45. Kisah Alan

11.3K 1.2K 184
                                    

Haii My Lovely Readersss
Kita jumpa lagiii
Jangan lupa VOTE & KOMEN yg banyak ya ☺
Awas Typooo!!!

Haii My Lovely ReadersssKita jumpa lagiiiJangan lupa VOTE & KOMEN yg banyak ya ☺Awas Typooo!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Previously

Arthur menunduk melihat Aaron yang masih menempel padanya "Terdengar sangat sulit,"

Mendengar itu, Aaron mendongak. Menunjukkan senyum terbaiknya pada Arthur "Daddy tidak sendirian, aku akan membantu, aku janji," Tangan Aaron bergerak mengelus wajah Arthur perlahan "Aku berharap hubungan keluarga kita membaik, Dad. Hanya Daddy yang kami punya saat ini,"

"Sepertinya tidak ada kesempatan untuk berkata tidak," canda Arthur seraya terkekeh, menurunkan telapak tangan Aaron lalu menggenggamnya.

"Memang tidak," balas Aaron tertawa.

🧸🧸🧸

WARNING!!
2 bab yang di update ini akan berfokus pada konflik keluarga Arthur. Varel belum muncul. Nnti di update an selanjutnya 😉🙃
Selamat membaca

Bagian 45

Dylan menutup pintu kamar bercat hitam di hadapannya dengan penuh kehati-hatian. Di tangannya ada koper kecil yang biasa dia gunakan untuk menyimpan alat-alat kesehatannya. Koper yang masih tampak terawat walau sudah lebih dari 9 tahun lalu dibeli. Dia segera mengedarkan bola matanya ke segala penjuru kamar yang hampir seperti luas lapangan ini. Bahkan berjalan dari satu sisi ke sisi yang lain memerlukan perjuangan.

Alisnya mengerut dalam "Dimana anak itu?" Dylan membatin heran.

Walau sedang dilanda kebingungan, Dylan tetap melangkahkan kakinya. Seyum tulus mengembang ketika melihat sahabatnya tidur dengan tenang bahkan tanpa ada Varel di sisinya. Dia berharap Arthur tidak terlalu bergantung pada anak itu agar bisa fokus pada hal lain juga.

Dylan membeku di tempat. Senyumnya luntur berganti raut penuh keterkejutan. Entah mukzijat apa yang diturunkan oleh Tuhan kepadanya hingga bisa melihat hal ini dengan mata kepala sendiri. Arthur, sahabatnya tengah tidur sambil memeluk anaknya, Aaron. Hati Dylan bagai di terjang sinar mentari lembut nan hangat. Rasanya ingin sekali meneteskan air mata saking senangnya dia.

Kakinya melangkah lebih dekat, tanpa menunggu lama, Dylan segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya kemudian mengambil dua belas foto dari arah yang berbeda juga satu video berdurasi hampir tiga menit. Setelah itu, dia memilih keluar dari kamar, tidak ingin mengganggu waktu tidur sahabat dan anak sahabatnya yang sudah Dylan anggap sebagai anaknya sendiri.

"Setelah ini semua selesai, mari merayakannya dengan perkumpulan besar, El. Rayakan 'kesuksesan' yang kau dambakan sejak kecil lalu hiduplah bebas dan bahagia," ujar Dylan pada foto yang menampilkan wajah sahabatnya yang tertidur nyenyak.

VAREL (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang