Kinara memeluknya sambil menahan air mata, walau pada akhirnya gagal. Tatap matanya teralih kepada sang ibu yang menurut Mayang, sudah tidak ada lagi di dunia. Hanya mesin yang menahannya tetap hidup dan dia sudah pasrah dengan keputusan sang ayah.
“Kaki Ibuk sudah dingin.” Mayang terbata-bata bicara, sudah gue gosok pakai minyak balsem, gue angetin pakai selimut dan tangan gue sendiri. Gimana, Kin? Ibuk kita udah mau pergi …” Mayang tersedu-sedu di dalam pelukan kakak perempuannya. Meski hampir setiap hari dia selalu mengeluhkan ibu mereka lebih memilih keluarga Dierja dan tidak pulang demi mereka, di dalam hati, Kinara yakin Mayang lebih suka ibunya seperti itu, daripada sekarat dan terlihat tidak berdaya.
“Kita gimana? Ibuk mau pergi.”
Kinara tahu kalau tangis Mayang makin tidak terbendung jika mereka masih berada di sana. Karena itulah, dia mengajak sang adik keluar ruang ICU dan membiarkan Mayang menangis sepuas hatinya.
“Gue nggak rela … gue nggak ridho.” tubuh Mayang melorot, tidak peduli di sana ada banyak orang yang memperhatikan. Pasien yang masuk ruang ICU tidak hanya ibu mereka, tapi, Mayang tidak peduli. Saat ini dia merasa hatinya sangat hancur. Dalam satu tahun, belum tentu seminggu sekali dia bisa melihat ibunya. Itu juga kadang tidak sampai satu jam. Bi Yati lebih mengkhawatirkan tugasnya sebagai ART di rumah keluarga Dierja yang membuat Mayang amat kesal.
Namun, sekesal-kesalnya perempuan itu, ketika melihat ibunya tidak bakal bertahan lagi, Mayanglah yang menangis paling kuat dan paling merana di antara dirinya dan Kinara.
“Jangan gitu, Dek. Kasian Ibu. Ikhlasin.”Yang bicara adalah Sutomo. Dia mengusap punggung Mayang dan wanita muda itu langsung memeluk ayahnya tanpa ragu dan kembali menangis, meluapkan perasaannya. Bagaimana bisa, ketika Tuhan memberikan kesempatan kepada mereka semua untuk berkumpul berlima, sebagai keluarga lengkap, kemudian mereka mendapati kenyataan kalau Bi Yati tidak bakal bertahan lama.
“Ibu sudah menahan sakit ini bertahun-tahun, tanpa mau kita tahu dia menderita. Jangan tambahkan lagi bebannya. Kita mesti ikhlas.” Sutomo bicara dengan kedua putrinya, sementara Kafka yang kini dipegang tangannya oleh Kinara, menoleh ke arah pintu ruang ICU yang terbuka separuh. Meski masih amat belia, dia tahu, umur eyang putrinya tidak bakal lama lagi. Tapi, Kafka dengan bijak memilih diam dan menyimak ucapan ibu, kakek, dan juga sang tante. Dia hanya sempat mengusap air mata dengan punggung tangan saat tidak lama kemudian seorang perawat memberi tahu kalau keadaan Bi Yati makin gawat kesadarannya makin menurun.